Mereka yang Terabaikan di Pesta Demokrasi Sulsel

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan telah usai dilaksanakan sejak 27 November 2024. Pasangan yang terpilih dalam kontestasi politik tersebut adalah Andi Sudirman Sulaiman dan Fatmawati Rusdi.
Pasangan nomor urut 2 ini mengususng visi besar bertajuk “Sulsel Maju dan Berkarakter.” Visi ini bertujuan membentuk masyarakat yang berintegritas, berakhlak mulia, serta berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal.
“Kami mengedepankan semangat kerja nyata, menggunakan istilah “taro ada taro gau,” yang bermakna konsistensi antara ucapan dan tindakan, untuk mendukung cita-cita menuju Indonesia Emas 2045,” ucap Andi Sudirman dikutip laman youtube Kompas TV, Jumat (28/12/2024).
Saat debat pertama, pemilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur berlangsung, Andi Sudirman menekankan pentingnya penguatan nilai-nilai lokal seperti Sipakatau (memanusiakan manusia), Sipakainge (saling mengingatkan), dan Sipakalebbi (saling menghargai).
Ia berpendapat bahwa, nilai-nilai tersebut tidak hanya memperkuat budaya di Sulsel nantinya, tetapi juga menjadi fondasi untuk membangun masyarakat yang lebih berkarakter.
Melalui jargon “Andalan Hati,” mereka merancang misi memajukan layanan pendidikan, kesehatan, sosial keagamaan, dan kemasyarakatan. Semua ini dilaksanakan dengan berlandaskan kompetensi, akhlak mulia, dan kearifan lokal.
Salah satu prioritas pasangan ini adalah membangun Sulsel yang inklusif dan ramah bagi semua kalangan.
Fatmawati Rusdi yang saat itu sebagai calon wakil Gubernur Sulsel menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen memperkuat peran pemuda dan melibatkan kelompok marjinal, termasuk penyandang disabilitas, dalam berbagai sektor kehidupan.
Dengan pendekatan GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion), mereka berharap dapat menciptakan pembangunan yang merata dan menyeluruh.
Namun, setelah ditelisik lebih jauh, visi inklusivitas ini tidak secara eksplisit membahas perlindungan terhadap kelompok minoritas gender dan seksual atau LGBT. Hal ini berkenaan dengan rekam jejak Andi Sudirman dan Fatmawati yang selama ini menunjukkan penolakan terhadap kelompok tersebut.
Misalnya, Andi Sudirman yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Sulsel menggantikan Nurdin Abdullah secara tegas menolak keterlibatan kelompok Bissu dalam ritual adat Hari Jadi Bone pada tahun 2022 dan 2023. Ia berpendapat bahwa ritual adat harus sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma yang berlaku.
Selain itu, tindakan tegas Andi Sudirman terhadap kelompok LGBT tampak dalam kebijakan pendidikan di Sulsel. Pada Minggu, 21 Agustus 2022, Dinas Pendidikan Sulsel mengeluarkan surat edaran tentang pencegahan paham LGBT di sekolah-sekolah.
Surat tersebut mencantumkan sanksi bagi siswa yang terlibat, sebagai bentuk komitmen pemerintah menjaga norma dan nilai agama.Selain itu, Andi Sudirman juga meminta perguruan tinggi untuk tidak memberikan ruang kepada kelompok LGBT.
Pernyataan ini muncul setelah viralnya video pengusiran mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) yang mengaku bergender netral. Ia menegaskan bahwa paham LGBT tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diakui oleh negara dan agama.
Di sisi lain, Calon Gubernur san Wakil Gubernur Sulsel nomor urut 1 yakni pasangan Moh. Danny Pomanto dan Azhar Arsyad, juga memaparkan visi yang menekankan moderasi dan toleransi. Dalam debat pertama Pilgub Sulsel, Danny menegaskan telah menciptakan ekosistem yang harmonis selama menjabat sebagai Wali Kota Makassar.
Ia mengklaim berhasil mengangkat Makassar dari daftar kota intoleran melalui program penguatan umat beragama dan penghormatan terhadap etika sosial.
Sejalan dengan Azhar Arsyad yang tampil dalam debat kedua Pilgub Sulsel yang berlangsung di Hotel Claro Makassar, Jl Ap Pettarani, pada Minggu (10/11/2024). Dalam kesempatan itu, pasangan dengan tagline DIA Save Sulsel menegaskan bahwa setiap rakyat berhak hidup sejahtera, makmur, dan berkeadilan tanpa diskriminasi.
“Setiap warga, apa pun agama, etnis, budaya, dan tradisinya, berhak merasa aman dan nyaman di tanah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan,” ujar Azhar.
