Tapi harapan mereka kandas di tingkat kasasi. Mahkamah Agung menolak permohonan tersebut dan memperkuat putusan-putusan sebelumnya. Ini bukan sekadar kemenangan media yang digugat, ini pesan untuk semua: bahwa kebebasan pers diatur dan dilindungi undang-undang, dan bahwa ranah pers bukan ruang untuk menebar ketakutan.
Di negara demokratis, pers harus diberi keleluasaan untuk menulis dan memberitakan. Bukan asal bicara tanpa bukti, melainkan berpegang pada prinsip jurnalistik dan kode etiknya. Dan kode etik itu, bila kita mau lebih dalam membaca, sudah jelas memandu setiap wartawan agar bekerja profesional dan bertanggung jawab.
Sebagai contoh, dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 ditegaskan bahwa wartawan harus “bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.” Pasal 3 menekankan kewajiban untuk “menghindari berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.” Dan Pasal 4 melarang “menyiarkan berita berdasarkan prasangka dan diskriminasi.”
Baca Juga : Bernegara Melibatkan Rasa dan Empati
Semua ini adalah pagar pembatas agar pers tetap sehat dan berintegritas. Ketika pers menaati kode etiknya, ia seharusnya dilindungi, bukan malah dikebiri.
Hukum Sebagai Pengingat
Kisah gugatan mantan stafsus Gubernur Sulsel ini memberi banyak pelajaran. Di satu sisi, ini pengingat untuk pemerintah dan para pembantunya bahwa media harus dihargai sebagai pilar demokrasi. Tidak bisa sekadar melancarkan gugatan raksasa demi membuat media takut dan bungkam.
Baca Juga : Pentingnya Sistem Integritas
Di sisi lain, ini juga pengingat untuk semua insan pers agar tetap teguh pada prinsip-prinsip dasar jurnalistik. Tidak membuat berita berdasarkan kabar burung, tidak asal “klikbait,” dan menjauhkan diri dari kepentingan sempit. Karena hanya dalam suasana pers sehat dan kredibel, publik bisa mendapatkan informasi yang benar dan utuh.
Pada akhirnya, putusan Mahkamah Agung adalah tamparan keras untuk mereka yang berpikir bisa membeli kebenaran dengan uang atau meredam pers lewat jalur hukum. Negara ini sudah cukup matang untuk memahami bahwa demokrasi perlu pers yang berani dan beretika.
Tantangan ke Depan
Baca Juga : Menyatukan Tiga Kepala
Namun jangan salah, kemenangan ini bukan berarti perjuangan sudah selesai. Ke depan, tekanan terhadap pers pasti akan tetap ada, entah dalam bentuk gugatan, ancaman, hingga serangan di ranah digital. Pers harus tetap teguh berdiri di garisnya: mengabdi kepada publik dan mematuhi undang-undang.
Dan masyarakat, pembaca, dan siapa pun Anda, jangan biarkan pers berjuang sendirian. Publik harus ikut menjaga agar pers bisa leluasa bekerja dan berani bersuara. Karena tanpa pers, ruang demokrasi akan sempit. Tanpa pers, publik akan buta. Dan tanpa pers, koruptor, penyeleweng, hingga pejabat semena-mena bisa leluasa bekerja di balik layar. ***
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
