Reklasifikasi Mitra Ojol Jadi Karyawan Berpotensi Rugikan Ekonomi Nasional hingga Rp 178 Triliun

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, mengingatkan bahwa pemaksaan kebijakan ketenagakerjaan seperti reklasifikasi mitra menjadi karyawan tetap pada sektor mobilitas dan pengantaran digital dapat menimbulkan dampak ekonomi dan sosial yang sangat serius.
Menurutnya, kebijakan ini justru berpotensi melemahkan ekonomi nasional yang saat ini masih ditopang oleh kekuatan ekosistem digital.
Agung menjelaskan bahwa platform digital seperti ojek online (ojol), taksol, dan kurier online (kurol) saat ini menyumbang sekitar 2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sebagaimana dirilis oleh ITB pada 2023.
“Jika model bisnis ini dipaksa mengubah mitra menjadi karyawan, hanya sekitar 10-30 persen yang akan terserap. Artinya, 70-90 persen mitra akan kehilangan mata pencahariannya,” ujarnya dalam siaran tertulis, dikutip Sabtu (24/05/2025).
Ia menambahkan, hal ini dapat menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi digital secara drastis, yang berpotensi menyebabkan penurunan PDB sebesar 5,5 persen dan kehilangan lebih dari 1,4 juta lapangan kerja, sebagaimana diungkap oleh Svara Institute dalam riset tahun 2023.
Selain hilangnya pekerjaan, dampak lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah hilangnya kemampuan sektor digital sebagai bantalan ekonomi nasional, terutama dalam kondisi perekonomian global yang sedang menantang.
Agung menyebutkan, dampak total terhadap perekonomian Indonesia bisa mencapai Rp178 triliun akibat efek domino di berbagai sektor lain.
“Kita harus realistis. Banyak UMKM mengandalkan platform digital untuk menjangkau pasar. Jika layanan ini terganggu, maka bisnis mereka akan terdampak langsung, bahkan bisa kolaps,” terangnya.
Ia menyebutkan bahwa restoran online, apotek, dan pelaku e-commerce akan menjadi yang paling terpukul jika distribusi logistik terganggu.
Tak hanya UMKM, konsumen yang terbiasa dengan layanan pengantaran, seperti orang tua, penyandang disabilitas, dan warga di wilayah terpencil, akan mengalami penurunan akses terhadap kebutuhan pokok, termasuk makanan dan obat-obatan.
“Kita juga tidak boleh lupa bahwa dalam situasi krisis atau bencana, layanan pengantaran digital menjadi tumpuan logistik,” tambahnya.
Lebih lanjut, Agung menyampaikan bahwa perubahan model hubungan kerja juga akan memaksa platform menaikkan tarif layanan untuk menutupi biaya tambahan operasional dan kesejahteraan karyawan.
“Hal ini justru akan menekan konsumen dan pelaku UMKM dengan biaya logistik yang lebih tinggi.”
Dari sisi sosial, ribuan mitra pengemudi yang tidak terserap akan langsung kehilangan pendapatan. Hal ini bukan hanya meningkatkan angka pengangguran informal di kota-kota besar, tapi juga bisa memperbesar beban negara dalam penyediaan jaring pengaman sosial.
“Penurunan penghasilan driver juga akan berdampak pada daya beli masyarakat dan sektor konsumsi seperti makanan dan pembayaran kredit,” ujarnya.
Agung mengutip riset dari CSIS dan Tenggara Strategics yang menunjukkan bahwa industri pengantaran digital menyumbang Rp127 triliun pada 2019.
Setiap peningkatan 10 persen jumlah mitra bisa meningkatkan tenaga kerja UMKM sebesar hampir 4 persen. Artinya, industri ini memainkan peran strategis dalam menciptakan lapangan kerja.
“Jika layanan pengantaran digital terganggu hingga 70-90 persen, kontribusi senilai Rp89 triliun akan hilang. Bila kita kalikan dengan multiplier ekonomi sektor jasa yang konservatif, dampaknya bisa mencapai Rp178 triliun secara keseluruhan,” papar Agung.
Efek lanjutan ini meliputi penurunan omzet pelaku usaha, menurunnya aktivitas logistik, serta menurunnya daya beli masyarakat luas. Dalam jangka panjang, efek berantai ini dapat menyebabkan kontraksi ekonomi yang serius di sektor mikro dan ritel.
Lebih jauh, Agung menegaskan bahwa kondisi ini akan berdampak terhadap investasi dan stabilitas nasional.
“Investor bisa kehilangan kepercayaan karena melihat adanya ketidakpastian regulasi. Ini berdampak langsung pada investasi, penerimaan pajak, dan berujung pada potensi gejolak sosial dan politik,” kata dia.
Modantara sendiri mendorong agar kebijakan ketenagakerjaan di sektor digital dibuat secara adaptif dan berbasis data, bukan paksaan.
“Perlu pendekatan yang mempertimbangkan karakteristik industri, bukan menyeragamkan semua sektor,” tegas Agung.
Agung menilai bahwa pemerintah sebaiknya mendorong dialog yang melibatkan semua pemangku kepentingan—mitra, perusahaan teknologi, akademisi, dan masyarakat sipil untuk menemukan solusi terbaik.
“Solusinya bukan pada pemaksaan klasifikasi, melainkan regulasi cerdas yang menjaga keseimbangan antara perlindungan kerja dan keberlanjutan industri,” tutupnya.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News