“Kalau ternyata disabilitas merasa pergerakannya terbatas di Kota Makassar, maka itu kontroversi. Jangan sampai Kota Ramah Disabilitas hanya klaim Pemkot Makassar”.
Pengamat Sosial dari Universitas Hasanuddin Dr Rahmat Muhammad
HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Pagi itu, sekitar pukul 07.00 Wita. Cuaca di Kota Makassar sedang terik. Kendaraan di ruas jalan Urip Sumoharjo menuju Pasar Terong terlihat padat. Maklum saja, para warga kota sedang menuju aktivitas kerjanya yang biasanya terpusat di pagi hari.
Tak terkecuali, pedagang pasar. Persis di lampu jalan sebelum belok kanan menuju Pasar Terong, ada dua sampai tiga orang sedang berkendara menuju pasar. Di atas motor, beragam sayur mayur dan umbi-umbian yang diikat persis di bagian belakang.
Baca Juga : DPRD dan Pemkot Makassar Sahkan 4 Ranperda di Akhir Masa Jabatan
Lalu, saat berhenti di depan pasar, mereka buru-buru membuka tali pengikat sayur dan memilah bahan jualan untuk kemudian diatur di atas bale-bale yang berjejer di Pasar Terong. Hari itu, Jumat, 7 Januari 2024. Suasana pasar sangat ramai. Seperti pasar pada umumnya, aneka bahan dan alat kebutuhan rumah tangga dijual di sana.
Saat berkeliling menyusuri pasar, terdengar suara merdu menggema. Semakin lama, suaranya makin dekat. Dari jauh, terlihat dua orang sedang berjalan mengelilingi pasar. Satunya adalah perempuan yang sedang memegang mic dan menyanyikan sebuah lagu. Sedangkan satunya lagi adalah lelaki yang terlihat mendorong gerobak yang isinya speaker besar. Di atasnya tersimpan kardus kecil berwarna hitam.
Hasnawati, begitu orang-orang di pasar memanggilnya. Ketika para pengunjung atau penjual memanggil namanya, maka rekannya akan mendatangi mereka dan menerima uang lalu dimasukkan ke dalam kardus tersebut.
Baca Juga : Peresmian RS Kemenkes, Danny: Tambah Positioning Kota Makassar
“Mereka itu pengamen di pasar ini dek. Hampir setiap hari mereka ke sini. Makanya sudah dikenal mi. Kami kasihan karena mereka berdua disabilitas,” ucap salah satu pedagang yang tak mau disebutkan namanya.
Hari itu, Hasnawati terlihat antusias menyanyikan lagu dengan irama yang sahdu. Ia mengenakan baju kaus hitam lengan panjang yang dipadu-padankan dengan jilbab berwarna abu dan celana jeans cokelat. Dengan langkah perlahan, Hasna sapaan Hasnawati memecah suara bising dengan nada yang merdu. Sayangnya, waktu itu, ekspresi Hasna saat bernyanyi tak tampak karena balutan masker yang menutup separuh wajahnya.
Sembari menyanyikan lagu, terlihat satu per satu pengunjung pasar menghampiri mereka dan memasukkan uang ke dalam kardus kecil. Kardus itu disimpan di atas speaker. Kadang, teman Hasna akan mendatangi langsung para pedagang ketika mereka tak dapat meraih kardus yang ada di atas speaker.
Baca Juga : Danny Cuti 2 Bulan saat Masa Kampanye: Terhitung 22 September
Saat ditemuai, Hasna sedang istirahat di bale-bale yang kosong. Ia mengatakan pekerjaan sehari-harinya adalah mengamen. Pekerjaan itu telah dilakoninya sejak 11 bulan lalu tepatnya Februari 2023. Kadang, ia akan menyusuri bermacam pasar yang ada di Makassar.
Hasna adalah seorang perempuan berumur 46 tahun. Ia disabilitas tunanetra. Kemampuannya berjalan di lorong-lorong pasar berkat bantuan temannya. Mereka berdua sebenarnya sama-sama tunanetra. Namun, teman Hasna adalah tipe tunanetra golongan kurang lihat (low vision) dan Hasna sendiri buta total (totally blind).
