Tata Ruang Penyebab Banjir Makassar

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan, menyoroti semakin terbatasnya wilayah resapan air di Makassar sebagai pemicu utama banjir.
Merespon hal tersebut, Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto, menilai banjir yang terus berulang di Makassar bukan hanya akibat faktor alam, tetapi juga kesalahan dalam tata ruang.
Ia menyebut minimnya daerah resapan air dan buruknya penataan ruang sebagai penyebab utama bencana di Makassar.
“Itulah tata ruang. Tata ruang itu menyangkut daerah resapan, daerah tangkapan air, daerah hijau, pemukiman, dan DAS yang harus terlindungi. Makanya saya bilang ini bencana tata ruang,” ujar Danny Pomanto. Minggu (16/2/2025).
Danny Pomanto kemudian menyoroti sistem drainase yang tidak bekerja maksimal akibat pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan.
Ia menjelaskan bahwa banyak saluran air dari kawasan permukiman bermuara di lokasi-lokasi yang rawan genangan, sehingga memperburuk kondisi saat hujan deras.
Saat meninjau banjir di Perumnas Antang Blok 8, Danny Pomanto kembali menegaskan bahwa masalah banjir bukan sekadar fenomena alam, melainkan dampak dari tata ruang yang buruk.
“Dulu di sini tidak ada rumah, jadi tidak ada banjir. Begitu kawasan ini dihuni, banjir mulai terjadi. Jadi ini jelas masalah tata ruang,” tegasnya.
Danny Pomanto, memastikan bahwa selama masa kepemimpinannya, ia tidak mengizinkan pembangunan perumahan yang tidak memiliki sistem mitigasi banjir.
“Alhamdulillah, di masa saya, tidak ada pembangunan perumahan yang tidak memenuhi standar keamanan dari ancaman banjir,” ujarnya.
Danny menegaskan bahwa penanganan banjir di Makassar membutuhkan solusi jangka panjang, seperti perbaikan sistem drainase, pengembalian fungsi daerah resapan air, serta penerapan kebijakan tata ruang yang lebih ketat. Menurutnya, tanpa langkah konkret, banjir akan terus menjadi ancaman bagi warga Makassar di masa depan.
Sebelumnya, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulsel, Slamet, mengungkapkan bahwa dalam satu dekade terakhir, jumlah kejadian bencana meningkat drastis hingga enam kali lipat.
“Pada tahun 2014, hanya tercatat 54 kejadian bencana di Sulawesi Selatan. Namun, pada 2024 angkanya melonjak menjadi 362 kasus. Selain itu, kerugian ekonomi yang diderita masyarakat akibat bencana tahun lalu mencapai Rp1,95 triliun,” ungkapnya.
Slamet menegaskan bahwa penyebab utama krisis lingkungan di Sulawesi Selatan adalah berkurangnya tutupan hutan akibat aktivitas pertambangan, alih fungsi lahan, dan penebangan liar. Saat ini, luas tutupan hutan di provinsi ini hanya tersisa 1,35 juta hektare atau 29,7 persen dari total wilayah, yang menurut WALHI sudah masuk kategori kritis.
Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) juga mengkhawatirkan. Dari 139 DAS yang ada di Sulawesi Selatan, hanya 38 DAS atau 27,4 persen yang masih sehat dengan tutupan hutan di atas 30 persen. Sebaliknya, 101 DAS lainnya atau 72,6 persen telah mengalami kondisi kritis.
“DAS yang semakin terdegradasi membuat kemampuan lingkungan untuk menyerap air hujan berkurang. Akibatnya, sungai-sungai meluap lebih cepat, memicu banjir dan longsor yang semakin sering terjadi,” jelasnya.
DAS Maros menjadi salah satu contoh nyata dampak deforestasi. Dalam 30 tahun terakhir, kawasan ini kehilangan lebih dari 1.000 hektare hutan.
“Secara hidrologi, hal ini menyebabkan sungai-sungai di DAS Maros dan Tallo meluap. Drainase yang buruk serta wilayah resapan air yang semakin terbatas juga memperburuk kondisi ini. Bahkan, luas hutan di DAS Maros telah menyusut 1.057,90 hektare dalam tiga dekade terakhir,” terang Slamet.
Penulis: Nursinta
Baca berita lainnya Harian.news di Google News