Siapa nih yang Sering Ma’burasa? Ternyata ada Makna Mendalam di Baliknya

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Siapa nih, yang kampung halamannya di Sulawesi Selatan (Sulsel)? Di Sulsel, tentu familiar dengan kegiatan Ma’burasa atau membuat buras (nasi yang dicampur santan dan dibungkus daun pisang kemudian diikat).
Sebagai informasi, Ma’burasa berasal dari bahasa Bugis yang berarti membuat buras. sebuah kuliner tradisional dari masyarakat Bugis-Makassar.
Buras atau burasa’ terbuat dari beras yang dicampur santan dan diberi sedikit garam. Kemudian dibungkus dengan daun pisang dan diikat secara khusus. Setelah itu, burasa’ lalu direbus dalam waktu yang cukup lama.
Kegiatan Ma’burasa menjadi tradisi turun-temurun di masyarakat Bugis-Makassar. Tidak hanya melibatkan kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Ma’burasa biasanya dilakukan oleh masyarakat Bugis pada H-1 menjelang hari Lebaran.
“Kalau dirumahku, bukan cuma perempuan laki-laki juga ikut, sebelum meninggal, dulunya bapak juga bantu ibu di rumah,” cerita Sriyusniar (29), salah satu warga Makassar yang juga melakukan Ma’burasa di rumahnya, Selasa (9/4/2024).
Kegiatan Ma’burasa ini ternyata bukan hanya sebagai persiapan sajian Idulfitri saja, namun ada makna khusus dari kegiatan yang terkadang menjadi sangat dirindukan setiap tahunnya ini.
Sejarawan dan budayawan Universitas Hasanuddin (Unhas) Hasan Husain menjelaskan, Ma’burasa bukan hanya sekadar kegiatan menyiapkan hidangan untuk disantap pada lebaran saja. Namun aktivitas tersebut adalah identitas masyarakat Bugis-Makassar di dalamnya.
“Perlu diketahui bahwa bukan orang Islam saja yang melakukannya (Ma’burasa), malah ada yang non-Islam juga melakukannya. Contoh, di Sidrap itu ada kelompok masyarakat Tolotang, menjelang lebaran mereka lebih dulu jadi burasnya dibanding orang Islam. karena itu ada sesuatu yang diajarkan dari generasi ke generasi,” kata Hasan.
Pada zaman dulu, tradisi Ma’burasa dilakukan bersama-sama, baik dengan tetangga atau keluarga besar.
Para perempuan baik ibu-ibu maupun anak-anak remaja duduk bersama untuk membungkus dan mengikat burasa’ di salah satu teras rumah. Kemudian kaum laki-laki akan menyiapkan alat masak di atas tungku. Mereka bertugas untuk menjaga api tungku hingga burasa’ matang.
Proses memasak burasa’ cukup lama, yaitu sampai delapan jam. Setelah masak, hasilnya nanti akan dibagi sesuai dengan jumlah keluarga yang dimiliki.
“Ada nilai gotong royong atau kebersamaan yang dibangun. Biasanya masyarakat Bugis itu di suatu wilayah perkawinan kekerabatan itu masih kental sehingga yang ada dalam masyarakat itu masih saudara, kerabat.” katanya.
“Di sekitaran mereka itu hampir semua keluarga, sehingga saat Ma’burasa itu ada satu tempat yang disepakati, akan ada pembagian antara siapa-siapa yang ada di antara mereka,” lanjutnya.
Sehingga kegiatan ini, lanjut Hasan mengajarkan masyarakat Bugis-Makassar makna bergotong-royong dalam kehidupan.
Proses Pembuatan Ma’Burasa zaman dulu dan Sekarang pun mengalami perubahan.
Zaman dulu, kata Hasan, bahannya seperti beras, santan, dan sedikit garam. Kemudian pembungkusnya berupa daun pisang yang telah dijemur. Sementara pengikatnya terbuat dari serat batang pohon pisang yang telah dijemur terlebih dahulu.
“Sekarang agak berubah, kata mereka (zaman sekarang) lebih efektivitas dengan tali rafia itukan lebih mudah. Kalau kulit pisang itu kan harus dikeringkan, tidak bisa langsung dipakai,” jelasnya.
“Kadang ada yang lebih memilih menggunakan jasa Ma’burasa untuk yang sibuk,” lanjutnya.
Namun tetap, di zaman yang serba modern Ma’burasa masih terjaga di masyarakat Bugis meskipun tidak lagi dilakukan beramai-ramai.
“Buktinyakan selalu ada buras dihidangkan di atas meja makan orang Bugis-Makassar setiap lebaran,” tandasnya.
(NURSINTA)
Baca berita lainnya Harian.news di Google News