Fasilitas Belum Ramah Disabilitas
Baca Juga : Dua Kandidat Pilgub Sulsel Lakukan Pemeriksaan Kesehatan Hari ini
Selama sebelas bulan mengamen, ada banyak hambatan yang telah dilalui Hasna. Utamanya fasilitas jalanan di Kota Makassar yang menurutnya belum ramah disabilitas.
“Banyak, misalnya masih banyak jalanan di Makassar yang rusak seperti di sepanjang jalan Sunu, masih banyak jalan raya atau lorong-lorong yang berlobang juga,” ucapnya.
Kemudian, di pinggir jalan, tidak disiapkan pembatas sehingga akan gampang sekali bagi penyandang tunanetra jatuh ke dalam kanal atau selokan.
“Saya pernah satu kali jatuh di selokan sekitaran jalan Sunu karena tidak diberi pembatas jalan atau tembok penghalang antara selokan dan jalanan,” kata Hasna.
“Pernah juga diserempet motor karena fasilitas tidak memadai,” lanjut Hasna bercerita saat ditanya fasilitas jalan untuk kalangan disabilitas Makassar.
Hasna berharap keluhannya tentang fasilitas jalan bisa menjadi fokus pemerintah.
“Berilah kami hak sebagai penyandang disabilitas untuk tetap berkreasi di Kota Makassar, dengan penuh rasa aman dan nyaman,” ujarnya penuh harap.
Sebagai disabilitas tunanetra yang kesehariannya mengamen, Hasna membutuhkan ruang berekspresi.
“Kalau bisa pemerintah menyiapkan fasilitas untuk kami agar bisa menyalurkan bakat di tempat umum,” imbuhnya.
Polemik fasilitas jalan di Kota Makassar, ternyata tak hanya dirasakan Hasna, ada banyak penyandang disabilitas meresahkan hal yang sama. Misalnya Muhammad Alif. Seorang pria single yang berumur 26 tahun. Pekerjaan sehari-harinya juga sebagai pengamen. Alif biasanya mengamen di Pasar Terong, hanya saja berlawanan arah dengan lokasi yang sering disusuri oleh Hasna.
Waktu itu, saat berkunjung di kediamannya jalan Sunu III, Suangga, Makassar, ia sedang duduk santai bersama rekannya di teras. Hari itu, Alif memang tak ngamen seperti biasanaya. Dikarenakan hujan deras yang sedang melanda Kota Makassar dan sekitarnya.
Saat ditanya soal pengalamannya mengamen dan pendapatnya tentang fasilitas umum di Kota Makassar, Alif secara gamblang menyampaikan pendapatnya. Menurut Alif, selama ia mengamen. Banyak kendala yang ditemuinya sebagai seorang penyandang disabilitas tuna nerta. Alif bilang faktor utama adalah kondisi jalan rusak yang ada di Kota Makassar.
Berbeda dengan Hasna, selama 3 bulan menjadi pengamen, Alif justru merasa jalanan yang berlobang adalah kendala utama seorang tunanetra, apalagi untuk dirinya yang setiap hari mengamen dan mendorong speaker di atas gerobak.
“Saya merasa kewalahan untuk mendorong gerobak kalau jalanan berlobang. Itu hambatan utama yang Saya jumpai setiap hari,” bebernya.
Bukan cuma itu, ada banyak hal yang menurut Alif belum ramah disabilitas di Kota Makassar. Misalnya untuk trotoar bagi penyandang disabilitas tuna daksa, lalu jembatan penyeberangan untuk tuna daksa.
“Di sana, sudah banyak sekali teman-teman disabilitas yang tertabrak mobil karena tidak ada fasilitas khusus yang disiapkan untuk difabel. Setidaknya, ada rambu-rambu yang bisa dipasang supaya kami paham menggunakan fasilitas umum,” terangnya.
