Bank Sentral dan Smart Citizen dalam Dialektika Modernitas Masyarakat Adat

Oleh: Gita Oktaviola/Jurnalis Harian.news

Bank Indonesia (BI) terus memperkuat perannya sebagai bank sentral dan otoritas sistem pembayaran nasional dengan mendorong terbentuknya masyarakat yang melek ekonomi serta adaptif terhadap perubahan zaman. Peran ini tidak sebatas menjaga stabilitas moneter, tetapi juga mencakup pengembangan ekosistem keuangan digital yang inklusif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat termasuk komunitas masyarakat adat di wilayah seperti Kelurahan Bulutana, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Di daerah ini, praktik ekonomi tradisional seperti sistem komunal Abbalitaung mulai bersentuhan dengan digitalisasi keuangan melalui penerapan QRIS dan e-wallet. Langkah ini menjadi bagian dari mandat strategis BI untuk memperluas inklusi keuangan sekaligus memastikan keadilan akses layanan ekonomi. Digitalisasi di komunitas masyarakat adat tidak hanya membuka jalan bagi efisiensi transaksi, tetapi juga berkontribusi terhadap pemberdayaan ekonomi lokal.

Data resmi Bank Indonesia mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, transaksi QRIS di Sulawesi Selatan mencapai 78 juta transaksi dengan nilai Rp 10,3 triliun, meningkat signifikan dibanding 2023. Pengguna QRIS di provinsi ini mencapai 1,22 juta, dengan merchant terdaftar sebanyak 1,098 juta—dan 73,5% di antaranya adalah pelaku UMKM. Namun, masih ada tantangan: tingkat literasi keuangan Sulsel berada di angka 36,88%, jauh tertinggal dibanding capaian inklusi keuangannya yang sudah 88,57%.

Sebagai bank sentral, BI tidak hanya bertugas mengatur dan mengawasi sistem pembayaran, tetapi juga menjalankan fungsi edukatif dan fasilitatif dalam membangun masyarakat cerdas finansial (smart citizen). Dalam konteks masyarakat adat, pendekatan BI harus memperhatikan dimensi sosial-budaya yang unik. Program literasi yang digelar perlu menyasar hingga ke pemuka adat, perempuan, dan pemuda lokal agar transformasi digital tidak hanya berhenti di infrastruktur, tapi menyentuh kesadaran kolektif masyarakat.

Implikasinya, kehadiran BI sebagai bank sentral bukan hanya sebagai penggerak sistem keuangan formal, tetapi juga sebagai jembatan antara modernisasi ekonomi dengan kearifan lokal. Transformasi menuju masyarakat yang inklusif secara ekonomi dan digital harus dilakukan melalui pendekatan kolaboratif, tidak meminggirkan nilai adat. Dengan cara ini, BI menjalankan peran sentralnya dalam menciptakan sistem keuangan yang tidak hanya stabil dan efisien, tetapi juga adil dan berakar pada karakter bangsa.

Masyarakat Bulutana Belajar Transaksi Digital

Darniati (60), perempuan adat desa Bulutana Kabupaten Gowa saat memperlihatkan m-banking yang selama iini digunakannya bertransaksi digital. (Foto: Gita/HN)

Di kampung adat Bulutana, Kabupaten Gowa, perubahan gaya hidup masyarakat mulai terasa seiring hadirnya teknologi keuangan digital. Darniati (60), seorang perempuan adat, mengenang masa ketika ia harus menempuh perjalanan ke kota hanya untuk sekadar melakukan transfer uang. Naik ojek dan mengantre di bank menjadi rutinitas yang melelahkan. Namun kini, ia cukup mengetuk layar ponsel di rumah untuk menyelesaikan transaksi keuangan.

“Sebelum saya pakai m-banking, transfer biasanya saya lakukan di bank atau ATM. Sekarang di rumah bisa langsung transferan. Kadang juga saya pakai QRIS untuk transaksi via online. Alhamdulillah sangat memudahkan,” ujarnya saat ditemui harian.news, Minggu (21/06/2025).

Kisah Darniati mencerminkan hasil dari kerja keras Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam memperluas inklusi keuangan digital hingga ke pelosok masyarakat adat. BI tidak hanya berperan sebagai pengatur sistem moneter, tetapi juga sebagai katalis transformasi sosial yang mendorong masyarakat menjadi smart citizen, yakni warga yang mampu beradaptasi dengan teknologi secara cerdas, mandiri, dan aman. Bagi Darniati, akses terhadap sistem keuangan digital tidak hanya mengurangi beban mobilitas, tetapi juga meningkatkan rasa aman dalam mengelola keuangan rumah tangga.

