Perubahan SPMB Dinilai tak Selesaikan Persoalan, P2G: Hanya Berganti Istilah

Perubahan SPMB Dinilai tak Selesaikan Persoalan, P2G: Hanya Berganti Istilah

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengapresiasi niat Kemdikdasmen memperbaiki sistem penerimaan perserta didik baru yang selama 8 tahun menghadapi persoalan klasik yang relatif sama.

Setelah menyimak dan membaca paparan termasuk draft Rancangan Permendikdasmen tentang SPMB yang beredar di publik, P2G meragukan sistem yang diklaim baru ini akan menuntaskan persoalan pokok dan klasik yang terjadi dalam PPDB selama ini. Ada 5 catatan evaluasi P2G terkait isu ini.

1. P2G Mengapresiasi Kemdikdasmen yang Menambah Jalur Afirmasi

Pertama, P2G dari awal meminta pemerintah pusat agar tetap mempertahankan secara substansi 4 jalur PPDB selama ini (Zonasi, Prestasi, Afirmasi dan Perpindahan Orang Tua). Sebab Wakil Presiden Gibran Rakabuming pernah mengatakan akan menghapus Jalur Zonasi dalam PPDB.

“Kami mengapresiasi akhirnya pemerintah melalui Kemdikdasmen mempertahankan jalur zonasi meskipun berganti nama domisili. Bahkan jalur afirmasi mendapat penambahan kuota menjadi 20 persen di SMP dan 30 persen di SMA. Ini membuka peluang makin luas bagi anak keluarga miskin bersekolah di sekolah negeri,” kata Satriwan Salim Koordinator Nasional P2G.

Satriwan melanjutkan, sekilas memang ada kesan di publik Kemdikdasmen hanya mengubah istilah saja. Jalur Zonasi jadi Domisili, Jalur Perpindahan Orang Tua menjadi Mutasi. Nama PPDB menjadi SPMB. Kalau didalami memang ada perubahan tapi tidak signifikan dalam menyelesaikan soal pemerataan akses pendidikan bagi seluruh anak.

2. Penambahan Jalur Prestasi dalam SPMB Menimbulkan Ketimpangan Baru

Kedua, meskipun ada penambahan Jalur Afirmasi, tapi Kemdikdasmen mengurangi Jalur Zonasi/Domisili menjadi 30 persen untuk SMA, yang sebelumnya 50 persen. Yang lebih mengejutkan, Jalur Prestasi justru bertambah menjadi 30 persen di SMA dan 25 persen di SMP. Padahal dalam PPDB sebelumnya, Jalur Prestasi ini adalah sisa kuota jika 3 jalur lainnya masih menyisakan kuota di satu sekolah.

“Penambahan jalur prestasi di SMP dan SMA yang signifikan itu memunculkan kekhawatiran, yaitu nanti sekolah-sekolah hanya akan memprioritaskan calon siswa dari jalur prestasi saja, sehingga calon siswa dari jalur domisili dan afirmasi akan tersisihkan, tidak dapat bersekolah di sekolah negeri,” lanjut Satriwan.

Bahkan penambahan Jalur Prestasi ini akan menciptakan kembali label “Sekolah Unggulan” atau “Sekolah Favorit” yang melahirkan ketimpangan pelayanan pendidikan bagi anak. P2G menilai persoalan pokok sistem SPMB ini akan tetap muncul dan akan menimbulkan diskriminasi baru bagi hak anak untuk mendapatkan akses pendidikan dan sekolah.

3. Tidak Menjawab Persoalan

Sistem SPMB belum sepenuhnya menjawab persoalan pokok dalam pemerataan akses pendidikan bagi seluruh anak tanpa kecuali sebagaimana tujuan awal PPDB/SPMB.

“Harusnya ada solusi komprehensif yang menjadi tanggung jawab lintas kementerian, seperti Kemen PUPR, Kemendagri, Kemenhub, Komdigi, Kemenag, selain Kemdeikdasmen dan Pemda, agar ketidakmerataan infrastktur sekolah diselesaikan,” Satriwan menambahkan

Satriwan melanjutkan, solusi sistem PPDB/SPMB secara makro dan komprehensif harus melibatkan KemenPUPR untuk menambah sekolah negeri baru dan akses infrastuktur jalan raya menuju sekolah dan Kemenhub untuk menyelesaikan masalah akses transportasi siswa yang jauh jaraknya.

Bahkan sistem PPDB/SPMB Kemendikdasmen selama ini tidak pernah melibatkan Kemenag, padahal Kemdikdasmen dapat berkolaborasi membuat “Sistem PPDB/SPMB Bersama” Kemenag, untuk mengakomodir anak yang tak diterima di sekolah negeri untuk didistribusikan ke madrasah.