Dari beragam kritik yang disampaikan Alif, semakin jelas kalau aksesibilitas di Kota Makassar memang belum memadai. Padahal, Kota Makassar telah menerima banyak penghargaan sebagai kota ramah disabilitas. Misalnya pada 2019, Kota Makassar mendapat penghargaan “Kota Ramah Disabilitas” dari Kementrian Sosial RI. Lalu pada 9 September 2023 Kota Makassar dapat penghargaan Ramah Difabel yang diberikan oleh Komisi Nasional Disabilitas (KND).
Tak sampai di situ, Wali Kota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto juga kerap mengirim postingan di media sosialnya tentang pencapaian hingga kerja sama yang dilakukan pemkot dalam hal pengembangan infrastruktur bagi disabilitas. Terakhir 20 Oktober 2023, Wali Kota Makassar juga melakukan kerja sama dengan Komisi Nasional Disabilitas (KND) dalam hal penyediaan infrastruktur yang ramah disabilitas.
“Sangat disayangkan jika Kota Makassar meraih penghargaan Kota Ramah Disabilitas lalu sebagian besar fasilitasnya tidak aksesibilitas,” imbuh Alif.
Alif berharap, pemerintah dapat mengkaji ulang seluruh kebutuhan teman disabilitas. Jangan jadikan kelompok disabilitas sebagai tumpuan ajang eksistensi tanpa mengedepankan kepentingan kelompok rentan.
“Utamanya kami yang tuna nerta. Untuk saya yang penglihatannya kurang terang, kami butuh atribut jalan yang agak cerah, misalnya warna kuning atau semacamnya, supaya kami bisa melihat dengan jelas tempat mana saja yang akan membahayakan nyawa kami,” jelasnya.
Polemik aksesibilitas di Kota Makassar memang belum meruncing, banyak fakta dijumpai tentang keluhan pembatas jalan yang belum aksesibilitas di Kota Makassar. Saat ditelusuri, sepanjang jalan Pettarani menuju jalan Sunu bisa dikatakan masih sangat jauh dari kata ramah disabilitas. Belum ada pembatas jalan yang menjadi ruang ekspresi disabilitas tunanetra dan lainnya.
Lalu, pengerjaan jalan di Kota Makassar juga belum memenuhi unsur ramah disabilitas. Seperti ketika para pekerja memotong sebagian aspal di jalan raya. Kadang mereka tidak menimbunnya kembali sehingga akan berdampak buruk bagi difabel yang menyeberang jalan.
Selanjutnya, saat para pekerja jalan hanya mengerjakan bangunan sesuai dengan porsi yang ada sebelumnya. Mereka hanya memperbaiki kerusakan jalan yang sebelumnya. Seperti drainase. Para pekerja kadang tak memikirkan keselematan sebagian orang sehingga penutup drainase biasanya tidak rapat.
Selanjutnya, di jalan Hertasning, beberapa kanal yang sering dilewati para pengendara masih rawan untuk para disabilitas. Pembatas jalan dan aliran air kanal masih menggunakan besi yang berjarak setengah meter. Cat yang digunakannya juga masih berwarna hitam sehingga belum ramah kelompok disabilitas tunanetra untuk melewati jalan tersebut.
Rambu-rambu untuk pejalan kaki di Kota Makassar juga belum tertata dengan baik. Seperti yang ada di Anjungan Pantai Losari. Daerah wisata yang banyak dikunjugi masyarakat itu, ternyata masih terbilang belum ramah disabilitas. Sebab, trotoar di sekitar jalan penghubung ke Pantai Losari belum memenuhi syarat aksesibilitas. Jalur pemandu atau guiding block yang ada di sana belum bisa digunakan oleh disabilitas tunanetra karena di sepanjang jalan pemandu ada pohon yang memungkinkan disabilitas akan tertabrak pohon jika mengikuti alur guiding block.
Ragam Pertanyaan dan Keluh Organisasi Pemerhati Disabilitas
Pengurus Himpunan Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi Sulawesi Selatan Nia Selestin menyampaikan keluh kesahnya tentang klaim Kota Makassar yang Ramah Disabilitas yang sempat diraih Pemerintah Kota Makassar di bawah kepemimpinan Moh. Ramdhan Pomanto.
