Pentingnya Sistem Integritas

Pentingnya Sistem Integritas

HARIAN.NEWS, SINJAI – Mohammad Hatta (Proklamator RI), mengutip pujangga Jerman, Johann Friedrich Von Schiller ; ” Suatu masa yang besar telah dilahirkan oleh abad, ” tetapi masa besar itu menemui manusia kecil”. Kritik hatta ini, rasanya masih relevan dengan keadaan bangsa dan negeri kita saat ini. Dulu Hatta mengkritik, karena kemerdekaan sudah direngkuh tetapi tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk kemajuan seluruh rakyat, bangsa dan negara.

Para pemimpin terdahulu, sulit untuk mnyebut namanya satu persatu, tetapi ada irisan yang sama dan sebangun dari pemimpin-pemimpin itu, Latar belakang kehidupannya yang sarat perjuangan, pengorbanan dan penderitaan. Pemimpin-pemimpin terdahulu tidak mngambil untung, baik untuk dirinya, keluarganya maupun kelompoknya dari aktifitas politiknya.

Negeri ini pernah mngalami krisis yang luar biasa, setelah Soekarno-Hatta menyerah pada 19 Desember 1948, bahkan diasingkan keluar Jawa. Atas kejadian tersebut, Belanda mendeklarasikn bahwa ” Usia Republik Indonesia sudah tamat”. Ternyata tidak, ada pemimpin lain yang memiliki semangat dan nilai juang sama dan tidak pernah taklut.

Dia adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin pemerintahan darurat (PDRI), sebuah pemerintahan yang bergerak dari hutan ke hutan di Sumatera untuk menghindar dari kepungan pasukan belanda. Namun, tetap dapat berkomunikasi melalui saluran radio dengan jenderal sudirman yang juga sakit keras untuk mempertahankan negeri ini. Kedua tokoh ini didukung oleh tokoh/pemimpin lain yang sama gigihnya dan juga sama kesederhanaannya.

Kesederhanaan dan kejujuran Syafruddin Prawiranegara, diceritakan bahwa ketika anaknya Halik Prawiranegara lahir, terpaksa istrinya harus merobek dasternya untuk dibuat gurita, karena tidak memiliki uang untuk membeli gurita yang baru. Padahal, Syarifuddin Prawaranegara saat itu adalah sedang menjabat menteri keuangan. Diceritakan pula, bahwa Ia beberapa kali menerima tawaran hadiah dari berbagai perusahaan besar, termasuk perusahaan Belanda tetapi ia teguh dengan pendiriannya untuk menolak berbagai bentuk sogokan. Mereka umumnya, memilih hidup miskin ketimbang menghianati kepercayaan rakyatnya.

Kesederhanaan dari tokoh – tokoh terdahulu tiada tara, tetapi pengabdian dan baktinya kepada negeri ini dikenang sepanjang sejarah. Ia bekerja dengan senyap, malu diliput media, tetapi gigih bekerja, berjuang, mempertaruhkan jiwa untuk eksistensi dan kebesaran bangsanya. Negeri yang miskin karena sumberdaya alam yang belum tereksplorasi, tidak menciptakan kegaduhan karena rakyat miskin merasakan eloknya keadilan. Keadilan itu ada karena rakyat menyaksikan pemimpinnya juga hidup selayaknya.

Mereka memuliakan kepercayaan rakyat, bukan melestarikan gaya untuk mendapatkan pujian dari rakyat. Tidak seperti pemimpin Demagog hari ini yang mementingkan pujian. Tugas dan tanggung jawabnya sebagai pejabat negara dikapitalisasi sebagai kebaikan hatinya kepada rakyat. Belanja negara yang digolontorkan untuk kepentingan publik, dipandang sebagai kebaikan hatinya kepada rakyat. Karena kekuasaan diperoleh dengan cara transaksi, bukan dengan dasar kepercayaan. Maka, tidak dapat membedakan sebagai pejabat negara dan kepentingan pribadinya.

