Ekosistem Digital Terancam: Modantara Soroti Risiko Komisi 10% dan Status Karyawan Mitra

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Aksi penyampaian pendapat oleh sejumlah mitra pengemudi ojek online yang berlangsung hari ini mendapat apresiasi dari Modantara.
Menurut organisasi tersebut, aksi ini menjadi pengingat bahwa sektor mobilitas dan pengantaran digital merupakan bagian vital dalam kehidupan masyarakat modern.
Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menyampaikan bahwa aspirasi para mitra harus ditanggapi secara serius, namun penyusunan solusi juga harus berpijak pada realitas ekonomi, bukan sekadar pada wacana politik yang populis.
“Kami memahami keresahan mitra, namun solusi harus berpijak pada realitas ekonomi. Bukan sekadar wacana politik,” ujarnya dalam siaran tertulis yang dikutip, Sabtu (24/05/2025).
Modantara menyoroti dua wacana utama yang dianggap berisiko besar terhadap keberlangsungan ekosistem digital: pemaksaan komisi tunggal 10 persen serta reklasifikasi mitra pengemudi menjadi pegawai tetap. Keduanya dinilai bukan hanya berisiko, namun bisa menghentikan denyut ekonomi digital Indonesia.
Menurut Agung, industri ini telah terbukti menjadi bantalan sosial yang penting saat krisis, sehingga kebijakan yang mengaturnya perlu berpijak pada data serta mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap perekonomian.
Terkait komisi, Modantara menegaskan bahwa penyeragaman komisi hingga batas atas 10 persen tidak bisa diterapkan secara universal.
“Komisi tidak bisa diseragamkan seperti tarif parkir. Industri ini bergerak dinamis dan bertumbuh tanpa aturan yang kaku dan seragam,” katanya.
Setiap platform, lanjutnya, memiliki model bisnis dan segmentasi pasar yang berbeda. Karena itu, pemaksaan batas komisi bisa menghambat inovasi, mengancam keberlangsungan layanan di wilayah dengan margin rendah, dan bahkan mendorong efisiensi berlebihan yang berdampak pada kualitas pelayanan konsumen.
Sementara itu, wacana untuk menjadikan seluruh mitra sebagai karyawan tetap juga dinilai berpotensi memicu hilangnya pekerjaan dalam jumlah besar.
Berdasarkan kajian Svara Institute (2023), jika skema reklasifikasi diberlakukan, sekitar 1,4 juta mitra pengemudi berisiko kehilangan penghasilan, dan PDB Indonesia bisa turun hingga 5,5 persen.
“Ketika niat melindungi justru membuat jutaan mitra kehilangan akses kerja fleksibel, kita perlu berhenti dan bertanya: siapa sebenarnya yang terlindungi?” ujar Agung.
Menurutnya, langkah seperti itu pernah dilakukan di beberapa negara seperti Inggris dan Spanyol, yang justru berujung pada pemutusan kerja massal dan kenaikan harga layanan.
Modantara juga menyoroti perlunya penyesuaian tarif yang adil dan berbasis data. Mereka mendukung kesejahteraan mitra, namun menegaskan bahwa tarif yang terlalu tinggi bisa menurunkan daya beli masyarakat.
“Percuma tarif tinggi tapi yang beli tidak ada,” tegas Agung.
Menurutnya, kebijakan tarif harus mempertimbangkan daya beli konsumen, variasi biaya operasional kendaraan, hingga potensi pengurangan layanan di wilayah non-komersial.
Regulasi tarif yang kaku, katanya, akan mempersempit ruang gerak platform dan bisa berdampak pada menurunnya layanan publik.
Sektor pengantaran barang dan makanan digital atau On-Demand Service (ODS) juga menjadi perhatian Modantara. Saat ini, layanan ini masih tunduk pada UU Pos No. 38/2009 yang dinilai tidak lagi relevan.
“Regulasi tersebut dibuat untuk era logistik konvensional, bukan untuk layanan cepat dan dinamis seperti sekarang,” jelasnya.
Modantara mendorong peninjauan ulang terhadap regulasi yang menaungi ODS. Mereka menilai perlunya kejelasan lintas kementerian dan lembaga agar kebijakan yang dikeluarkan tidak tumpang tindih dan bisa menjawab tantangan zaman.
“Regulasi tarif ODS harus mengakui bahwa layanan ini tidak bisa disamakan satu sama lain, karena skema kendaraan, jarak tempuh, dan kompleksitas waktu yang berbeda-beda,” tambahnya.
Isu pendapatan minimum juga menjadi sorotan. Modantara menyebut, niat baik untuk menetapkan penghasilan setara UMR bagi mitra bisa menjadi boomerang jika tidak mempertimbangkan dinamika pasar digital.
Penerapan pendapatan minimum berisiko membuat platform menekan jumlah mitra aktif, menaikkan harga layanan, dan meninggalkan daerah-daerah yang dianggap tidak ekonomis.
“Risiko ini harus dihitung dengan cermat, agar tidak merugikan masyarakat luas,” katanya.
Modantara justru mengusulkan pendekatan alternatif yang lebih adaptif dan kolaboratif untuk meningkatkan kesejahteraan mitra.
Beberapa usulan mereka antara lain adalah pembiayaan ringan lewat skema UMKM, insentif bebas parkir, pembebasan PPN dan bea masuk onderdil kendaraan.
Selain itu, mereka juga mendorong optimalisasi perlindungan sosial melalui BPJS dan pelatihan wirausaha agar mitra bisa lebih mandiri dan sejahtera dalam jangka panjang.
Di akhir pernyataannya, Modantara menegaskan komitmennya untuk terus mendampingi para mitra, sekaligus menjadi mitra dialog yang rasional dan berbasis data bagi pemerintah dalam merancang kebijakan di sektor ekonomi digital.
“Yang kami perjuangkan bukan sekadar keberlangsungan industri, tetapi juga keberlanjutan kesejahteraan jutaan rakyat Indonesia yang menggantungkan hidupnya di sektor ini,” pungkas Agung.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News