Ia mengatakan, ruang inklusi disabilitas masih sangat jauh dari yang diharapkan. Misalnya untuk kebutuhan di ranah pendidikan. Pemerintah telah menyiapkan bus sekolah untuk menjemput anak-anak. Namun, pemerintah masih menepis kebutuhan disabilitas tuna daksa. Belum ada akses untuk kursi roda yang disiapkan oleh bus tersebut.
“Mereka merancang bus itu laiknya masyarakat umum. Kalaupun mereka menyampaikan kalau bus sekolah ini ramah disabilitas mana buktinya. Apakah mereka hadirkan kebutuhan disabilitas? Apakah mereka mengundang organisasi disabilitas untuk turut menyampaikan atau mendesain tetang bus ramah disabilitas? Kenyataannya tidak seperti itu,” tutur Nia.
Selanjutnya, untuk halte-halte bus yang mereka buat di beberapa titik lokasi di Makassar. Semuanya masing menggunakan tangga dan tidak ada akses untuk disabilitas daksa. Sehingga halte itu tidak dimanfaatkan dengan baik.
“Terus juga untuk trasportasi melalui aplikasi Gojek. Kadang gojek kalau melihat teman disabiltas, mereka mengacuhkan, padahal sama-sama punya hak. Terlebih labih lagi soal keamanan Gojek. Kadang, banyak dari driver itu nakal. Maksudnya, begini. Ada pengakuan dari teman-teman disabilitas netra, kalau kadang mereka yang menggunakan gojek jenis motor, biasanya diturunkan di tempat yang tidak sesuai dengan titik lokasi tujuan. Kan itu sangat miris sekali,” jelasnya.
Untuk transportasi jenis pete-pete lanjutnya. Kadang, banyak dari pengendara tidak ingin menerima penumpang disabilitas dengan alasan ‘tak ingin sial’. “Nah, stigma itukan yang tidak dipahami oleh pemerintah kota. Pemerintah merasa bahwa semuanya sudah beres padahal masih banyak yang perlu dibenahi,” beber Nia.
Jadi sebenarnya, untuk transportasi umum disabilitas belum sepenuhnya inklusi. Harusnya, di pete -pete atau beberapa lokasi yang biasa dikunjungi disabilitas, disediakan papan suara, sehingga mereka bisa melakukan komunikasi lebih dengan sopir atau masyarakat umum.
“Lalu, untuk disabilitas tuli. Mereka juga butuh papan wicara. Karena komunikasi mereka dengan sopir tidak nyambung. Sopir tidak mengerti bahasanya mereka, makanya memang perlu ada di transportasi umum,” kata Nia,
Selanjutnya, dibagian kesehatan. Kendala yang sering dijumpai soal akses jalan di puskesmas masih bertangga-tangga dan tidak disiapkan jalur khusus disabilitas daksa atau pengguna alat bantu. “Di puskesmas bara-barayya, contohnya, tangganya tinggi minta ampun, bagaimana teman disabilitas bisa berobat ke situ,” ucapnya
“Pernah ada kasus, teman kami disabilitas fisik, dia pengguna tongkat dua, mau berobat ke puskesmas tidak bisa karena tangga-tangga. Kita harus ke dokter praktik. Itukan biaya lagi padahal kita punya BPJS. Terus belum ada juga ruang khusus bagi disabilitas dan lansia,” tutur Nia.
Pelayanan di puskesmas juga belum inklusi. Misalnya untuk kebutuhan papan wicara dan lainnya. Semuanya belum disiapkan. Sehingga bagi teman tuli, itu tidak ramah. Sebab, tidak ada akses yang bisa digunakan mereka untuk mengambil resep obat, atau mencari tahu ruangan dokter.
“Terus di dalam ruang pemeriksaan, dokternya kan tidak tahu bahasa isyarat Bagaimana dia mau tahu sakitnya teman tuli kalau tidak tahu bahasa isyarat. Jadi, memang masih banyak sekali hal-hal seperti itu.Masih jauh dari kata inklusi,” bebernya.
Untuk banyaknya akses disabilitas yang belum inklusi atau ramah, Nia berharap agar Wali Kota Makassar lebih realistis.
