Kritik Sosial Bukanlah Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Kritik sosial adalah bentuk komunikasi atau penilaian terhadap situasi atau kondisi dalam masyarakat yang dianggap menyimpang atau perlu diperbaiki.
Kritik sosial bertujuan untuk mengontrol jalannya sistem sosial, mengingatkan pada nilai-nilai yang berlaku, dan mendorong perubahan positif.
Oleh karena itu, sangat tepat jika MK memutuskan pasal menyerang kehormatan dalam UU ITE tidak berlaku untuk instansi pemerintah.
Sebagaimana diberitakan, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal menyerang kehormatan dalam Undang-Undang ITE tidak berlaku untuk instansi pemerintah, korporasi, serta profesi, dan jabatan. Hanya korban individu yang boleh membuat laporan dugaan pencemaran nama baik.
Hal ini tertera dalam putusan MK nomor 105 tahun 2024 yang dibacakan oleh MK pada Selasa, 29 April 2025. MK mengabulkan sebagian gugatan pemohon atas nama Daniel Frits Maurits Tangkilisan.
“Atas hal ini agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa “orang lain” pada Pasal 27A UU 1/2024, Mahkamah menegaskan bahwa yang dimaksud frasa “orang lain” adalah individu atau perseorangan,” kata Hakim Konstitusi, Arief Hidayat.
MK juga menyatakan ketidakjelasan batasan frasa orang lain dalam pasal 27A Undang-Undang ITE yang diserang kehormatan atau nama baik rentan disalahgunakan.
Oleh karenanya, MK memutuskan pasal pencemaran nama baik hanya dapat berlaku untuk perseorangan atau individu.
Sementara badan hukum ataupun profesi dan jabatan tidak termasuk dalam pasal pencemaran nama baik, termasuk instansi pemerintah.
“Oleh karenanya, dikecualikan dari ketentuan Pasal 27A UU 1/2024 jika yang menjadi korban pencemaran nama baik bukan individu atau perseorangan, melainkan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan,” ungkap Arief.
Tidak hanya itu, MK juga mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang ITE Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 45A ayat 3 yang digugat Jaksa asal Ngawi, Jovi Andrea. MK menyatakan kerusuhan di media sosial tidak memenuhi unsur pidana, kecuali kondisi itu mengganggu ketertiban di ruang fisik.
Negara menjamin sejumlah hak asasi manusia terhadap semua warga negara, tidak terkecuali hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Rumusan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE memang sangat perlu dibenahi, demi menjamin bahwa tidak ada persinggungan di antara kebebasan berkomunikasi, untuk itu perlu diatur suatu batasan.
Salah satu batasan dalam berkomunikasi yang diterapkan adalah tidak boleh ada penghinaan atau pencemaran nama baik.
Terkait pencemaran nama baik telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 310 dan Pasal 315. Pasal 310 KUHP mengatur tentang pencemaran nama baik yang dilakukan dengan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh suatu hal dengan maksud supaya hal itu diketahui umum.
Sedangkan Pasal 315 KUHP mengatur tentang penghinaan ringan yang dilakukan dengan sengaja tanpa bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis.
Penjelasan Lebih Lanjut:
Pasal 310 KUHP :
1). Pengertian:
Pencemaran nama baik adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh suatu hal dengan maksud supaya hal itu diketahui umum.
2). Unsur-unsur:
Sengaja: Perbuatan dilakukan dengan kesengajaan.
3). Menyerang kehormatan atau nama baik: Perbuatan yang bertujuan merusak nama baik atau kehormatan orang lain.
4). Menuduh suatu perbuatan: Tuduhan yang bersifat menuduh orang lain melakukan suatu perbuatan.
5). Menyiarkan tuduhan: Tuduhan tersebut disebarkan atau dibuat diketahui oleh orang banyak.
6). Sanksi: Ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Rp 4,5 juta untuk pencemaran nama baik lisan, dan paling lama 1 tahun 4 bulan atau denda paling banyak Rp 4,5 juta untuk pencemaran nama baik tertulis.
Pasal 315 KUHP:
1). Pengertian: Penghinaan ringan yang dilakukan dengan sengaja tanpa bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis.
Contoh: Penghinaan lisan, perbuatan, atau surat yang tidak termasuk pencemaran nama baik dalam arti yang lebih luas.
2). Sanksi: Ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau denda paling banyak Rp 4,5 juta.
Pencemaran Nama Baik di Media Sosial
Pencemaran nama baik juga dapat terjadi melalui media sosial. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatur tentang larangan menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal pencemaran nama baik bukan hal yang sepele. Tindak pidana ini menimbulkan kerugian bagi korbannya. Dalam KUHP dan UU 1/2023 atau KUHP Baru dimuat ketentuan serta sanksi dari pelanggaran penghinaan atau pencemaran nama baik.
Kemudian, jika dilakukan melalui media sosial atau hal yang berhubungan dengan transmisi elektronik, pelakunya dapat dijerat dengan UU ITE.
Namun perlu dipahami bahwa kritik sosial yang ditujukan kepada seorang pejabat publik karena jabatannya (pemerintah), bukanlah bentuk pencemaran nama baik, melainkan wujud dari fungsi kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat dan bersifat konstruktif.
Fungsi Kontrol Sosial
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa kritik sosial adalah bentuk komunikasi atau penilaian terhadap situasi atau kondisi dalam masyarakat yang dianggap menyimpang atau perlu diperbaiki.
Kritik sosial bertujuan untuk mengontrol jalannya sistem sosial, mengingatkan pada nilai-nilai yang berlaku, dan mendorong perubahan positif (kontrol sosial) .
Fungsi kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah adalah untuk memastikan bahwa pemerintah bertindak sesuai dengan hukum, norma, dan kepentingan masyarakat, serta mencegah penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kontrol sosial juga bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah, serta memastikan bahwa kebijakan yang dibuat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat.
Beberapa fungsi utama kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah, antara lain; (1) Mencegah penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, (2) Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, (3) Meningkatkan partisipasi masyarakat, (4) Memastikan kebijakan memberikan manfaat bagi masyarakat, seeta Memberikan manfaat yang nyata bagi kehidupan mereka. (5) Mendorong pemenuhan kewajiban pemerintah. (6) Membantu mengoreksi kesalahan kebijakan.
Dengan kata lain, kontrol sosial berperan sebagai mekanisme pengawasan dan koreksi terhadap tindakan pemerintah, sehingga pemerintah dapat bekerja lebih efektif dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan masyarakat. ***
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
Penulis : Achmad Ramli Karim (Pemerhati Politik & Pendidikan)