Dewan Perwakilan Daerah: Surplus Legitimasi, Defisit Wewenang

HARIAN.NEWS, GOWA – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk sebagai perwujudan untuk mengagregasi dan mengartikulasi aspirasi daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Namun, terdapat ketimpangan antara legitimasi elektoral yang dimiliki DPD sebagai lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat, dengan kewenangan legislatifnya yang sangat terbatas.
Artikel ini membahas paradoks tersebut serta memberikan rekomendasi reformasi kelembagaan agar DPD dapat berfungsi lebih optimal dalam kerangka demokrasi dan desentralisasi.
Reformasi 1998 melahirkan berbagai lembaga baru sebagai koreksi terhadap sentralisme kekuasaan Orde Baru. Salah satunya adalah DPD yang dibentuk melalui Amandemen UUD 1945.
Lembaga ini diharapkan menjadi saluran aspirasi daerah dan penyeimbang DPR. Namun, setelah dua dekade lebih, DPD tetap berada dalam bayang-bayang DPR karena kewenangannya tidak sebanding dengan legitimasi yang dimilikinya.
DPD memiliki legitimasi demokratis langsung. Anggotanya dipilih oleh rakyat di tiap provinsi, bukan lewat sistem kepartaian, apalagi penunjukan, sehingga secara ideal normatif lebih dekat dengan aspirasi daerah.
Dengan komposisi empat orang per provinsi, DPD menjanjikan pemerataan keterwakilan seluruh daerah dalam proses penyusunan kebijakan publik.
Namun, representasi tersebut belum berbanding lurus dengan otoritas politik yang dimiliki. Masyarakat mengenal DPD, namun tidak banyak tahu fungsinya.
Ini menandakan ada surplus legitimasi yang belum ditopang dengan struktur kekuasaan yang memadai.
Kewenangan DPD terbatas pada pemberian pertimbangan terhadap RUU tertentu dan pengawasan atas pelaksanaan otonomi daerah.
DPD tidak dapat mengesahkan undang-undang, tidak punya kewenangan mengajukan mosi tidak percaya, dan tidak punya hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah yang berdampak luas.
Dengan kata lain, DPD adalah lembaga simbolik tanpa gigi legislasi. Atau yang lebih ektrim DPD, disetarakan dengan LSM plat merah.
Kontras dengan lembaga serupa di negara-negara lain seperti Senat AS yang kuat dalam fungsi legislasi dan pengawasan, DPD Indonesia ibarat macan kertas.
Bahkan dalam pembahasan APBN dan pemilihan pejabat publik (misalnya anggota KPK atau hakim agung), suara DPD nyaris tak terdengar.
Ketimpangan ini menuntut adanya reformasi kelembagaan. DPD perlu diperkuat, baik melalui:
1. Amendemen UUD 1945 untuk menambah kewenangan legislasi, Anggaran, dan pengawasan.
2. Revisi UU MD3 agar posisi DPD setara dalam proses legislasi,
3. Atau DPD, ditunjuk saja oleh pemerintah daerah, sehingga antara legitimasi dan kewenangan tidak mengalami paradoks.
DPD adalah potensi besar yang belum dimaksimalkan. Dalam sistem demokrasi yang menghargai keberagaman daerah, DPD seharusnya menjadi penjaga kepentingan daerah di tingkat nasional.
Ketimpangan antara legitimasi dan wewenang harus segera dikoreksi. Jika tidak, maka kita hanya memiliki kamar kedua yang hadir tanpa suara formal, tanpa substansi.
Wallahu a’lam bishshawab
Malino, 12 Mei 2025. ***
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
Penulis : Dr. H. USMAN LONTA