“Dengar juga suara kami kalau memang pak wali mau mendapat penghargaan seperti itu. Tolong dulu tanya kami organisasi, apakah betul ini. Pantas kah kota Makassar dapat penghargaan dan sebagainya,” tutur Nia.
Selanjutnya, Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan Nur Syarif Ramadhan juga menyampaikan pendapatnya soal penghargaan Kota Ramah Disabilitas yang diterima pemkot Makassar.
“Seharusnya, pemerintah memastikan ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembelajaran yang akses bagi Difabel, seperti lingkungan dan gedung sekolah, serta ketersediaan bahan ajar dan buku teks dalam bentuk huruf Braille, audio CD, maupun alat peraga visual,” jelasnya.
Sedangkan untuk bidang non-infrastruktur, beberapa hal yang mesti menjadi perhatian diantaranya adalah peningkatan kapisitas guru agar terampil menangani kelas inklusif, pengembangan kurikulum pendidikan inklusi, serta menyediakan guru pendidikan khusus yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan anak didik.
“Sayangnya, dalam dokumen anggaran dinas pendidikan yang dianalisis koalisi organisasi disabilitas Kota Makassar, masih belum ada informasi ditemukan jika dinas pendidikan menjalankan program-program tersebut,” bebernya.
Selanjutnya, terkait pembangunan trotoar, perlu dilakukan evaluasi karena ternyata meskipun telah dilengkapi dengan jalur khusus untuk difabel netra, tetapi setelah ditelusuri lebih lanjut, banyak dari desain trotoar ini pada menyulitkan difabel netra bermobilitas karena di atas trotoar terdapat tiang listrik, baliho, pohon, termasuk halte bus.
Penghargaan Kota Ramah Disabilitas Dipertanyakan
Komisi Nasional Disabilitas (KMD) Pusat belum lama ini memberikan penghargaan kepada Kota Makassar sebagai Anugerah Prakarsa Inklusi (API). Tepatnya pada Kamis, 2 September 2023 di Tugu MNEK Kawasan CPI Makassar. Penghargaan itu diterima Pemerintah kota Makassar karena dianggap mempunyai komitmen terhadap penghormatan dan perlindungan hak penyandang disabilitas.
Menurut Pengurus Himpunan Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi Sulawesi Selatan Nia Selestin, penghargaan yang diterima oleh Pemkot Makassar sangat membingungkan.
“Kami penasaran, ini indikatornya apa sehingga KMD menilai dan memberikan API ke Pemkot Makassar. Itukan API untuk pendidikan. Sedangkan kasus pendidikan di Makassar belum ramah disabilitas,” ucapnya.
“Contohnya anak difabel yang bersekolah regular. Itu kan aturannya sudah ada dari Kemendikbud, tidak ada sekolah yang boleh menolak,. Tapi, faktanya di lapangan, anak dalam kategori disabilitas berat tertolak dan diserahkan ke SLB. Bagaimana kalau anak disabilitas berat ini ekonominya menengah ke bawah, dan jarak sekolah dari rumahnya itu jauh. Pasti akan terkendala,” tambah Nia.
Selanjutnya, untuk acara disabilitas yang baru ini dilaksanakan. Nama kegiatannya Forum Disabilitas ASEAN. Kegiatan itu berlangsung pada 09 September 2023. Dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut, ternyata organisasi disabilitas yang ada di Kota Makassar sama sekali tidak dilibatkan.
“Itu kami sangat menyayangkan kegiatan disabilitas ASEAN. Karena organisasi disabilitas di Sulsel khususnya Makassar tak satu pun yang diundang. Kami pun hanya mendengar dari teman-teman yang tahu. Padahal kegiatan itu membahas soal kebutuhan kami. Tetapi mengapa kami tidak dilibatkan,” pungkasnya.
Selanjutnya, Pengamat Sosial dari Universitas Hasanuddin Dr Rahmat Muhammad menyampaikan penilaiannya tentang penghargaan Kota Ramah Disabilitas yang diraih oleh Pemerintah Kota Makassar. Ia mempertanyakan apa saja indikator penilaian sehingga Kota Makassar termasuk dalam Kota Ramah Disabilitas.
