Kebebasan Pers adalah Harga Mati

Kebebasan Pers adalah Harga Mati

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Kebebasan pers bukan sekadar slogan. Ia adalah harga mati di negeri demokratis seperti Indonesia. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 sudah jelas. Kalau mau tahu bunyi pasal-pasalnya, lihat saja langsung ke Pasal 4 dan Pasal 6.

Pasal 4 UU Pers 40/1999 menegaskan bahwa “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.

Lebih dalam lagi, ayat keduanya berbunyi: “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.” Sementara ayat ketiga berbunyi: “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”

Dan jangan lupakan ayat keempatnya, “dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.”

Sedangkan di Pasal 6 UU Pers, peran pers diuraikan secara jelas:

“Pers nasional melaksanakan peranan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia; menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.”

Apa artinya semua ini? Bahwa pers bukanlah tukang terompet kekuasaan. Pers dilahirkan untuk menjadi mata dan telinga publik. Ia berdiri di garis terdepan untuk mengungkap, memberitakan, dan bahkan menantang ketidakadilan.

Kalahnya Gugatan Eks Stafsus dan Pesan untuk Semua

Belum lama ini, Mahkamah Agung membuat putusan penting. Lima mantan staf khusus Gubernur Sulawesi Selatan menggugat dua media daring Herald.id dan inikata.co.id, beserta wartawan dan narasumbernya.

Tidak main-main, mereka menuntut ganti rugi hingga Rp700 miliar. Bagi banyak orang, angka itu bak mimpi buruk; seakan-akan pers harus menanggung biaya luar biasa besar hanya karena mereka menjalankan tugasnya.

Tapi harapan mereka kandas di tingkat kasasi. Mahkamah Agung menolak permohonan tersebut dan memperkuat putusan-putusan sebelumnya. Ini bukan sekadar kemenangan media yang digugat, ini pesan untuk semua: bahwa kebebasan pers diatur dan dilindungi undang-undang, dan bahwa ranah pers bukan ruang untuk menebar ketakutan.

Di negara demokratis, pers harus diberi keleluasaan untuk menulis dan memberitakan. Bukan asal bicara tanpa bukti, melainkan berpegang pada prinsip jurnalistik dan kode etiknya. Dan kode etik itu, bila kita mau lebih dalam membaca, sudah jelas memandu setiap wartawan agar bekerja profesional dan bertanggung jawab.

Sebagai contoh, dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 ditegaskan bahwa wartawan harus “bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.” Pasal 3 menekankan kewajiban untuk “menghindari berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.” Dan Pasal 4 melarang “menyiarkan berita berdasarkan prasangka dan diskriminasi.”

Semua ini adalah pagar pembatas agar pers tetap sehat dan berintegritas. Ketika pers menaati kode etiknya, ia seharusnya dilindungi, bukan malah dikebiri.

Hukum Sebagai Pengingat

Kisah gugatan mantan stafsus Gubernur Sulsel ini memberi banyak pelajaran. Di satu sisi, ini pengingat untuk pemerintah dan para pembantunya bahwa media harus dihargai sebagai pilar demokrasi. Tidak bisa sekadar melancarkan gugatan raksasa demi membuat media takut dan bungkam.

Di sisi lain, ini juga pengingat untuk semua insan pers agar tetap teguh pada prinsip-prinsip dasar jurnalistik. Tidak membuat berita berdasarkan kabar burung, tidak asal “klikbait,” dan menjauhkan diri dari kepentingan sempit. Karena hanya dalam suasana pers sehat dan kredibel, publik bisa mendapatkan informasi yang benar dan utuh.

Pada akhirnya, putusan Mahkamah Agung adalah tamparan keras untuk mereka yang berpikir bisa membeli kebenaran dengan uang atau meredam pers lewat jalur hukum. Negara ini sudah cukup matang untuk memahami bahwa demokrasi perlu pers yang berani dan beretika.

Tantangan ke Depan

Namun jangan salah, kemenangan ini bukan berarti perjuangan sudah selesai. Ke depan, tekanan terhadap pers pasti akan tetap ada, entah dalam bentuk gugatan, ancaman, hingga serangan di ranah digital. Pers harus tetap teguh berdiri di garisnya: mengabdi kepada publik dan mematuhi undang-undang.

Dan masyarakat, pembaca, dan siapa pun Anda, jangan biarkan pers berjuang sendirian. Publik harus ikut menjaga agar pers bisa leluasa bekerja dan berani bersuara. Karena tanpa pers, ruang demokrasi akan sempit. Tanpa pers, publik akan buta. Dan tanpa pers, koruptor, penyeleweng, hingga pejabat semena-mena bisa leluasa bekerja di balik layar. ***

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Halaman

Penulis : Bang Har (Komunitas Penulis Kampung Sulawesi Selatan)