Oleh : M Ridha Rasyid
HARIAN.NEWS – Pertanyaan paling mengemuka saat ini, jelang pelaksanaan Pilkada 27 November 2024, adalah gejala tidak adanya lawan atas satu kandidat.
Di banyak daerah besar, seperti Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan hingga saat ini, juga Jawa Timur, tidak memungkinkan adanya kompetisi atas kontestan.
Baca Juga : DM : Loyalitas, Dedikasi, Bungkam Ambisi
Mengapa itu terjadi. Sebab paling utama, partai politik yang masuk dalam koalisi Indonesia maju sepertinya bersepakat untuk mencalonkan orang yang sama, sementara di luar koalisi itu melihat bahwa untuk memenangkan pertarungan menjadi sulit.
Sebab partai koalisi ini menguasa hampir separuh konstiruen yang akan memilih. Di sisi lain, partai politik di luar koalisi juga sudah mulai bergrelia untuk ikut menikmati “kue” kekuasaan yang sudah sejak lama tidak berpihak kepada mereka. Ini merupakan fenomena menarik yang perlu di analisis lebih mendalam.
*Kotak Kosong*
Baca Juga : Lebih Dekat dengan Azhar Arsyad, ‘Juru Kunci’ Demokrasi di Pilkada Sulsel 2024
Sebagian ada yang berpendapat bahwa melawan kotak kosong atau lawan tanding kotak kosong juga merupakan bagian dari demokrasi. Ini sejatinya pendapat yang keliru. Tidak ada dalam definisi demokrasi melawan kotak kosong.
Demokrasi itu, dalam konteks pemilihan pimpinan/kekuasaan dalam semua tingkat adalah menawarkan gagasan. Ide dan kinerja yang di kampanyekan di tengah tengah rakyat. Agar dengan ide itu, rakyat kemudian menentukan siapa yang akan dipilih. Sementara kotak kosong itu merupakan kegagalan dalam mencari figur yang akan diusung oleh partai politik.
Atau dengan lain perkataan, bahwa partai politik pemenang pemilu tidak mampu membangun komunikasi politik untuk menyepakati seseorang atau pasangan calon yang ditawarkan kepada rakyat agar dipertimbangkan atau bahkan ditentukan pilihannya.
Baca Juga : T A B E, Amir Uskara Pimpin Kabupaten Gowa
Kotak kosong sesungguhnya merupakan kemunduran dari implementasi demokrasi. Ketika kotak kosong itu menjadi lawan dari kandidat lainnya, maka rasionalitas kita tidak bisa menerjemahkan apa makna dari kekuasaan yang dikompetisikan dengan orang disatu sisi dan sisi lainnya adalah benda mati.
Dan, ketika rakyat menjadikan kotak kosong menjadi pilihannya dan memenangkan kontestasi itu, maka hasilnya tidak dapat diwejawantahkan. Harus dilakukan pemilihan kembali dan dimulai dari awal. Oleh karenanya, fenomena kotak kosong itu, juga menunjukkan kegagalan menciptakan partai politik yang mandiri dan mengabaikan makna koalisi. Kita sama tahu bahwa koalisi itu manifestasinya kerja sama.
Bukan pada penentuan orang. Bahwa jika terjadi kesepakatan dalam menentukan orang adalah bagian dari pilihan politik. Adapun partai politik yang tidak tergabung dalam suatu koalisi atau kompromi politik untuk mendapatkan kekuasaan, mestinya dapat membangun kerjasama lainnya untuk saling berlomba mempersatukan suara rakyat.
Baca Juga : Amir Uskara Ternyata Petarung
Tetapi ketika, semua partai politik sepakat untuk menentukan satu pasangan calon saja, harusnya tidak perlu ada pemilihan. Cukup mengesahkannya melalui mekanisme lembaga yang telah ada. Misalnya, setelah penyelenggara pemilu menetapkan pasangan calon itu, lalu memintakan persetujuan Presiden melalui Menteri Dalam Negeri ataukah agar lebih bernuansa demokrasi mintalah persetujuan DPRD setempat sebelum diajukan ke Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Ini bisa saja dilakukan, jika Presiden, DPR sepakat melakukan revisi undang undang terkait dengan pemilihan kepala daerah. Sehingga, jika terjadi hal seperti ini, tidak perlu mengeluarkan biaya besar yang justru bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lainnya yang lebih mendasar.
