Desakan Bencana Nasional Mencuat, Pengamat: Isu Banjir Masuk dalam Pertarungan Narasi

Desakan Bencana Nasional Mencuat, Pengamat: Isu Banjir Masuk dalam Pertarungan Narasi

HARIAN.NEWS, JAKARTA – Pakar Politik, Arifki Chaniago, menilai dinamika desakan agar pemerintah menetapkan banjir di wilayah Sumatera sebagai bencana nasional harus dilihat secara proporsional, baik dari aspek politik maupun tata kelola kebencanaan.

Ia menegaskan bahwa isu ini bukan semata soal status, tetapi juga bagaimana pemerintah mengelola komunikasi publik di tengah situasi krisis.

Menurut Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia ini, terdapat argumentasi yang masuk akal baik untuk mendukung maupun menolak penetapan status bencana nasional.

Dari sisi dukungan, ia menilai eskalasi bencana yang melanda beberapa provinsi memang menimbulkan spekulasi bahwa kapasitas daerah mulai menipis. Dalam kondisi seperti ini, status nasional dapat mempercepat koordinasi lintas kementerian dan memperkuat legitimasi keterlibatan penuh pemerintah pusat.

Namun di sisi lain, Arifki menekankan pentingnya kehati-hatian. Status bencana nasional bukan keputusan simbolik. Ada parameter objektif jumlah korban, kerusakan infrastruktur, terganggunya pelayanan publik, hingga kemampuan fiskal daerah yang harus menjadi dasar.

“Selain itu, pemerintah pusat sebenarnya sudah mengerahkan sumber daya nasional melalui BNPB, TNI, Polri, Kementerian Sosial, dan berbagai instrumen lainnya. Jika seluruh operasi lapangan sebenarnya sudah bertaraf nasional, penetapan status belum tentu diperlukan,” ujarnya.

Arifki menegaskan bahwa apa pun keputusan pemerintah, aspek yang paling krusial saat ini adalah komunikasi. Ia menilai celah narasi terkait status bencana ini sedang dimanfaatkan oleh oposisi untuk membangun persepsi bahwa pemerintah tidak responsif.

“Masalahnya bukan pada kerja teknis di lapangan yang sudah besar dan masif tetapi pada penjelasan yang tidak runtut kepada publik. Ketika narasi pemerintah tidak jelas, publik mudah mengira pemerintah abai,” katanya.

Karena itu, Arifki mendorong adanya satu komando dalam manajemen krisis komunikasi. Menurutnya, pemerintah perlu menunjuk figur atau unit yang secara konsisten menyampaikan perkembangan, menjelaskan parameter penetapan status, dan memaparkan langkah-langkah pemerintah pusat secara faktual. Tanpa itu, ia khawatir kerja besar pemerintah di lapangan akan “kalah oleh framing”.

“Ini ujian komunikasi krisis. Jika tidak ditangani dengan disiplin, kerja negara yang sebenarnya sangat besar justru tidak terlihat. Pemerintah harus menjaga narasi, agar publik memahami bahwa negara hadir sejak hari pertama,” tegas Arifki.

Ia menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa politik kebencanaan selalu membutuhkan kejelasan arah dan komunikasi yang terbuka, agar penanganan teknis dan persepsi publik berjalan searah.

Baca berita lainnya Harian.news di Google News