Komunikasi Politik di Masa Bencana: Membaca Ucapan ‘Tobat Nasuha’ Cak Imin dan Sikap Golkar

HARIAN.NEWS, JAKARTA – Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, menilai pertukaran pernyataan antara Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, dan Menko PM Muhaimin Iskandar terkait bencana banjir di Sumatera perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas, kompetisi narasi di tengah maraknya partai politik turun memberi bantuan bencana.
Menurutnya, bukan hanya bantuan yang diperebutkan, tetapi juga makna siapa yang terlihat paling peduli dan yang paling hadir.
“Dalam situasi bencana, politik bergerak seperti arus deras. Semua parpol turun cepat dengan membawa bantuan, atribut, hingga dokumentasi. Itu cara mereka menunjukkan kedekatan dengan publik. Di momen yang sama, pernyataan Doli dan respons Cak Imin memperlihatkan bagaimana elite berusaha menata narasi agar posisi mereka tidak tenggelam oleh banjir simbol,” ujar Arifki.
Menurutnya, ucapan Cak Imin soal tiga menteri “bertobat” adalah upaya membingkai pemerintah agar lebih responsif. Sementara itu, respons Doli yang meminta bahwa ucapan Cak Imin itu lebih fokus kepada kepedulian terhadap masyarakat dan meminta sesama menteri tidak saling menyalahkan bentuk counter-framing yang berusaha menjaga agar diskursus tetap berada di jalur teknokratis, bukan moralistik.
“Ini seperti dua cara memadamkan api. Cak Imin membawa sirene agar semua orang sadar ada ‘api’ di kinerja pemerintah. Doli membawa selang air, mengingatkan bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah tindakan, bukan gema sirene. Dua-duanya masuk akal dilihat dari peran masing-masing,” ujarnya.
Arifki menambahkan bahwa fenomena parpol berbondong-bondong datang ke lokasi bencana sebenarnya membawa dimensi komunikasi politik yang sama: kehadiran fisik di lapangan adalah bentuk visual framing. Publik melihat siapa yang hadir, siapa yang peduli, dan siapa yang hanya muncul lewat pernyataan.
“Bantuan parpol itu ibarat ‘bahasa tubuh’ politik. Ketika bendera partai bertebaran di lokasi bencana, itu adalah cara mereka mengatakan: ‘kami ada untuk kalian’. Di sisi lain, komentar elite adalah ‘bahasa lisan’. Keduanya saling melengkapi dalam persaingan membentuk persepsi publik,” jelas Arifki.
Ia menilai pertukaran narasi Doli–Cak Imin berada dalam apa yang ia sebut kompetisi kepedulian simbolik. Di tengah parpol yang berlomba hadir memberikan bantuan, para elite berlomba merebut posisi sebagai suara moral atau suara teknis yang paling relevan.
“Ketika parpol turun ke lokasi, mereka sedang membangun pencitraan berbasis kehadiran. Ketika elite seperti Cak Imin dan Doli berbicara, mereka membangun pencitraan berbasis penjelasan. Kompetisi ini tidak bisa dihindari karena bencana selalu menjadi panggung yang sensitif bagi legitimasi politik,” ujarnya.
Arifki menekankan bahwa selama kompetisi ini tidak mengganggu kerja kemanusiaan, dinamika tersebut masih dapat dipahami sebagai bagian dari proses demokrasi. Yang penting, pesan utama tetap terjaga: warga terdampak membutuhkan bantuan nyata, sementara elite dan parpol perlu memastikan narasinya tidak saling menegasikan upaya penanganan.
“Di tengah bencana, publik melihat dua hal sekaligus: siapa yang datang membawa beras, dan siapa yang datang membawa arah. Selama keduanya bergerak dalam harmoni, politik tetap bisa berjalan tanpa mengaburkan kemanusiaan,” tutup Arifki.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News