“Jadi begini yah, ada pendekatan instrument yang jadi indikator sehingga memungkinkan masuk dalam penilaian fasilitas disabilitas. Nah, kalau pendekatannya secara administratif sudah sesuai, maka kita apresiasi pemerintah kota dalam hal ini Makassar karena dapat penghargaan,” ucapnya.
Namun lanjut Rahmat, fakta di lapangan fasilitas disabilitas masih jauh dari kata ramah. Pemerintah perlu menjelaskan fasilitas apa saja yang sudah ramah di Kota Makassar. Jangan sampai, klaim Kota Ramah Disabilitas hanya sebatas melalui pendekatan administratif untuk meloloskan kategori dan menaikkan nama Kota Makassar.
“Harusnya, pemerintah terbuka soal penerimaan penghargaan tersebut. Tidak semata-mata hanya karena pendekatan adminitratif tapi yang betul-betul dirasakan oleh masyarakat terutama penyandang disabilitas,” bebernya.
Menurut Rahmat, kota ramah disabilitas itu merupakan fasilitas atau akses yang dapat mempermudah para disabilitas dalam beraktivitas ke mana dan kapan pun. Namun, Ia menilai, fasilitas yang ramah tersebut belum mewakili kebutuhan disabilitas di Kota Makassar.
“Kita harus lihat, sejauh mana disabilitas merasa mudah beraktivitas. Kalau ternyata disabilitas merasa bahwa pergerakannya terbatas di Kota Makassar, maka itu yang menimbulkan kontroversi atau paradoks. Berbeda dari apa yang didapatkan oleh pemerintah Kota Makassar melalui penghargaan tersebut,” jelasnya.
Rahmat berpendapat kalau pemerintah bisa saja mengklaim pengadaan fasilitas untuk penyandang disabilitas yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan mendasar para disabilitas.
“Bisa saja ada fasilitas tapi tidak digunakan. Kalau tidak bisa dimanfaatkan dan diakses dengan mudah oleh penyandang disabilitas itu berarti ruang geraknya masih terbatas. Berarti belum ramah, karena bagaimana pun penyandang disabilitas itu masih kategori punya keterbatasan yang perlu diperhatikan kebutuhannya di semua sektor, baik infrastruktur jalan, pendidikan, transportasi dan lainnya,” pungkasnya.
Danny Akui Infrastruktur Belum Layak bagi Disabilitas
Sementara itu, Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto saat ditemui di ruangannya pada 25 Januari 2024 mengakui jika akses disabilitas masih sangat jauh dari yang diharapkan. Lantas mengapa Kota Makassar menerima penghargaan Kota Ramah Disabilitas?
“Saya tidak tahu-menahu soal itu, karena tiba-tiba saja kami diberi tahu kalau Kota Makassar masuk kategori Ramah Disabilitas. Dan menariknya ternyata, itu dari organisasi disabilitas sendiri yang menyodorkan kita sebagai Kota Ramah Disabilitas. Kami tinggal terima saja. Jadi mereka sendiri yang merasa bahwa teman-teman disabilitas di Kota Makassar sangat terperhatikan” jelasnya.
Selanjutnya, untuk penyempurnaan akses atau layanan untuk penyandang disabilitas yang sesuai dengan kebutuhan difabel, Danny, sapaan wali kota, mengaku telah menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) tahun 2023 agar infrastruktur sesuai dengan standarnya.
“Infrastruktur memang belum sempurna walaupun standarisasinya sudah mulai diterapkan. Kemudian di sekolah, itu sudah ada sekolah inklusi. Di pemerintahan sudah menerima disabilitas. Jadi memang sekarang kami sedang menyempurnakan infrastruktur. Kami juga sudah dapat apresiasi dari Komisi Nasional Disabilitas (KND),” terangnya
Danny juga berjanji secepatnya akan membenahi seluruh infrastruktur yang ramah disabilitas di Makassar. Misalnya untuk pedestrian akan dilakukan revisi.
