Kasus Hibah Tanah PT Hadji Kalla–GMTD, Cermin Niat Baik yang Berbalik

Kasus Hibah Tanah PT Hadji Kalla–GMTD, Cermin Niat Baik yang Berbalik

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Hibah sejatinya lahir dari niat baik. Bukan transaksi, bukan pula investasi, melainkan ekspresi keikhlasan untuk memberikan sesuatu tanpa pamrih. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, niat baik itu kadang berumur pendek. Ketika kepentingan berubah arah, hibah pun bisa berbalik arah.

Kasus hibah tanah yang kini melibatkan PT Hadji Kalla dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) menjadi contoh nyata. Tanah yang dahulu dihibahkan, kini ditarik kembali, dan akhirnya berujung ke ranah hukum.

Secara aturan, baik dalam hukum perdata maupun hukum Islam, hibah yang sudah diserahkan dan diterima tidak bisa ditarik kembali, kecuali jika dalam akta hibah ada syarat khusus, atau terbukti terjadi penipuan maupun wanprestasi berat.

Namun, langkah PT Hadji Kalla yang melaporkan kasus ini ke Polda Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa jalur kekeluargaan sudah buntu. Padahal, menurut sejumlah pengamat, ranah pidana bukanlah arena utama sengketa hibah, sebab persoalan hibah lebih tepat diselesaikan dalam ranah perdata.

“Ini bukan soal kejahatan, tetapi soal hak. Mengubah niat baik menjadi laporan polisi bisa memperkeruh citra kedua belah pihak,” ujar Muhammad Rafii, pemerhati dari Lembaga Anak Bangsa, Sabtu (11/10).

Rafii menekankan, yang lebih penting dari sekadar benar secara hukum adalah menjaga martabat moral dan sosial dari niat awal pemberian hibah itu. Apalagi dalam budaya Bugis-Makassar, ada prinsip “siri’ na pacce” yang menekankan harga diri dan solidaritas.

“Sekali janji diucap, menariknya kembali sama saja dengan menghapus kehormatan sendiri,” katanya dalam keterangan dikirim ke redaksi harian.news, Sabtu (11/10).

Selain itu, Rafii juga mengingatkan soal lemahnya administrasi dalam praktik hibah di Indonesia. Banyak hibah dilakukan hanya berlandaskan niat baik tanpa didukung dokumen yang sah dan klausul yang jelas. Akibatnya, ketika kepentingan berubah, hibah yang semula suci berubah menjadi sengketa panjang.

“Dalam dunia usaha, komitmen dan kejelasan hukum harus berjalan seiring dengan keikhlasan. Hibah tanpa kejelasan akan mudah tergelincir menjadi perebutan. Dan pemberian tanpa komitmen moral akan mudah berubah menjadi klaim,” jelas Rafii, yang juga aktif di Front Perjuangan Kedaulatan Energi Indonesia (FOPKEI).

Rafii menambahkan, pengalaman ini diharapkan bisa menjadi pelajaran publik agar ke depan, setiap hibah dituangkan dalam akta resmi dengan klausul tegas, sehingga tidak lagi menimbulkan multitafsir.

“Pada akhirnya, tanah hibah yang ditarik kembali bukan hanya soal hukum, melainkan soal kejujuran niat. Di sinilah kita diuji, apakah benar memberi karena ikhlas, atau karena berharap kembali,” tutup Rafii.

 

Baca berita lainnya Harian.news di Google News