OJK: Literasi dan Inklusi Keuangan Masih Timpang Berdasarkan Wilayah, Usia, Pendidikan dan Jenis Pekerjaan

HARIAN.NEWS, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan masih adanya kesenjangan indeks literasi dan inklusi keuangan di masyarakat Indonesia berdasarkan klasifikasi wilayah, gender, usia, pendidikan, dan jenis pekerjaan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi.
Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK), wilayah perkotaan menunjukkan angka literasi dan inklusi keuangan yang lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Indeks literasi di perkotaan tercatat sebesar 70,89 persen dan inklusi sebesar 83,61 persen. Sementara itu, perdesaan hanya mencapai 59,60 persen untuk literasi dan 75,70 persen untuk inklusi.
“Perbedaan yang cukup signifikan ini menunjukkan perlunya peningkatan edukasi keuangan di daerah perdesaan agar masyarakat lebih siap dan cakap dalam mengakses layanan keuangan,” ujar Friderica di Jakarta, Senin (06/5/2025).
Dari sisi gender, laki-laki memiliki indeks literasi keuangan lebih tinggi dibandingkan perempuan, yakni 67,32 persen berbanding 65,58 persen. Namun, dari sisi inklusi keuangan, kedua gender tercatat hampir setara, masing-masing sebesar 80,73 persen (laki-laki) dan 80,28 persen (perempuan).
Dari kelompok usia, kelompok usia muda dan produktif mendominasi literasi keuangan tertinggi, yakni usia 26–35 tahun (74,04 persen), 18–25 tahun (73,22 persen), dan 36–50 tahun (72,05 persen). Sebaliknya, kelompok usia 15–17 tahun dan 51–79 tahun memiliki tingkat literasi terendah dengan masing-masing 51,68 persen dan 54,55 persen.
“Kami melihat tren positif di kalangan muda, terutama usia 18–35 tahun yang menunjukkan tingkat literasi dan inklusi keuangan paling tinggi. Hal ini menjadi modal penting bagi masa depan ekonomi digital Indonesia,” tambah Friderica.
Dari segi inklusi, kelompok usia 18–25 tahun mencatat angka tertinggi yakni 89,96 persen, disusul kelompok 26–35 tahun (86,10 persen) dan 36–50 tahun (85,81 persen). Sementara kelompok lansia dan remaja (51–79 tahun dan 15–17 tahun) menunjukkan inklusi terendah, masing-masing 66,88 persen dan 74,00 persen.
Pendidikan juga menjadi faktor penentu signifikan. Kelompok dengan pendidikan tinggi menunjukkan indeks literasi dan inklusi paling tinggi, yaitu 90,63 persen dan 99,10 persen untuk yang menamatkan perguruan tinggi. Sebaliknya, kelompok tidak/belum sekolah atau hanya tamat SD memiliki literasi sebesar 43,20 persen dan inklusi sebesar 56,95 persen.
“Korelasi antara pendidikan dan literasi keuangan sangat kuat. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula kemampuannya memahami dan memanfaatkan produk keuangan,” jelas Friderica.
Sementara itu, dari segi pekerjaan, kelompok pegawai/profesional, pensiunan, dan pengusaha mencatatkan indeks literasi tertinggi masing-masing 85,80 persen, 74,11 persen, dan 73,60 persen. Di sisi lain, kelompok tidak/belum bekerja, petani/peternak/nelayan memiliki indeks terendah, di bawah 60 persen.
Dalam hal inklusi, pensiunan/purnawirawan mencapai angka sempurna 100 persen, diikuti pegawai/profesional (95,11 persen), dan pengusaha (88,66 persen). Sebaliknya, kelompok tidak/belum bekerja hanya berada di angka 64,82 persen.
Melalui data ini, OJK berharap bisa merumuskan strategi kebijakan literasi keuangan yang lebih tepat sasaran dan menyasar kelompok-kelompok dengan indeks terendah. “Kita ingin tidak ada masyarakat yang tertinggal dalam akses dan pemahaman terhadap keuangan,” tutup Friderica.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News