Namun, perubahan ini tidak datang tanpa tantangan. Seiring meningkatnya akses, risiko terhadap penipuan digital dan penyalahgunaan teknologi pun ikut membayangi. Di sinilah pentingnya peran bank sentral, tidak hanya menyediakan infrastruktur keuangan digital, tetapi juga menggerakkan literasi keuangan yang partisipatif dan berbasis komunitas, termasuk di wilayah adat seperti Gowa. Literasi menjadi prasyarat agar digitalisasi tidak sekadar hadir, tetapi benar-benar dimanfaatkan secara optimal dan aman.

Asfar Zulhijjah, seorang pemuda adat dari Desa Bulutana, Kabupaten Gowa, telah menjalankan usaha sablon sejak 2019. Ia melihat adopsi teknologi keuangan digital sebagai peluang besar untuk mengembangkan usahanya. Dengan menggunakan QRIS, Asfar kini bisa melayani transaksi tidak hanya dari warga lokal, tetapi juga wisatawan yang datang ke Malino. “Mereka lebih senang bayar pakai barcode. QRIS membuat usaha saya lebih cepat dan praktis,” katanya.

Asfar Zulhijjah, pemuda adat di Bulutana Gowa memperlihatkan QRIS yang sering digunakannya untuk menerimaq pembayaran dari kunsumen.

Namun di balik kemudahan itu, Asfar menilai masih banyak masyarakat adat, terutama lansia, yang belum familiar dengan sistem pembayaran digital. Ia menekankan perlunya pendampingan dan edukasi langsung di lapangan. “Kami tidak menolak teknologi, asal dijelaskan dengan cara yang bisa kami pahami. Kalau dijelaskan langsung dan didampingi, pasti masyarakat bisa ikut,” ujarnya. Menurut Asfar, keberhasilan digitalisasi tak hanya soal transaksi, tapi juga soal pemahaman dan pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh.

Sementara itu, Ramli (55), tokoh adat setempat, menyoroti bahwa meskipun budaya lokal masih kuat, pengaruh zaman mulai memengaruhi kehidupan adat. Desa Bulutana dikenal masih memegang masih memegang Adat Sampulonrua atau Adat 12 yang tetap dijaga para pemangku adat. Namun, Ramli mengakui bahwa sebagian dari struktur ini mulai tergeser oleh dinamika modern. Tradisi seperti Appalili dan Assaukang masih rutin dilakukan, tetapi di tengahnya muncul gelombang keterbukaan terhadap teknologi digital.

Ramli mencatat bahwa sekitar 50 persen warga, terutama generasi muda yang lebih terdidik, telah mengadopsi layanan digital seperti QRIS, OVO, dan e-wallet lainnya. Ini menunjukkan bahwa transformasi sosial dan ekonomi di kampung adat bisa berjalan seiring asalkan diberikan ruang dan pemahaman. Ia melihat kehadiran sistem digital sebagai hal positif, namun harus dibarengi edukasi agar tidak menimbulkan penyalahgunaan teknologi.

Dalam konteks ini, peran Bank Indonesia sebagai bank sentral sangat strategis. Tak hanya menjaga stabilitas moneter, BI juga diharapkan menjadi katalisator literasi dan inklusi keuangan yang menjangkau komunitas adat. “Dampaknya sangat positif, mempermudah semua pelayanan. Tapi harus diimbangi dengan pemahaman agar generasi muda tidak salah gunakan teknologi,” tegas Ramli.

Menuju Smart Citizen: Tantangan dan Peluang Digitalisasi Bagi Komunitas Adat Gowa

Digitalisasi keuangan mulai merambah ke sembilan komunitas adat di Kabupaten Gowa, seperti yang disampaikan oleh Mustaqim, Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PH AMAN) Gowa. Menurutnya, sebagian masyarakat di wilayah seperti Bulutana dan Parigi sudah mulai menggunakan QRIS dan e-wallet dalam aktivitas ekonomi, khususnya mereka yang terhubung langsung dengan konsumen modern atau wisatawan.

Namun, wilayah lain seperti Kecamatan Tombolopao masih melakukan transaksi tunai secara tradisional. “Ini bukan karena mereka menolak teknologi, tapi karena proses ekonomi komunal yang belum terintegrasi dengan sistem digital,” ungkap Mustaqim.

