Oleh: Armin Mustamin Toputiri
“Presiden dungu. Otaknya kosong”
HARIAN.NEWS – Maafkan. Ini bukan kata saya. Itu kalimat — telah sekian kali banyak – deras mengalir dari mulut Rocky Gerung. Sang kritikus sejati.
Baca Juga : RUU Omnibus Law Kesehatan: Apakah Sudah Relevan Mengatasi Persoalan Kesehatan saat Ini?
Putra Jokowi, Gibran Rakabuming — Walikota (muda) Solo — pun mengaku rangkai kalimat itu dikatakan Rocky, kala keduanya bersua.
Tak kurang, Lord Luhut — menteri paling diandalkan Jokowi dibanding menteri lain — pun mengaku di depan Rocky, bahwa ucapan Rocky menyebut Jokowi dungu, sangatlah menyakitkan. Tanpa maksud membenarkan, tapi kata Luhut apa boleh buat, di alam demokrasi, mesti diterima.
Petang kemarin di Makassar, kala berbincang Rocky, lagi-lagi ia mempertegas kalimatnya, soal kedunguan pemimpin kita.
Baca Juga : Masih Relevankah Prinsip Nonblok Indonesia Menghadapi Permasalahan Papua?
Apa benar, demikian adanya. Atau, jangan-jangan sebaliknya, Rocky si penggerak akal sehat itu justru yang dungu. Saya katakan pada Rocky. “Mari, sama-sama kita uji”.
Sekian survey dilakukan banyak lembaga — kredibel ataukah abal-abal — seluruhnya menemukan, justru hasil sebaliknya. Nilainya, 80 persen masyarakat Indonesia merasakan puas kinerja Presiden Jokowi.
Percaya tak percaya, kata saya pada Rocky, hasil survey itu cara tak langsung menyimpulkan, bahwa Rocky — tak kecuali para kaum terdidik yang berakal sehat dan tak habis-habis mengkritik kinerja Jokowi – justru keliru, bahkan sebaliknya yang dungu.
Baca Juga : Pendidikan Formal Sebagai Pabrik Kapitalis Untuk Mencetak Manusia yang Siap Kerja
Logika matematis saya, dipatahkan Rocky dengan cara berbalik menuding lembaga, juga para survreyornya yang tak kredibel. “Mana mungkin hasil suvey mereka layak dikonsumsi untuk dipercaya”, kata Rocky.
Sesegera, saya menimpali. Demokrasi kita, terlanjur memunggungi indikator kualitatif. Telah terjerumus di lubang kuantatif. Coba kita lihat, Capres unggulan kita hanya tiga nama. Anies, Prabowo dan Ganjar. Tak lain karena kita percaya hasil survey.
“Bukankah langkah mundur, jika kita berbalik mempertanyakan lagi hasil survey. Bahkan berbalik menjadikannya kambing hitam?”, tegas saya pada Rocky.
Baca Juga : Catatan Kecil PSM Juara
Rocky. cuma nyengar-nyengir. Meletakkan mike, tak lagi berminat melanjutkan diskusi.
Diskusi, di ruang tertutup, ditutup. Saatnya menikmati racikan “kopi kuno” Red Corner Cafe, Makassar. Suasana cair, bahkan liar.
Cara kelakar, saya katakan pada Rocky, “tadi, Anda tak minat melanjutkan diskusi. Rupanya, Anda makfum alur logika saya, matematis. Mempertandingkan lewat survey. Siapa dungu vs siapa berakal sehat”.
“Nah, itu dia!”, jelas Rocky.
“Saya hanya coba bermain-main lewat logika matematis. Agar Anda tau duduk soalnya”, kata saya. “Soal apa?”, sanggah Rocky. “Soal pola komunikasi para orang-orang berakal sehat pada publik di lapisan bawah”. Rocky menatap muka saya. “Diskursus, bahkan kritikan Anda menyebut Jokowi dungu, tak mampu mereka cerna”, lanjut saya.
“Buktinya?”, tantang Rocky. “Itu tadi, hasil survey. Kepuasan publik atas kinerja Jokowi, tetap saja tinggi”, pungkas saya.
Suvey membuktikan, jika Rocky, para kaum terdidik, para pengkritik yang tak puas kinerja Jokowi, gagal total berkomunikasi dengan publik.
Telah berbusa-busa, sekalipun itu, mulut mereka berdalil. Mengungkap banyak kebijakan Jokowi yang keliru. Mengalih subsidi APBN untuk mobil listrik, misalnya. Berpihak dan hanya menguntungkan produsen serta konsumen pemilik uang.
Kritikan itu, boleh jadi ada benarnya. Hanya saja — sekali lagi survei membuktikan — rakyat kebanyakan tak tau dampak risiko ditanggung rakyat banyak atas kebijakan itu. Wajar, rakyat tak hendak ambil pusing. “Toh, itu bukan urusan kami”.
Oleh karena itu, kata saya pada Rocky. Pola komunikasi Anda, waktunya dibalik. “Petani kenapa Anda meringis? Pupuk yang Anda perlukan, langka. Pun jika ada, harga belinya mahal. Sebabnya kenapa? Itu tadi, dampak risiko dari kebijakan Jokowi. Dana APBN yang semula diperuntukkan subsidi pupuk, dikurangi lalu dialihkan untuk subsidi mobil-motor listrik”.
Siapa yang untung? Pastilah, mereka para pengusaha dan para orang kaya pembeli mobil-motor listrik itu. Lebih murah karena dapat subsidi.
Siapa yang buntung? Pastilah, mereka rakyat kita yang menghidupi keluarga dari bertani. Tak lain akibat pupuk dibutuhkan langka. Harga belinya mahal karena dana subsidinya dikurangi, demi memperkaya orang kaya.
“Cukup”, sela Rocky. “Itu, baru satu contoh”, tepis saya. “Terima kasih, sudah. Saya sudah paham isi pesan yang Anda maksud”, kata Rocky menjabat tangan saya.
Okelah bro. Jika demikian, kita tunggu survey berikutnya untuk pertandingan selanjutnya.
Apakah dalih Anda, juga para orang-orang terdidik, kelak yang akan memenangi pertandingan. Bahwa, para pengkritik, memang benar berakal sehat. Sebaliknya, pihak terkritik, memang benar dungu dan tak ada otak.
Ataukah, hasil survey tetap saja seperti sebelum-sebelumnya. Penanda, gagalnya para orang-orang terdidik dan berakal sehat, berkomunikasi ke lapis wong cilik. Masyarakat kelas bawah, justru dominan di republik tercinta ini.
Faisal-Phinisi, 23-05-2023
Baca berita lainnya Harian.news di Google News