“Terus kemarin infrastruktur misalnya rumah sakit yang bisa bahasa isyarat kita sudah minta mereka melatih kami untuk bisa bahasa isyarat karena pelayanan publik di PTSP kami yang baru nanti harus ada ahli bahasa isyarat,” imbuhnya.
Lalu, seluruh trotoar yang ada di Kota Makassar akan dibenahi lagi sesuai standar.
“Kalau di kepegawaian, kita sesuaikan dengan kemampuan mereka. Di sini disabilitas itu jangan perlakukan seperti orang khusus, mereka memang ability tapi dengan alat bantu, jangan selalu dianggap bilang dia ability,” bebernya.
Untuk itu, Danny yang digadang-gadang akan melanjutkan kepemimpinan di tingkat provinsi sebagai Gubernur Sulsel ini berjanji akan pelan-pelan melakukan perombakan lewat aturan dan kerja nyata. Khusus untuk jabatannya saat ini, Danny akan fokus pada RAD yang telah disusun Pemkot Makassar, makanya seluruh pembangunan ke depannya akan diterapkan sesuai dengan standar.
Cerita IAS Pernah Didemo karena Makassar Belum Ramah Disabilitas
Terpisah, Mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin saat ditemui di kantornya jalan Ujung Pandang, Kompleks Ruko Pasar baru, Nomor 5-6, Lantai 3 Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Ia menceritakan awal mula pembangunan infrastruktur untuk disabilitas. IAS sapaanya mengatakannya kalau kota ramah disabilitas itu merupakan sebuah tempat yang memberikan fasilitas layak bagi disabilitas.
“Dulu, waktu saya waktu menjabat sebagai wali kota, bentuk penerimaan saya kepada para disabilitas adalah dengan membuat sebuah Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yang tertuag dalam PERDA Kota Makassar No. 6 tahun 2013 tentang pemenuhan hak disabilitas untuk dijadikan sebuah rujukan bagi semua fasilitas publik bagi para penyandang disabilitas,” ucapnya.
Dengan adanya aturan tersebut, bisa menjadi indikator penilaian kota ramah disabilitas.
“Karena tidak mungkin kota yang ramah itu kemudian tidak memberikan fasilitas yang cukup kepada para pengguna disabilitas. Itulah bersyukur memang pada akhirnya kepemimpinannya pak wali (Danny Pomanto) dilanjutkan,” terangnya.
IAS mengatakan, kehadiran Perda No. 6 tahun 2013 tersebut merupakan hasil demonstrasi disabilitas pada masa kepemimpinannya. Waktu itu ungkapnya, fasilitas Kota Makassar memang sangat jauh dari aksesibilitas.
“Bagaimana trotoar yang naik turun karena tidak ada ramp-nya. Terus, pembatas jalan yang belum ramah disabilitas. Sehingga semenjak saya didemo waktu itu, kita rubah semua. Lalu, kemudian dilanjutkan oleh pak Danny dengan penataan trotoar sudah pake ramp juga, sudah pakai pijakan tunanetra itu. Jadi paling tidak sudah sebagian besar fasilitas publik terwakili,” jelasnya.
Saat ditanyai soal rencananya mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Sulsel dan langkah strategis yang akan dilakukannya untuk memenuhi hak-hak disabilitas di Sulsel, ia menyampaikan jika pihanya selain akan fokus membangun infrastruktur yang dibutuhkan disabilitas, ia juga berencana akan memberikan payung khusus dan memberikan wadah penyaluran bakat bagi mereka.
“Karena selama ini memang saya sudah berkeliling di Sulawesi Selatan yang terdiri dari 14 kabupaten. Saya memang sudah fokus menekuni penyaluran bakat disabilitas aga mereka bisa sejahterah. Misalnya, saya memberikan pembinaan kepada anggota organisasi disabilitas seperti menjahit,” ucapnya.
Selain itu, IAS juga berencana memberikan perhatian dalam bentuk permodalan.
“Hal ini sudah saya dijalankan. Pembinaan menjahit kan sudah berlangsung di di Jeneponto. Nah, ini yang akan kita sinergikan nanti jangan sampai mereka memproduksi lalu saat menjual susah. Tanggung jawab pemasarannya ada di pemerintah,” pungkansya.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News