Mendengar Suara Perempuan di Tengah Ketimpangan Gender dan Krisis Iklim
HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri menggelar kegiatan “Perempuan Bersuara; Menuntut Aksi dan Kebijakan Iklim yang Adil Gender di Sulawesi Selatan” pada Minggu (26/01/2024) di Hotel Grand Imawan, Jalan Pengayoman, Kota Makassar.
Acara ini bertujuan untuk mendorong kesadaran dan aksi kolektif dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang sering kali tidak adil secara gender.
Ketua Badan Eksekutif SP Anging Mammiri, Suryani, menyatakan bahwa dunia sedang menghadapi krisis iklim yang semakin parah setiap tahunnya.
“Peningkatan suhu bumi, naiknya debit air laut akibat mencairnya es di kutub, dan ancaman kelangkaan pangan adalah tantangan nyata yang dihadapi masyarakat global, termasuk Indonesia,” ungkapnya.

Acara Perempuan Bersuara; Menuntut Aksi dan Kebijakan Iklim yang Adil Gender di Sulawesi Selatan yang digelar Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri pada Minggu (26/01/2024) di Hotel Grand Imawan, Jalan Pengayoman, Kota Makassar. (Foto: Gita/HN)
Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2023, suhu bumi telah meningkat 1,1°C sejak 1950-1900.
IPCC menegaskan pentingnya penurunan emisi secara signifikan untuk mencapai net nol emisi pada tahun 2050. Tanpa tindakan mitigasi dan adaptasi yang mendalam, dampak perubahan iklim tidak dapat dihindarkan.
Laporan IPCC juga menggarisbawahi bahwa dampak perubahan iklim tidak merata dan sering kali memperburuk ketimpangan gender.
Diperkirakan pada tahun 2050, sekitar 160 juta perempuan dan anak perempuan akan jatuh ke dalam kemiskinan akibat krisis iklim. Selain itu, kerawanan pangan akan meningkat hingga 240 juta lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki.
“Meski perempuan adalah kelompok yang paling terdampak, mereka jarang dilibatkan dalam diskusi kebijakan perubahan iklim,” ucap Suryani.
“Di COP29 tahun 2024, hanya 40% delegasi adalah perempuan, dan hanya 8 dari 78 pemimpin pemerintah adalah perempuan,” tambahnya.
Ia menilai, situasi ini menyebabkan kebijakan iklim yang dihasilkan belum sepenuhnya adil secara gender.
Selanjutnya, Suryani menerangkan bahwa, Indonesia sendiri memiliki kebijakan Pengarusutamaan Gender melalui Inpres No. 9 Tahun 2000, termasuk dalam rencana aksi nasional dan daerah untuk penurunan emisi gas rumah kaca.
Sulawesi Selatan juga memiliki Peraturan Gubernur No. 131 Tahun 2012 dan RAD-API yang merespons perubahan iklim melalui berbagai program mitigasi, seperti bank sampah dan perluasan ruang terbuka hijau.
Namun, di sisi lain, izin proyek energi baru terbarukan seperti tambang nikel, smelter, dan PLTU terus meningkat di Sulawesi Selatan.
“Proyek-proyek ini mempercepat perubahan iklim dan memberikan dampak buruk pada lingkungan dan masyarakat, terutama perempuan pesisir yang kehilangan akses mata pencaharian dan air bersih akibat proyek infrastruktur,” bebernya.
Perubahan cuaca yang sulit diprediksi juga berdampak pada petani yang mengalami penurunan hasil panen. Suryani menyoroti bahwa kelompok-kelompok miskin dan rentan sering kali terpaksa bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
“Perempuan buruh migran menjadi kelompok paling rentan terhadap perdagangan manusia dan pelanggaran hak asasi,” ujarnya.
Melihat situasi ini, SP Anging Mammiri melalui kegiatan Temu Perempuan berupaya mengonsolidasikan kepentingan perempuan dan mendorong kebijakan iklim yang lebih adil gender.
“Kami ingin menciptakan ruang bagi perempuan untuk bersuara dan memperjuangkan hak mereka dalam kebijakan perubahan iklim,” tegas Suryani.
Kegiatan ini diharapkan menjadi langkah awal dalam mendorong aksi nyata dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, untuk mewujudkan keadilan gender dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News