“Masalah SPMB atau PPDB selalu disentuh dengan pendekatan parsial oleh pemerintah pusat yaitu Kemdikdasmen. Bahkan Pemda pun pasif karena menerima Peraturan Menteri Dikdasmen yang sudah jadi. Seharunsya tanggung jawab lintas kementerian dan Pemda,” kata Satriwan.

Satriwan menguraikan, sistem SPMB yang parsial begitu akan selalu berdampak yaitu tak semua anak usia sekolah dapat bersekolah di sekolah negeri, dan negara abai dalam memenuhi kewajibannya membiayai pendidikan anak tersebut.

4. Sayangkan Penghapusan Larangan Menambah Ruang

Keempat Jika diperhatikan dalam Draf Permendikdasmen tentang SPMB, tidak memuat eksplisit larangan bagi sekolah dan Pemda menambah rombongan belajar sesuai ketentuan maksimal dan larangan menambah ruang kelas baru selama proses PPDB berlangsung.

“Kami menyayangkan hilangnya pasal larangan bagi Pemda menambah ruang kelas baru selama SPMB, padahal di Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB larangan itu tertulis jelas di pasal 33 ayat 7. Larangan dan ancaman pidana ini penting, mengingat potensi oknum guru atau kepala sekolah, dinas pendidikan, pejabat daerah melakukan ‘pungli’ dan jual beli kursi pada calon orang tua murid,” ungkap Iman.

Kasus demikian menurut data Ombudsman RI pernah terjadi di Medan, Batam, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Makassar, dan Banten.

Iman mengutarakan, karena potensi kecurangan dan pelanggaran hukum seperti itu kembali terjadi dalam SPMB 2025 dan seterusnya, maka Permendikdasmen tentang SPMB harus menuliskan tegas pasal larangan menambah kelas baru atau rombel selama proses SPMB berlangsung. Lagipula, kuota rombel yang ditambah di tengah SPMB akan membuat pembelajaran tidak efektif. Karena jumlah murid di kelas melebihi kapasitas ruang kelas dan lahan sekolah yang terbatas.

Untuk itu, dalam hal ini P2G meminta pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan siswa di sekolah swasta akibat tak tertampung di sekolah negeri

5. Pelibatan Sekolah Swasta dalam Skema SPMB

“Kami mengapresiasi keinginan Mendikdasmen melibatkan sekolah swasta untuk menerima distribusi murid yang tak tertampung di sekolah negeri, agar diterima di sekolah swasta. Ini salah satu solusi persoalan terbatasnya daya tampung dalam SPMB nanti,” papar Iman.

Kolaborasi Pemda dengan sekolah swasta dalam skema PPDB Bersama sudah dilakukan beberapa daerah, seperti Jakarta, kota Gorontalo, dan Surabaya.

Tapi membaca draf naskah Permendikdasmen tentang SPMB khususnya pasal 50 ayat 2. Kemdikdasmen tidak tegas menginstruksikan agar Pemda wajib membiayai sepenuhnya biaya pendidikan siswa yang diterima di sekolah swasta tersebut.

“P2G mengusulkan pada Kemdikdasmen agar mencantumkan eksplisit dalam Permendikdasmen SPMB, bahwa Pemda wajib membiayai sepenuhnya atau pembebasan biaya pendidikan bagi siswa yang bersekolah di sekolah swasta akibat terbatasnya daya tampung sekolah negeri,” ungkap Iman.

Iman melanjutkan, jika aturan Kemdikdasmen abu-abu dalam pelibatan sekolah swasta, akibatnya siswa akan terjebak kepada biaya sekolah swasta yang mahal. Negara harus menjamin pembiayaan pendidikan dasar siswa. Apalagi siswa terpaksa masuk swasta karena jumlah dan daya tampung sekolah negeri terbatas, karena pemerintah gagal memenuhi ketersediaan sekolah negeri di masyarakat.

“Jangan sampai orang tua dan anak mengalami diskriminasi berlapis, hak anak bersekolah di sekolah negeri tak terpenuhi karena kursi terbatas, lalu terpaksa masuk sekolah swasta dengan biaya mahal. Ini melanggar konstitusi UUD 1945 pasal 31 ayat 1,” terang Iman.

P2G mendorong Kemendikdasmen melibatkan semua unsur stakholder pendidikan dalam proses SPMB.

“Kami belum melihat uji publik rencana Permendikdasmen tentang SPMB dilakukan yang melibatkan banyak pihak,” pungkas Iman.

Baca berita lainnya Harian.news di Google News