Di tengah kesulitan karena beratnya biaya hidup, lapangan pekerjaan tidak cukup tersedia untuk menyangga siklus hidup, para punggawa bangsa ini justru pamer kemewahan. Apa yang dipertontonkan para anak dan istri pejabat negara dikala berlibur keluar negeri, menginap di hotel mewah, berbelanja aksesoris mewah, dan menggunakan mobil yang harganya fantastis adalah perangai yang tak memiliki empati kepada rakyat yang sedang bertahan hidup dengan memeras keringat dan cucuran air mata demi sesuap nasi.

Pamer kemewahan dari sumber yang jelas dan benar saja, sdh bertentangan dg nilai – nilai etika kehidupan berbangsa, apatalagi kalau yang dipamerkan itu bersumber dari cara – cara yang koruptif. Nauzubillah…

Lalu bagaimana dengan para elit yang pamer kekuasaan, tabiat ini memang terkesan tidak setegaan dengan yang pamer kemewahan, tetapi tingkat kerusakannya akan jauh lebih besar menyensarakan rakyat. Bukan sekedar budaya hidup mewah, tetapi upaya memblokade akses kekuasaan dan penguasaan sumberdaya pada kelompok sosial tertentu. Ketimpangan sosial ekonomi, kemiskinan, ketertinggalan, dan keterbelakangan kelompok sosial yang lebih luas bersumber dari model kekuasaan ini.

Pamer kekuasaan dipermak sedemikian rupah, seolah kebutuhan masa dan massa sehingga tidak viral sebagai kerisauhan publik. Kita menyaksikan para petinggi negeri ini, takut berlebihan (paranoid) akan kehilangan kekuasaan. Diakhir masa jabatannya karena terbatasi UU, masih berusaha tidak kehilangan kendali kekuasaan dengan berbagai manuver yang dilancarkannya.

Pamer kekuasan yang lebih nyata adalah menjadikan demokrasi sebagai instrumen untuk merengkuh dan mendistribusi kekuasaan secara terbatas pada keluarga dan koleganya. Lihat para petinggi negeri ini, berebut kekuasaan tidak memedulikan pentingnya Check and Balances dalam pengelolaan kekuasaan.

Tidak puas dengan menempatkan anak dan sanak keluarganya pada jabatan politik seperti Bupati, Walikota, dan Gubernur, lembaga-lembaga yang mandiri dan independen pun mulai terasuki politik kekuasaan. Tidakkah sadar, bahwa hukum dalam negara demokrasi, hakikatnya untuk mencegah terjadinya konsentrasi dan monopoli kekuasaan pada satu tangan tertentu.

Pengakuan terbuka Menkopolhukam Mahfud MD atas berbagai keculasan pejabat negara adalah angin segar agar negeri ini terbebas dari malapetaka sosial. Keterbukaan dan lantangnya suara mahfud atas berbagai kejanggalan, seolah mengajak publik untuk bergerak secara bersama menuntaskan pembersihan.

Berharap dari penyelenggara negara untuk menuntaskannya, sama halnya menggarami air di laut. Sebetulnya apa yang sedang diteriakkan dari dalam internal pemerintahan sangat berkorelasi positif bahkan bisa jadi bersumber dari taktik pamer kekuasaan yang dijelaskan di atas.

Membaca gelagak para elit politik dan pemerintahan seolah kita sedang membangun istana megah dari bongkahan salju, yang sewaktu waktu akan roboh dan mencair karena kita terbawa takjub pada kemegahannya, tidak secara kritis mengamati bahan dasar penyusunnya.

Setiap saat kita disuguhi berbagai informasi menggembirakan, rencana kegiatan pemerintah yg berpihak kepada rakyat, regulasi yang seolah memperkuat posisi rakyat. Nyatanya rakyat hidup dalam ketimpangan dan ketertinggalan. Kita tak menyadari bahwa disetiap eksekusi kebijakan yang indah didengar itu, terdapat patgulipat yang akan menyokong keberlangsungan pamer kekuasaan.

