Ketika Luka Korban Kejahatan Seksual Dianggap Kecil

Ketika Luka Korban Kejahatan Seksual Dianggap Kecil

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Pernyataan Menteri Agama RI “adanya kejahatan seksual di pesantren yang di besar-besarkan media padahal itu hanya sedikit jumlahnya” (IG Luh Djelantik) menunjukkan sikap yang tidak sensitif terhadap penderitaan korban.

Ucapan seperti itu, meskipun mungkin dimaksudkan untuk melindungi citra lembaga keagamaan, justru berpotensi mengabaikan realitas kekerasan dan memperkecil nilai kemanusiaan dari setiap korban yang mengalami trauma mendalam.

Dalam konteks kekerasan seksual, tidak ada istilah “jumlah sedikit.” Satu kasus saja sudah cukup untuk menjadi alarm moral bahwa ada sistem yang perlu diperbaiki.

Ketika pejabat publik justru meremehkan skala masalah, pesan yang tersampaikan ke publik bukanlah perlindungan terhadap nilai-nilai pesantren, melainkan pembiaran terhadap kekerasan.

Media memiliki peran penting dalam membuka ruang keadilan bagi korban yang sering kali dibungkam oleh hierarki, rasa takut, dan stigma sosial.

Tanpa sorotan media, banyak kasus tidak akan pernah muncul ke permukaan, dan pelaku bisa terus berlindung di balik nama baik lembaga. Karena itu, menuduh media

“Membesar-besarkan ” berarti mengaburkan fungsi kontrol sosial yang menjadi bagian dari demokrasi.

Pernyataan seperti ini juga berpotensi menimbulkan efek reviktimisasi, di mana korban merasa suaranya tidak dianggap penting.
Bukannya mendapat empati dan perlindungan, mereka justru bisa merasa bersalah karena dianggap ikut mencoreng nama baik institusi agama. Ini sangat berbahaya karena bisa menghambat keberanian korban lain untuk melapor.

Sudah seharusnya pejabat negara, berhati-hati dalam memilih kata. Seorang ayah dari semua umat bangsa seharusnya berlaku adil kedepankan empati agar menjadi teladan moral, bukan pembela institusi secara buta.

Tugas utamanya adalah memastikan setiap ruang pendidikan agama, termasuk pesantren. benar-benar aman, bukan sekadar terlihat baik di mata publik.

Membela pesantren sejati bukan berarti menutupi keburukan, melainkan berani memperbaiki yang rusak agar marwah pesantren tetap terjaga.

Pernyataan yang tidak bijak hanya akan memperdalam luka korban dan mengaburkan arah moral bangsa.

Menjaga marwah pesantren bukan mengaburkan kesalahan tetapi dengan keberanian memperbaikinya. Hukum pelaku seberat-beratnya.

Inilah saatnya menunjukkan bahwa dunia pesantren mampu menjadi teladan, tidak hanya dalam ilmu dan akhlak tapi juga dalam keadilan dan perlindungan terhadap yang lemah. ***

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Penulis : IGA KUMARIMURTI DIWIA (PEMRED HARIAN.NEWS)