Lalu bagaimana dengan para elit yang pamer kekuasaan, tabiat ini memang terkesan tidak setegaan dengan yang pamer kemewahan, tetapi tingkat kerusakannya akan jauh lebih besar menyensarakan rakyat. Bukan sekedar budaya hidup mewah, tetapi upaya memblokade akses kekuasaan dan penguasaan sumberdaya pada kelompok sosial tertentu. Ketimpangan sosial ekonomi, kemiskinan, ketertinggalan, dan keterbelakangan kelompok sosial yang lebih luas bersumber dari model kekuasaan ini.
Pamer kekuasaan dipermak sedemikian rupah, seolah kebutuhan masa dan massa sehingga tidak viral sebagai kerisauhan publik. Kita menyaksikan para petinggi negeri ini, takut berlebihan (paranoid) akan kehilangan kekuasaan. Diakhir masa jabatannya karena terbatasi UU, masih berusaha tidak kehilangan kendali kekuasaan dengan berbagai manuver yang dilancarkannya.
Pamer kekuasan yang lebih nyata adalah menjadikan demokrasi sebagai instrumen untuk merengkuh dan mendistribusi kekuasaan secara terbatas pada keluarga dan koleganya. Lihat para petinggi negeri ini, berebut kekuasaan tidak memedulikan pentingnya Check and Balances dalam pengelolaan kekuasaan.
Baca Juga : Semangat Sumpah Pemuda di Era Validasi
Tidak puas dengan menempatkan anak dan sanak keluarganya pada jabatan politik seperti Bupati, Walikota, dan Gubernur, lembaga-lembaga yang mandiri dan independen pun mulai terasuki politik kekuasaan. Tidakkah sadar, bahwa hukum dalam negara demokrasi, hakikatnya untuk mencegah terjadinya konsentrasi dan monopoli kekuasaan pada satu tangan tertentu.
Pengakuan terbuka Menkopolhukam Mahfud MD atas berbagai keculasan pejabat negara adalah angin segar agar negeri ini terbebas dari malapetaka sosial. Keterbukaan dan lantangnya suara mahfud atas berbagai kejanggalan, seolah mengajak publik untuk bergerak secara bersama menuntaskan pembersihan.
Berharap dari penyelenggara negara untuk menuntaskannya, sama halnya menggarami air di laut. Sebetulnya apa yang sedang diteriakkan dari dalam internal pemerintahan sangat berkorelasi positif bahkan bisa jadi bersumber dari taktik pamer kekuasaan yang dijelaskan di atas.
Baca Juga : Mutasi Bukan Sekadar Pindah Jabatan: Refleksi Akademik atas Dinamika Pemerintahan yang Sehat di Takalar
Membaca gelagak para elit politik dan pemerintahan seolah kita sedang membangun istana megah dari bongkahan salju, yang sewaktu waktu akan roboh dan mencair karena kita terbawa takjub pada kemegahannya, tidak secara kritis mengamati bahan dasar penyusunnya.
Setiap saat kita disuguhi berbagai informasi menggembirakan, rencana kegiatan pemerintah yg berpihak kepada rakyat, regulasi yang seolah memperkuat posisi rakyat. Nyatanya rakyat hidup dalam ketimpangan dan ketertinggalan. Kita tak menyadari bahwa disetiap eksekusi kebijakan yang indah didengar itu, terdapat patgulipat yang akan menyokong keberlangsungan pamer kekuasaan.
Tidak adanya titik sambung dan tidak ditemukannya formula partisipasi rakyat dalam mengontrol keberlangsungan kekuasaan, membuat penyelenggara kekuasaan bertindak sesukanya, tanpa berhitung seberapa besar manfaat yang didapatkan rakyat dari setiap kebijakan itu. kebijakan berjalan sendiri, sekedar mengikuti prosudural formal sebagai tamengnya, tanpa memikirkan kebijakan itu efektif dan efesien menjawab kebutuhan rakyat.
Baca Juga : Menanggapi Orang Bodoh: Antara Imam Syafi’i & Stoikisme
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
