DFK

HARIAN.NEWS,MAKASSAR – DFK adalah tentang disinformasi, fitnah dan kebencian. Dan merupakan sebuah indikator seseorang itu cerdas dan sulit diprovokasi atau sebaliknya.
Apabila Anda masuk kategori kadar DFK tinggi, berarti ada yang harus disesuaikan agar tidak terpancing dan gampang terhasut.
Faktanya, rata-rata IQ orang Indonesia rendah. Mudah tersulut emosi merupakan ciri awal. Namun bukan berarti tidak bisa berubah menjadi lebih pintar.
Terus belajar, menggali lewat bacaan dan menambah wawasan, berdiskusi dengan pakar merupakan langkah solutif.
Kemampuan menalar dan cenderung bereaksi cepat atas kalimat-kalimat yang menyesatkan di medsos menjadi keseharian.
Dan jawaban balasan pun spontan bersifat permukaan, senada tentang kebencian, “toxic reply”. Mental popcorn, meledaknya cepat redanya juga cepat.
Jangan biarkan suara bising opini orang lain menenggelamkan.
Ada tuntutan untuk lebih terbuka dan bijak dalam mencerna setiap kejadian atau informasi di dunia maya. Bahwa ada yang lebih besar tak tersentuh oleh nalar masyarakat awam yang harus diketahui.
Tentang ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia seperti apa pengelolaan dan dampaknya. Perekonomian dan sistem perbankkan semakin berkembang berkaitan dengan investasi yang cocok dengan iklim dan situasi kekinian.
Demikian pula dengan keadaan perpolitikan yang kompleks, hanya memperdebatkan soal kepentingan. Ilmu pengetahuan juga sangat membutuhkan pendalaman dan sebagainya.
Semua saling terkait, tidak berdiri sendiri dan membutuhkan proses yang tidak sebentar. Setiap kebijakan ada yang pro dan kontra. Jadilah saksi tentang pencapaian demi pencapaian yang diraih.
Efek domino, saling serang dan melempar kalimat kebencian “ psy warna ”, mengakibatkan masyarakat seakan terbelah dengan sebutan “ Ternak Mulyono ” dan “ Anak Abah ”. Tak ubahnya perang merk dagang.
Sampai kapan kelemahan yang dipertontonkan kita umbar dan pada akhirnya dijadikan celah masuk oleh pihak-pihak yang memanfaatkan isu ketidakharmonisan sebagai politik adu domba.
Jika dicermati lebih dalam, sekelompok orang-orang terpelajar, terdidik dan memiliki skill, mereka menyadari kekeliruan yang terjadi di arus bawah.
Akibat buzzer membagikan informasi, video yang telah diedit sedemikian rupa, seolah-olah benar terjadi. Sengaja menciptakan ruang adu argumen tepatnya adu mulut melalui cuitan di twiter, tiktok, dengan bebas.
Ada sasaran yang hendak dijadikan perolehan clikbait, pembajakan emosi atas rasionalitas. Lama kelamaan manusia terbiasa menjadi psikopat kehilangan empati. Minim ilmu cenderung tidak peduli dan melanggar rambu. Simulasi dan latihan sangat dianjurkan.
Kebebasan berpendapat, menyuarakan tuntutan yang kebablasan tidak menafikan hukum. Berdemokrasi bukan bebas tanpa batas.
Seharusnya kita kawal pemerintah menjalankan program-program yang prioritas, mensejahterakan masyarakat.
Meliputi program jangka pendek dan program jangka panjang. Biarkan fokus bekerja. Baru menyuarakan jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran dsb. Tidak dicampur aduk, justru buang waktu dan menghambat pembangunan.
Dengan terus menggoreng masalah remeh temeh seolah tidak ada lagi kreativitas.
Publik diimbau tetap jernih dan kritis terhadap upaya framing yang mengganggu, jangan mudah tersulut oleh narasi.
Terus asah keahlian untuk menjadi lebih tangkas sehingga kita benar-benar dimampukan menghadapi riak kehidupan baik dalam keadaan senang maupun susah. Tetap survive dalam segala situasi, agar selalu menemukan jalan keluar. ***
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
Penulis : IGA KUMARIMURTI DIWIA (PEMRED HARIAN.NEWS)