Kondisi tersebut menunjukkan tantangan nyata bagi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral yang memiliki mandat mendorong inklusi keuangan yang merata. Meskipun BI telah memperluas penggunaan QRIS secara nasional, termasuk mencatat 78 juta transaksi QRIS di Sulsel sepanjang 2024, literasi keuangan masyarakat adat masih rendah.

“Banyak informasi hanya berhenti di atas, tidak sampai ke masyarakat di bawah. Akibatnya, ketika ada kejadian seperti penipuan digital, mereka baru tahu setelah menjadi korban,” tambah Mustaqim.

Lebih jauh, Mustaqim mengkritisi pendekatan digitalisasi yang bersifat top-down dan kerap mengabaikan konteks budaya lokal. Menurutnya, masyarakat adat akan lebih menerima inovasi digital jika pendekatannya menghormati kultur dan disampaikan melalui bahasa serta metode yang mereka pahami.

“Selama pendekatannya menghormati kultur, masyarakat adat akan terbuka terhadap teknologi apa pun,” ujarnya. Hal ini sejalan dengan prinsip Bank Indonesia dalam membentuk ekosistem digital yang inklusif, berbasis kebutuhan nyata masyarakat.

Untuk itu, Mustaqim merekomendasikan agar Bank Indonesia lebih aktif menyasar komunitas adat secara langsung melalui program literasi dan pendampingan keuangan digital. Ia berharap edukasi tidak hanya dilakukan melalui perangkat desa, melainkan menyentuh masyarakat adat secara personal.

Strategi Membangun Smart Citizen dari Tapak

Menanggapi perkembangan ini, Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral menyatakan dukungan penuh terhadap penguatan ekosistem digital yang inklusif. Sakti Arif Wicaksono, Deputi Direktur Kantor Perwakilan BI Sulsel, mengungkapkan bahwa masyarakat adat di sekitar Malino, Kabupaten Gowa, kini menunjukkan peningkatan kesadaran terhadap layanan keuangan digital.

“Masyarakat sudah mulai melek digital dan mereka telah menggunakan QRIS, m-banking, dan transfer,” ujarnya saat dihubungi harian.news, Minggu (21/6/2025).

Namun demikian, Sakti menekankan bahwa keberhasilan transformasi ini masih menghadapi kendala mendasar, terutama terkait literasi dan infrastruktur. Ia menyoroti bahwa keterbatasan jaringan di beberapa wilayah adat membuat penggunaan QRIS dan layanan m-banking belum merata.

Menurutnya, peran bank sentral harus diperluas hingga ke tingkat akar rumput, dengan melibatkan pemuka adat, pemerintah daerah, dan lembaga keuangan lokal. “Edukasi harus menyentuh langsung masyarakat, bukan hanya aparat desa.”

Sebagai bagian dari strategi membangun smart citizen, BI Sulsel juga mengembangkan inovasi teknologi seperti QRIS Tap berbasis NFC. Inovasi ini dirancang untuk mendukung transaksi cepat di ruang publik, seperti transportasi dan parkir, serta merespons kebutuhan generasi muda dan pelaku UMKM.

Menariknya lagi, pendekatan ini tetap menjunjung nilai budaya lokal, di mana edukasi tidak dilakukan dengan pemaksaan, melainkan memberikan pilihan yang menghargai adat. “Kami sadar, pendekatan budaya jauh lebih efektif untuk masyarakat adat,” ujar Sakti.

Bank Indonesia juga membuka ruang bagi komunitas adat untuk aktif mengajukan kemitraan melalui proposal desa atau program penguatan UMKM digital. Sakti menegaskan bahwa setiap inisiatif yang lahir dari masyarakat akan difasilitasi selama ada komitmen.

“Selama ada kemauan dan keseriusan, kami siap fasilitasi. Yang penting, manfaatnya bisa dirasakan langsung,” paparnya. Langkah ini menegaskan peran BI tidak hanya sebagai regulator moneter, tapi juga sebagai enabler transformasi digital yang adil dan kontekstual.

Dalam konteks ini, upaya BI lebih dari sekadar memperluas penggunaan teknologi; ini adalah misi jangka panjang untuk mencetak smart citizen, yaitu warga yang tak hanya melek teknologi, tetapi juga bijak, kritis, dan tetap berakar pada nilai-nilai lokal.

Keberhasilan program digitalisasi di komunitas adat akan menjadi bukti nyata bahwa peran bank sentral dalam mendorong inklusi keuangan dapat menjangkau hingga batas-batas budaya yang selama ini dianggap jauh dari pusat modernisasi.

 

Baca berita lainnya Harian.news di Google News