Lebih lanjut, Azhar menekankan bahwa pembangunan harus inklusif, tanpa ada satu pun pihak yang terpinggirkan atau terabaikan.
“Pemerintah harus hadir sebagai pelindung bagi rakyat, bukan malah meninggalkan mereka berjuang sendirian,” tegasnya.
Namun, seperti Andi Sudirman, Danny juga menunjukkan sikap keras terhadap kelompok LGBT. Pada masa kepemimpinannya, Danny mendukung peraturan daerah (Perda) yang melarang LGBT di Makassar.
Ia menyebut bahwa perilaku LGBT bertentangan dengan ajaran agama dan norma negara. Ia juga mendukung DPRD Makassar dalam menggagas Rancangan Perda (Ranperda) anti-LGBT.
Kritik terhadap kedua pasangan calon ini muncul dari kelompok advokasi hak asasi manusia yang menyayangkan kurangnya perlindungan terhadap kelompok rentan tertentu. Mereka menilai bahwa inklusivitas sejati hanya dapat tercapai jika semua kelompok, termasuk LGBT, dilibatkan dalam pembangunan.
Diskriminasi terhadap Kelompok Minoritas Gender dan Seksual di Sulsel Masih Tinggi
Penggiat Hak Asasi Manusia (HAM), Gupta, menyoroti masih tingginya diskriminasi yang dialami kelompok minoritas gender dan seksual di Sulawesi Selatan.
Bentuk diskriminasi ini meliputi kekerasan fisik, marginalisasi sosial, hingga terbatasnya akses layanan publik seperti kesehatan dan administrasi kependudukan.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah masih belum inklusif terhadap kelompok tersebut.
Menurut Gupta, visi dan misi pasangan calon gubernur dalam Pilgub Sulsel 2024 perlu dievaluasi tidak hanya dari narasi yang mereka sampaikan, tetapi juga melalui rekam jejak kepemimpinan mereka.
“Kedua pasangan calon memiliki sejarah penolakan terhadap kelompok minoritas gender dan seksual, dan hal ini harus menjadi perhatian serius bagi pemilih,” tegasnya.
Kelompok minoritas gender sering kali menjadi sasaran ketidakadilan. Mereka menghadapi stigma, perundungan, hingga kekerasan, baik dari masyarakat umum maupun aparat negara.
Padahal kata Gupta, setiap individu berhak atas perlindungan dan kesempatan hidup yang setara. Dalam banyak kasus, identitas mereka bukanlah pilihan, melainkan sesuatu yang alami.
Meski demikian, mereka kerap dipaksa menyesuaikan diri dengan standar “normal” yang ditetapkan mayoritas. Pandangan ini membuat kelompok minoritas dipandang lebih rendah, memicu diskriminasi, dan menghambat hak-hak dasar mereka.
“Konstruksi kekuasaan mayoritas sering mendiskreditkan kelompok minoritas dengan mengaitkan mereka sebagai penyebab masalah sosial,” tuturnya.
Diskriminasi semakin parah akibat dominasi patriarki yang mengabaikan prinsip HAM dan interpretasi agama yang sempit.
Faktor politik juga turut berkontribusi, di mana kelompok minoritas sering dijadikan komoditas politik selama masa kampanye, namun dilupakan setelahnya.
Di Pilgub Sulsel 2024, isu minoritas gender dan seksual hampir tidak mendapat perhatian. Kandidat lebih memilih menghindari isu ini demi menjaga elektabilitas.
“Hal ini mencerminkan kurangnya komitmen terhadap perlindungan hak-hak dasar kelompok minoritas,” beber Gupta.
Kelompok minoritas tidak meminta perlakuan istimewa, melainkan hak yang setara sebagai warga negara.
Mereka hanya menginginkan hidup yang aman, bebas berekspresi, dan dihormati sebagai manusia. UUD 1945 telah menjamin hak-hak tersebut, termasuk kebebasan berekspresi bagi semua warga negara.
Namun, kebijakan diskriminatif, seperti surat edaran yang menolak keberadaan LGBT, menunjukkan adanya bias yang merugikan.
Media sosial pun menjadi arena di mana kelompok minoritas kerap menjadi sasaran ujaran kebencian.
Mengatasi diskriminasi memerlukan perubahan sikap baik di tingkat masyarakat maupun pemerintah.
Menghormati hak-hak minoritas dan memberikan mereka tempat yang setara dalam masyarakat adalah langkah penting menuju inklusi dan keadilan sosial.
Ketika negara dan masyarakat mulai memandang kelompok minoritas sebagai bagian integral dari kehidupan sosial, barulah diskriminasi dapat diminimalkan, dan hak-hak mereka dihormati.
Penulis: Gita Oktaviola
Baca berita lainnya Harian.news di Google News