Bencana Sesungguhnya Bukan Saja Alam, Tetapi Juga Kata-kata Penguasa

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Setiap bencana besar seperti terjadi di Sumatera akhir November lalu selalu menyisakan luka yang tidak hanya terlihat di permukaan namun juga dihati.
Rumah-rumah hancur, tanah tersapu, keluarga tercerai, tetapi ada satu luka lain yang lebih diam-diam menganga, luka akibat kata-kata pejabat yang justru menambah beban rakyat yang sedang berduka.
Rakyat menunggu kepedulian yang tulus. Mereka ingin didengar, bukan disalahkan, dipeluk secara moral, bukan diberi penjelasan yang seperti menutup mata terhadap kenyataan.
Harapan masyarakat, ungkapan sederhana namun dalam kepada penguasa, “ kami bersama masyarakat Sumatera yang sedang menghadapi banjir. Kami mendorong percepatan bantuan, koordinasi, dan langkah pemulihan agar tidak ada warga yang tertinggal. Semoga semua dilindungi dan diberi ketabahan. Mari saling menjaga.”
Kalimat seperti inilah yang semestinya keluar dari lisan pejabat, kata-kata yang meneduhkan, bukan yang jauh dari rasa empati.
Namun apa yang terjadi? Ketika ribuan kayu gelondongan memenuhi sungai dan terseret banjir bandang, publik berharap ada kejujuran dan keberanian moral dari pemerintah.
Sebaliknya, yang muncul adalah pernyataan yang mereduksi persoalan. Pejabat Kehutanan menjelaskan bahwa “kayu gelondongan banjir Sumut bukan hasil pembalakan liar itu tumbang alami”.
Secara teknis, mungkin benar sebagian demikian. Tetapi secara moral, itu terasa seperti mengalihkan fokus dari akar masalah, kerusakan lingkungan yang dibiarkan, pengawasan hutan yang lemah, dan keputusan-keputusan politis yang sering kali mengorbankan keselamatan warga demi kepentingan jangka pendek.
Rakyat tahu bahwa bencana seperti ini bukan kejadian tiba-tiba.
Bencana ini mengingatkan kita akan slow-onset disaster, kerusakan lingkungan yang terjadi perlahan, kebijakan tata ruang yang tidak berpihak pada keselamatan warga, serta keputusan politik yang terus membebani daya dukung alam.
Di tengah krisis iklim, kebijakan bukan lagi sekadar administrasi, ia adalah pilihan hidup dan mati bagi banyak orang.
Yang lebih menyakitkan adalah ketika pejabat lebih memilih mempertahankan citra daripada mengakui kelemahan sistem. Setiap kalimat yang defensif adalah bukti betapa jauhnya penguasa dari denyut nadi rakyat. Banjir dapat surut, tetapi ketidakpekaan seperti ini menumpuk menjadi banjir lain, banjir ketidakpercayaan.
Rakyat Sumatera tidak hanya membutuhkan bantuan fisik, mereka membutuhkan pengakuan bahwa negara hadir penuh, bukan sekadar hadir dengan konferensi pers. Pemimpin yang berani bukan yang pandai mencari alasan, melainkan yang berani berkata, “Ada yang salah, dan kami siap memperbaikinya.”
Karena jika sampai pejabat terus berlindung di balik narasi-narasi aman, sementara bencana ekologis makin sering terjadi, maka negeri ini bukan hanya sedang dihantam banjir, tetapi sedang tenggelam dalam krisis integritas.
Dan sejarah selalu mencatat, bukan alam yang merobohkan negara, tetapi kegagalan pemimpinnya membaca, memahami, dan mencintai rakyatnya. ***
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
Penulis : IGA KUMARIMURTI DIWIA (PEMRED HARIAN.NEWS)