Kerusakan Hutan Mangrove di Maros, SHM Diterbitkan, Mafia Tanah Diduga Terlibat

Kerusakan Hutan Mangrove di Maros, SHM Diterbitkan, Mafia Tanah Diduga Terlibat

HARIAN.NEWS,MAROS – Di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, kerusakan lingkungan hidup terus terjadi, salah satunya di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Ribuan pohon mangrove di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, dibabat habis secara ilegal.

Yang lebih memprihatinkan, di lokasi yang sama, Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Maros justru menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Ambo Masse dengan nomor sertifikat 02974 dan luas lahan 28.055 meter persegi.

Padahal, pada April 2018, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Direktorat Jenderal Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sulawesi telah menangani kasus serupa, yaitu pembabatan hutan mangrove seluas satu hektar di Dusun Kuri Lompo, Desa Nisombalia.

Kini, kasus serupa terulang, dan penerbitan SHM di area yang seharusnya dilindungi menimbulkan tanda tanya besar.

Tata Ruang dan Ancaman Perubahan Iklim

Ayu Wahyuni, pemerhati tata ruang di Kabupaten Maros, menegaskan bahwa tata ruang memiliki peran krusial dalam mengatur pemanfaatan lahan, baik untuk kebutuhan saat ini maupun masa depan.

Menurutnya, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang harus dilakukan secara ketat, terutama di daerah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti abrasi pantai.

“Tata ruang bukan hanya tentang pembangunan, tetapi juga tentang menjaga kelestarian lingkungan. Diperlukan mekanisme insentif yang baik untuk mendorong masyarakat mempertahankan lahan hijau. Ini penting untuk mengurangi dampak perubahan iklim, seperti ancaman abrasi, serta dampak sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat,” ujar Ayu, Rabu (29/1/2025).

Ayu juga mengungkapkan bahwa pemerintah pusat sebenarnya telah berkomitmen menyelesaikan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang melalui kebijakan satu peta (one map policy).

Hingga 2024, pemerintah berhasil menyelesaikan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang seluas 19,97 juta hektare dari total 77,38 juta hektare pada 2019. Namun, di tingkat daerah, praktik mafia tanah masih marak terjadi, termasuk di Kabupaten Maros.

“Masalahnya adalah kurangnya sinkronisasi dalam perbaikan tata kelola perizinan dan penyelesaian tumpang tindih lahan. Ini yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu,” jelas Ayu.

Kebijakan Satu Peta dan Tantangan di Lapangan

Kebijakan satu peta telah berhasil mengompilasi 151 peta tematik dari 23 kementerian/lembaga di 38 provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat dasar hukum, memutakhirkan peta tematik, dan meningkatkan teknologi serta infrastruktur Geoportal.

Namun, Ayu menekankan bahwa kemajuan ini harus dipublikasikan secara luas kepada masyarakat agar dapat mendorong keberlanjutan pembangunan nasional.

“Kebijakan satu peta sudah menunjukkan kemajuan, tetapi implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak tantangan, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap praktik mafia tanah,” ujarnya.

Pembangunan Bank Sampah Induk dan Ironi Kerusakan Mangrove

Sementara itu, Ahmad Yusran, Ketua Forum Komunitas Hijau, menyayangkan aksi pembalakan liar yang terjadi di Desa Nisombalia. Menurutnya, hutan mangrove memiliki fungsi vital, mulai dari menjaga keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, hingga mencegah banjir dan abrasi pantai.

“Hutan mangrove bukan sekadar kumpulan pohon. Ini adalah ekosistem vital yang mendukung kehidupan manusia dan alam. Kerusakan yang terjadi akan berdampak pada ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan stabilitas iklim,” tegas Yusran.

Ironisnya, di lokasi yang sama, terdapat bangunan baru Bank Sampah Induk (BSI) yang dibangun menggunakan dana alokasi khusus (DAK) Bidang Lingkungan Kehutanan tahun 2022.

Yusran mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan, mengingat di satu sisi ada upaya pembangunan berwawasan lingkungan, tetapi di sisi lain terjadi perusakan hutan mangrove yang justru bertentangan dengan prinsip tersebut.

Pentingnya Integrasi Data Geospasial

Yusran menekankan pentingnya integrasi data geospasial untuk mendukung perencanaan tata ruang yang berkelanjutan. Menurutnya, data yang terintegrasi akan memudahkan dalam pengambilan keputusan, terutama dalam hal perizinan dan penyelesaian tumpang tindih lahan.

“Satu peta data yang terintegrasi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil berdasarkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini akan membantu dalam perbaikan tata kelola perizinan dan penyelesaian tumpang tindih lahan,” jelasnya.

Tuntutan Transparansi dan Penegakan Hukum

Kasus pembabatan hutan mangrove di Maros ini menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan penegakan hukum di tingkat daerah.

Masyarakat dan aktivis lingkungan mendesak pemerintah untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap penerbitan SHM di area yang seharusnya dilindungi. Selain itu, mereka juga menuntut adanya tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam praktik mafia tanah.

“Kami meminta pemerintah untuk tidak hanya berkomitmen di atas kertas, tetapi juga mengambil tindakan nyata di lapangan. Kerusakan lingkungan seperti ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi,” pungkas Yusran. (*)

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Halaman

Penulis : MUH YUSUF YAHYA