Tidak adanya titik sambung dan tidak ditemukannya formula partisipasi rakyat dalam mengontrol keberlangsungan kekuasaan, membuat penyelenggara kekuasaan bertindak sesukanya, tanpa berhitung seberapa besar manfaat yang didapatkan rakyat dari setiap kebijakan itu. kebijakan berjalan sendiri, sekedar mengikuti prosudural formal sebagai tamengnya, tanpa memikirkan kebijakan itu efektif dan efesien menjawab kebutuhan rakyat.

Rakyat mesti bersatu dan solid mengusung sistem integritas nasional yang dapat mengontrol dan mengoreksi secara efektif setiap tindakan penyelenggara negara baik eksekutif, legeslatif, maupun yudikatif. Rakyat tidak dapat berharap lebih dengan teori Trias Politika ala Montesquieu, bahwa cabang – cabang kekuasaan akan saling mengontrol untuk berada dijalur yang benar mewujudkan cita – cita dan tujuan nasional.

Deretan malapetaka sosial yang menyasar tiga cabang kekuasaan tersebut pertanda bahwa rakyat hanya diiming-imingi narasi keberpihakan tetapi sesungguhnya adalah persekongkolan. Rakyat mestinya sudah lelah dengan rasionalisasi bahwa keculasan itu bersifat kasuistik dan personal karena kejadiannya sdh bersifat massif.

Konsep dan kelembagaan sistem integritas nasional, mestinya menjadi road map pembenahan institusi negara. Seperti yang disosialisasikan pemerintah bahwa akan melakukan pembenahan total pada institusi kepolisian, peradilan dan lembaga lain akan menjadi sekedar perbaikan tambal sulam, jika hal pokok tetap diabaikan.

Hal pokok dimaksud adalah partipasi rakyat yang lebih nyata dan bermakna. sistem integritas nasional diharapkan selain tata nilainya yang mengokohkan soliditas sosial, hubungan-hubungan sosial dan relasi kekuasaan berintegritas karena ada penegak etik dimana rakyat juga terlibat di dalamnya.

Semoga sistem integritas nasional ini dapat terpikirkan dan terwujud, sehingga ada konsensus nasional yang menjadi panduan etik penyelenggara negara, dan ada lembaga khusus yg berkewenangan kuat mengawal tindakan penyelenggara negara apakah bersesuain dengan etika kehidupan berbangsa dan bernegara atau tidak.

Menyetir pandangan Samuel Huntington, bahwa Amerika Serikat dan Rusia adalah dua negara yang sistem politiknya berbeda, tetapi kedua negara tersebut sistem pemerintahannya efektif, karena ada konsensus nasional yang merupakan hasil kesepakatan rakyat yang menjadi pemandu dan dilaksanakan secara konsisten oleh organisasi negara.

Rakyat akhir – akhir ini gerah menyaksikan betapa keculasan para pembesar berada dipelupuk mata, tetapi saling silang pendapat pada proses formal, lalu permasalahan pokok terkaburkan. Rasa – rasanya semua hal diatur oleh mafia. Jika ketidak percayaan ini dibiarkan membesar, pada akhirnya rakyat menemukan momentum sikologisnya untuk melakukan perlawanan besar – besaran dan reformasi terkubur oleh sejarah dan tergantikan perubahan radikal yang mungkin ongkos sosialnya lebih mahal.

Penegak etik disetiap tingkatan penyelenggara negara menjadi solusi untuk mengembalikan marwah dan moral penyelenggara negara. Seperti halnya DKPP terhadap penyelenggara pemilu, sidang etik yang tidak bertele – tele tetapi memutus pelanggar etik secara efektif. Jika terbukti melanggar etik, diberikan sangsi etik berupa pemecatan atau pemberhentian dan sebaliknya jika tidak terbukti melakukan pelanggaran etik dengan sendirinya diberikan rehabilitasi.

Sistem ini akan memulihkan kepercayaan publik, karena setiap penyelenggara negara akan merasa terawasi etika publik dari rakyat secara laten.

Semoga ***

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Halaman

Penulis : RIDWAN ANDI USMAN (EKS KOMISIONER KPUD SINJAI)