Logo Harian.news

Kenali Sebab Kenapa Terus Terjadi?

Angka Kekerasan Seksual Melambung dan Keberanian Korban untuk Melapor

Editor : Rasdianah Kamis, 11 Januari 2024 12:46
ilustrasi. Foto: istock
ilustrasi. Foto: istock

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Beberapa waktu lalu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar, merilis data kekerasan perempuan dan anak mengalami peningkatan ddi tahun 2023 sebanyak 634 kasus dibandingkan tahun 2022 yang hanya 488 Kasus.

Melihat fenomena kenaikan angka tersebut Pengamat Perempuan dan Anak Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Rahmawati Latief menilai bahwa angka tersebut bisa diartikan sebagai kesadaran untuk melaporkan ke pihak berwajib terus meningkat.

“Artinya memang korbannya susah sadar kalau harus melapor jika merasa menjadi korban kekerasan baik itu fisik ataupun seksual, dan memang perlu ditanamkan sikap berani melapor dalam setiap diri,” tegasnya kepada Harian.News, Rabu (10/1/2024).

Baca Juga : Harumkan Nama Bangsa, Dosen UIN Alauddin Makassar Pengabdian Masyarakat di Australia

Rahmawati, sapaan akrabnya, memberikan rincian penyebab umum kekerasan seksual masih membayangi anak dan perempuan di Makassar meskipun ada program Jagai Anakta’ yang digaungkan Pemerintah Kota Makassar.

Penyebab Kekerasan Semakin Tinggi di Kalangan Masyarakat

Rahmawati Latief yang juga Dosen Komunikasi dalam Perspektif Gender ini membagi beberapa alasan dan penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak sering terjadi di Indonesia khususnya di Makassar,

Pertama, melekatnya budaya patriarki dan rendah kesetaraan gender, yang mana semua proses kebijakan dikeluarkan oleh pihak laki-laki dibanding yang juga menguntungkan mereka (laki-laki) dari pada perempuan secara menyeluruh,

Baca Juga : PMI UIN Alauddin Makassar Gelar Penerimaan dan Pengenalan Kampus

Selain itu pemahaman pendidikan lebih diutamakan kepada laki laki ketimbang perempuan juga masih tinggi di Makassar,

“Budaya patriarki ini juga mengatur bahwa perempuan laki-laki jauh lebih diprioritaskan daripada perempuan ya seperti itu jadi budaya patriarki ini yang memang masih melekat ya khususnya di daerah-daerah ya,” ujarnya.

“Dan jangan salah, sekali pun semakin modern masih banyak orang tua berpikir tidak terlalu penting pendidikan untuk anak perempuan karena dia akan masuk juga di area dapur, sumur dan kasur,” lanjut Rahmawati.

Baca Juga : Media Sosial Tempat Mencari Dukungan bagi Korban Kekerasan

Ia mencontohkan pada lingkup paling kecil seperti pembagian tugas antara suami dan istri, memasak, beres-beres rumah ke pasar mayoritas kewajiban istri.

“Padahal kita ketahui bahwa tugas-tugas domestik itu bisa dibagi dua ya atau tugas-tugas domestik itu bisa dikerjakan bersama antara suami dan istri yang tidak bisa dikerjakan oleh laki-laki adalah kemampuan untuk hamil melahirkan dan menyusui ya ini memang adalah tugas kaum perempuan,” ujarya.

Sehingga jika tidak dikerjakan oleh perempuan akan menimbulkan pertengkaran yang akan beralih tingkat pada kekerasan.

Baca Juga : Pj Sekda Makassar Terima Kunjungan Pj Wali Kota Palembang Bahas Insentif RT/RW dan Inovasi Kota

Kedua, kualitas hidup manusia yang rendah yang di dalamnya ada dipengaruhi faktor ekonomi rendah. Hal ini tidak dapat disepelekan karena menyebabkan pertengkaran yang tidak ada habisnya.

Suami atau bapak akan cenderung lebih emosional atau temperamen, dampaknya bisa berujung dengan melampiaskan kepada istri dan anak-anaknya,

“Jadi memang kalau dalam Islam itu dikatakan fakir itu dekat kepada kekufuran ya. Jadi Itulah sebabnya makanya sebuah keluarga yang baik itu harus berusaha agar bisa mapan secara ekonomis,” katanya.

Ketiga, Pola asuh kepada anak, baik dengan cara suami kepada istrinya untuk menjadi guru anaknya ataupun bimbingan orang tua, jika langka ini salah maka on the track,

“Ya, kekerasan juga kan begitu, tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban kekerasan dari orang tuanya sendiri, baik verbal atau nonverbal,”

Dalam pendidikan keluarga anak anak harus diajarkan bentuk kekerasan, bagaimana menghadapi kekerasan dan tidak menjadi pelaku kekerasan itu sendiri,

“Anak anak itu peniru yang ulung, jika kita besarkan dia dengan memaki, dia juga akan memaki setelah keluar dari rumah, jika besarkan dia dengan memukul dia akan jadi pelaku pemukulan,” lanjutnya

Keempat, sosial media dan gangguan kejiwaan, kekerasan ditampilkan dengan terang terangan baik youtube, Facebook, twitter, televisi dan yang lainnya,

Selain itu, perempuan masih ditampilkan sebagai objek seksual baik tayangan iklan, film dan konten produk-produk media massa.

“konten-konten media massa ya atau kata yang tayangan film ya yang tidak mencerminkan bagaimana perempuan dan anak itu diperlakukan sebagaimana mestinya,

Kata Rahmawati media massa seperti sekeping mata uang memiliki dua sisi, satunya bisa menjadi cerminan bagi masyarakat, yang lainnya menjadi panutan bagi masyarakat.

“Sehingga perlu bijak dan kehati hatian dalam menggunakannya,” tutup Rahmawati.

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Redaksi Harian.news menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi@harian.news atau Whatsapp 081243114943
Penulis : NURSINTA

Follow Social Media Kami

KomentarAnda