Hutan Mangrove di Maros Ditebang, Diduga Ada Mafia Tanah di Baliknya

Hutan Mangrove di Maros Ditebang, Diduga Ada Mafia Tanah di Baliknya

HARIAN.NEWS, MAROS – Hutan mangrove seluas satu hektare di pesisir Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, mengalami pembabatan secara ilegal. Padahal, lahan tersebut merupakan milik negara dan memiliki fungsi ekologis penting bagi lingkungan sekitar.

Ironisnya, kawasan mangrove yang luasnya mencapai 28.055 meter persegi itu diklaim sebagai lahan pribadi oleh seorang warga bernama Ambo Masse, yang mengantongi sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 02974 yang diterbitkan oleh ATR/BPN Kabupaten Maros.

Kejanggalan ini pun mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan yang menyoroti dugaan adanya praktik mafia tanah dalam kasus ini.

Menanggapi laporan dari aktivis lingkungan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, Muh. Ilyas, mengaku baru mendapatkan informasi terkait pembalakan liar tersebut.

Ia pun berjanji akan segera memanggil sejumlah pihak terkait, termasuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sulsel serta Pemerintah Kabupaten Maros, guna membahas persoalan yang tengah menjadi sorotan publik ini.

“Kami akan segera menggelar pertemuan dengan Dinas LHK Sulsel dan Kabupaten Maros untuk mencari solusi atas permasalahan ini,” ujar Ilyas dalam pesan singkatnya.

Dugaan Mafia Tanah dan Tata Ruang yang Bermasalah 

Kasus alih fungsi lahan mangrove di Maros ini bukan yang pertama. Pada April 2018, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Dirjen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sulawesi sempat menangani kasus serupa di Dusun Kuri Lompo, Desa Nisombalia, yang juga melibatkan pembabatan mangrove di lahan negara seluas satu hektare.

Pemerhati tata ruang Kabupaten Maros, Ayu Wahyuni, menegaskan bahwa perencanaan tata ruang memiliki peran krusial dalam mencegah praktik semacam ini.

Menurutnya, ketidaksesuaian pemanfaatan ruang kerap menjadi celah bagi praktik ilegal, termasuk mafia tanah.

“Pemerintah sebenarnya sudah berkomitmen menyelesaikan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang melalui sinkronisasi kebijakan. Namun, di tingkat daerah, praktik mafia tanah masih sering terjadi akibat lemahnya tata kelola perizinan dan penyelesaian tumpang tindih lahan,” ujar Ayu.

Ia menambahkan bahwa secara nasional, pemerintah telah berhasil menyelesaikan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang seluas 19,97 juta hektare dari total 77,38 juta hektare pada tahun 2019.

Namun, di beberapa daerah, seperti Kabupaten Maros, masih ditemukan kasus ketidaksesuaian akibat minimnya pengawasan dan kurangnya transparansi dalam penerbitan sertifikat lahan.

Ayu juga menyoroti pentingnya Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) untuk mengatasi permasalahan seperti ini. Hingga saat ini, kebijakan tersebut telah berhasil mengkompilasi 151 peta tematik dari 23 kementerian dan lembaga di 38 provinsi.

“Dengan adanya peta tematik yang lebih akurat, perencanaan tata ruang bisa lebih optimal. Namun, implementasinya harus lebih transparan dan bisa diakses oleh masyarakat,” imbuhnya.

Ketua Forum Komunitas Hijau Kutuk Pembabatan Mangrove

Ketua Forum Komunitas Hijau, Ahmad Yusran, mengecam keras tindakan pembabatan hutan mangrove Maros di pesisir Desa Nisombalia. Ia menilai, perusakan ini tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga berdampak besar pada keberlanjutan ekosistem pesisir dan masyarakat setempat.

“Hutan mangrove bukan sekadar kumpulan pohon. Ekosistem ini berperan penting dalam melindungi pesisir dari abrasi, menyimpan karbon, serta menjaga keseimbangan lingkungan. Pembabatan seperti ini sangat merugikan dan harus segera ditindak,” tegas Yusran.

Ia juga mempertanyakan keberadaan bangunan Gedung Bank Sampah Induk (BSI) yang dibangun menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Lingkungan Kehutanan tahun 2022 di Desa Nisombalia.

Menurutnya, perlu ada audit mendalam terhadap proyek tersebut untuk memastikan tidak ada pelanggaran atau penyalahgunaan anggaran.

“Penting untuk memastikan bahwa semua proyek yang dibiayai oleh dana publik memiliki tujuan yang jelas dan tidak justru merusak lingkungan. Apalagi, mangrove adalah benteng alami yang melindungi wilayah pesisir dari bencana alam,” katanya.

Lebih lanjut, Yusran menegaskan bahwa satu-satunya solusi jangka panjang untuk mencegah kasus serupa adalah dengan memperkuat tata kelola lahan berbasis data spasial yang akurat dan terintegrasi.

Dengan demikian, praktik mafia tanah bisa diminimalisir dan kawasan hutan lindung tetap terjaga.

Hingga saat ini, kasus pembabatan hutan mangrove di Maros masih dalam sorotan publik. Pemerintah daerah dan instansi terkait diharapkan segera mengambil langkah tegas agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. ***

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Halaman

Penulis : MUH YUSUF YAHYA