Sejumlah Aktivis 98 Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto

HARIAN.NEWS, JAKARTA – Sejumlah tokoh dan organisasi aktivis Reformasi 1998 menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, yang memimpin pada masa Orde Baru selama 32 tahun.
Mereka menyatakan bahwa jika Soeharto dijadikan pahlawan, sama saja bertentangan dengan nilai-nilai reformasi sebab Soeharto digulingkan pada masa itu lewat reformasi.
Hal ini terungkap dalam Refleksi Reformasi dan Diskusi Publik bertema “Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto” yang digelar di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu (24/5/2025). Saat itu, Soeharto dirasa tak mampu menghadirkan keadilan, kesejahteraan dan kebebasan.
“Bagaimana pemimpin yang diktator, yang melahirkan, yang keluar dari tujuan sebagaimana ada di dalam konstitusi kita, bangsa yang adil, bangsa yang sejahtera, bangsa yang bebas, merdeka, itu justru tidak diwujudkan, tetapi sebaliknya membangun kerusakan-kerusakan yang kemudian makin menjauhkan masyarakat kita dari keadilan sosial yang dimandatkan di dalam konstitusi dan Pancasila. Sehingga kenapa gerakan 98 ‘reformasi’ itu lahir,” kata Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, dikutip dari laman kumparan, Sabtu.
Karena hal itu, Anis lalu mengajak untuk memahami kembali makna pahlawan. Sesuai definisi negara, pahlawan adalah orang yang berkontribusi untuk bangsa, berkarya nyata, memberikan kontribusi untuk kemajuan kesejahteraan bagi bangsa.
“Jadi saya kira ketika gelar pahlawan akan diberikan kepada siapa pun, pihak mana pun yang mengusulkan itu mesti kembali kepada hal yang paling prinsip dari makna pahlawan itu sendiri. Benarkah dia sudah berkontribusi untuk kemajuan bangsa? Benarkah dia berkontribusi untuk pembangunan bangsa? Benarkah dia berkontribusi untuk kemajuan bangsa? Bukan sebaliknya,” ujar Anis.
Maka menurut Anis, keputusan untuk memberi gelar pahlawan kepada Soeharto itu perlu ditinjau lagi. Menimbang sepak terjang 32 tahun kepemimpinan Soeharto, terutama dilihat dari sisi HAM, demokrasi, dan kesejahteraan.
“Jadi bagaimana jejak-jejak 32 tahun berkuasa apa yang kemudian ditorehkan dalam hal penegakan HAM, demokrasi, membangun keadaban bangsa, mensejahterakan manusia dan lain sebagainya, saya kira itu adalah yang paling fundamental dalam tata kita berbangsa dan bernegara,” kata Anis.
Sementara Aktivis 98, Ubedilah Badrun, yang juga menjadi pembicara, menyampaikan refleksinya mengenai harapan 27 tahun lalu setelah tumbangnya Soeharto.
“Kita membayangkan bahwa 27 tahun kemudian kita menjadi bangsa yang demokrasinya berkualitas, korupsinya minimalis. Tapi apa yang terjadi hari ini? Kita setback. Kita mundur,” tuturnya.
Ia mengkritisi praktik korupsi dan pelanggaran HAM yang tidak kunjung diselesaikan, bahkan semakin marak.
“PPATK menyebutkan bahwa ada uang APBN yang dikorupsi hampir Rp 1.000 triliun. Hampir 30 persen dari APBN dikorupsi, ini negara apa?” ujarnya.
Ubed menegaskan bahwa Soeharto belum layak dijadikan pahlawan karena terbukti secara hukum sebagai pelanggar HAM dan koruptor.
“Soeharto juga terbukti di meja pengadilan tahun 2000, disebutkan bahwa Soeharto dinyatakan sebagai koruptor. Dan kemudian Dia dinyatakan telah merugikan negara Hampir Rp 11 triliun. Lalu oleh Mahkamah Agung disebutkan Rp 4,4 triliun,” kata Ubed.
Acara ini dihadiri berbagai jaringan aktivis, mahasiswa, dan elemen masyarakat sipil sebagai bentuk konsolidasi menolak glorifikasi atas rezim otoriter. Panitia juga menyerukan penggunaan pakaian hitam sebagai simbol duka dan perlawanan terhadap lupa sejarah.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News