Bahwa fenomena kotak kosong ini juga bisa dinilai dari kegagalan elit partai politik melakukan pendidikan politik dan kaderisasi. Meskipun sangat disadari bahwa figur atau sosok yang memiliki kemampuan cukup banyak yang dipunyai partai politik, tetapi tidaklah menentukan untuk bisa terjadi _bargaining_ antar partai politik membangun kesepakatan dan kerjasama, karena apa?, Dana atau pembiayaan sesungguhnya yang lebih penting dari kesemua narasi yang dikemukakan.
Era saat ini, yang disebut era kekuasaan oligarkhi, bukan demokrasi, menjadi pertimbangan pertama dan utama dari kalangan elit partai politik. Partai politik hanyalah wadah, yang menggerakkan itu adalah petinggi dan dana.
Dana ini dikuasai oligarkhi. Sebab itu, petinggi partai politik sulit untuk tidak menerima tawaran oligarkhi tersebut. Pada saat yang sama, partai politik tidak berhasil melakukan pendidikan politik yang baik kepada rakyat, akhirnya rakyat pun sangat berharap dari uluran kasih oligarkhi. Bentuk keterlibatan oligarkhi dalam politik itu adalah cost politic dan money politic adalah suatu keniscayaan.
*Nasib Demokrasi*
Pertarungan paling nyata setelah pemilihan presiden adalah pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah adalah deskripsi lebih kecil dari pemilihan presiden. Sama sama memilih pemimpin/penguasa. Rakyat “digiring” untuk memilih siapa calon yang paling banyak dan kuat dananya untuk membeli suara rakyat.
Rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam perspektif demokrasi, tidak bisa mengekspresikan pikiran pikiran mereka akibat bingkai fulus yang lebih dominasi menghiasi penglihatannya.
Apatahlagi di tengah tengah rakyat kesulitan ekonomi, lapangan kerja serta produksi barang dan hasil alam yang tidak menentu, yang mengakibatkan pendapatan mereka tidak jelas, maka tawaran fulus dalam ajang pilkada seperti menambah “spirit” mereka di tengah kesulitan yang dihadapinya.
Jadi, rakyat tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena memilih orang yang tidak tepat, tetapi juga sebagai konsekuensi dari apa yang mereka terima. Walaupun itu sangat mencederai demokrasi. Dalam pikiran oligarkhi, demokrasi itu adalah penghambat untuk mencapai tujuan.
Tidak ada contoh di mana oligarkhi mempengaruhi kekuasaan mau menerima demokrasi dengan lapang dada. Itu sangatlah mustahil. Bagi oligarkhi kapitalisme adalah sangat urgen dalam mengembangkan usaha.
Jika kita kembali lagi pada fenomena kotak kosong yang bakal terjadi di banyak daerah pada pemilihan kepala daerah mendatang, cerminan adanya keinginan untuk menguasai semua daerah sama seperti tingkat nasional yang disebut koalisi Indonesia maju plus. Secara politik sebenarnya wajar dan sah sah saja.
Itu juga demi kesuksesan program penguasa hingga ke tingkat bawah. Namun, harus diingat ketika kekuasaan itu terlalu dominan justru akan menghilangkan keseimbangan dan ruang kritik oleh rakyat secara luas. Ini justru sangat berbahaya bagi rezim penguasa itu sendiri.
Hilangnya suara yang berupaya memberikan masukan yang konstruktif kepada penguasa, akan menjadikan kekuasaan ini sebagai milik untuk beberapa orang tertentu yang tidak lagi mencerminkan dari platform tujuan dibuatnya partai politik.
Atau partai politik hanya merupakan alat semata mata bagi segelintir elit nya yang bergumul dalam kekuasaan itu, sementara rakyat hanya menjadi objek dari keinginan apa yang hendak dilakukan kekuasaan itu.
Tapi mudah mudahan saja elit partai politik masih punya pikiran waras dalam memaknai demokrasi yang secara tulus dapat dipersembahkan kepada rakyat. Rakyat juga seyogyanya mengedepankan pikiran rasionalnya dalam memilih pemimpinnnya.
Karena dengan menggunakan kecerdasan, rakyat justru menentukan nasibnya sendiri. Ketika salah memilih pemimpin, rakyat harus bisa menerima segala konsekuensi paling buruk yang akan dialaminya.
Di sisi berbeda, ketika rakyat memiliki keberanian untuk melawan pengaruh *”sogokan” dengan segala bentuknya dalam menentukan pilihannya, akan menerima hal baik untuk masa depan dirinya dan demokrasi itu sendiri.
*Pemerhati Demokrasi
Baca berita lainnya Harian.news di Google News