Mutasi Letjen TNI Kunto Dibatalkan Loyalitas TNI Dipertanyakan

Mutasi Letjen TNI Kunto Dibatalkan Loyalitas TNI Dipertanyakan

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Revisi mendadak atas mutasi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan strategis Pangkogabwilhan I menjadi Staf Khusus KSAD, yang kemudian dibatalkan hanya dalam waktu satu hari menjadi sorotan publik dan viral dimedsos.

Sebab hal tersebut, menunjukkan indikasi adanya kebijakan yang salah dan tidak profesional dalam tubuh TNI.

Meski dijelaskan sebagai langkah teknis demi kepentingan organisasi, namun publik tidak bisa menutup mata dari dimensi sosial-politik yang menghangat terutama di tengah situasi transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke- Prabowo Subianto.

Dalam dunia politik, persepsi adalah bagian strategis kekuasaan. Ia membentuk opini publik yang dapat memperkuat legitimasi, atau sebaliknya, menimbulkan ketidakpercayaan.

Ketika mutasi perwira tinggi sekelas Kunto dilakukan dan kemudian direvisi dalam waktu singkat tanpa penjelasan substansial yang meyakinkan, persepsi dan analisis politik publik pun bekerja.

Apalagi Letjen Kunto adalah putra dari Jenderal (Purn) Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden dan mantan Panglima TNI yang saat ini menjadi salah satu purnawirawan yang ikut bersuara lantang terhadap proses politik yang cacat hukum.

Apalagi ia termasuk salah seorang purnawirawan TNI yang mengusulkan agar Gibran Rakabuming Raka mundur dari jabatan Wapres terpilih.

Maka sangat wajar jika publik menaruh curiga, dan menduga adanya kaitan politik antara “cawe-cawe” dari purnawirawan TNI tersebut, dengan pencopotan Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan strategis Pangkogabwilhan I.

Apakah revisi pencopotan Letjen Kunto tak lepas dari sikap Presiden Prabowo Subianto, yang tidak menyetujui keputusan tersebut. Jika kabar ini benar, maka hal itu patut dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan sah pula secara konstitusi.

Sebab dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden adalah Panglima Tertinggi atas AD, AL, AU (TNI) dan Polri.

Dimana publik tahu bahwa Prabowo bukanlah orang asing dalam dunia militer, beliau mantan Danjen Kopassus dan Panglima Kostrad.

Dan jika benar Prabowo ikut mencegah pencopotan Letjen Kunto, itu justru menjadi cermin bahwa ia tidak hanya memimpin dengan kuasa, tetapi juga dengan empati.

Bahkan Gus Dur, Presiden keempat RI yang dikenal tegas dan jujur, pernah mengatakan bahwa Prabowo adalah orang yang ikhlas dan penolong. Barangkali dalam peristiwa ini, sikap itu sedang diperlihatkan.

Dari sisi pertahanan nasional, kasus ini menjadi ujian penting bagi TNI apakah ia tetap menjadi alat pertahanan negara yang netral, profesional dan bebas dari pengaruh politik transaksional, ataukah TNI sudah dijadikan alat kekuatan politik bagi kepentingan bisnis kaum kapitalis?

Jika penguasa dan aparat pertahanan negara sudah menjadi alat kekuatan kapitalis (pemilik modal & pengusaha), maka sistem imperialisme dimasa lalu akan terulang kembali.

Imperialisme ekonomi adalah upaya untuk menguasai atau mengendalikan perekonomian suatu negara lain, baik melalui perdagangan, investasi, pinjaman, atau bentuk lain yang memberikan keuntungan ekonomi bagi negara yang melakukan imperialisme.

Sedangkan sistem kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana individu dan perusahaan memiliki kebebasan untuk memiliki dan mengendalikan alat-alat produksi dan sumber daya, dengan tujuan memperoleh keuntungan melalui mekanisme pasar.

Sistem ini ditandai oleh persaingan bebas, hak kepemilikan pribadi, dan peran minimal pemerintah dalam ekonomi.

Sistem kapitalisme di Indonesia adalah sistem ekonomi di mana perdagangan, industri, dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar.

Kapitalisme di Indonesia telah berkembang sejak masa kolonial, dan terus berkembang hingga saat ini, meskipun pemerintah Indonesia juga telah berusaha untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya dan memastikan keseimbangan kepentingan publik dan swasta.

Sejarah mencatat bahwa setiap transisi kekuasaan, kesetiaan dan loyalitas TNI selalu ditunjukkan kepada kepentingan nasionalisme, yaitu rakyat dan konstitusi.

Dan bukan untuk kepentingan kelompok politik atau kaum kapitalis. Karena dsinilah integritas serta kehormatan sejati seorang prajurit dan perwira TNI diukur.

Sikap itu sejatinya telah menjadi jiwa dari doktrin dasar TNI sejak masa revolusi kemerdekaan, sampai sekarang. Dalam sejarahnya, TNI dibentuk bukan semata sebagai alat negara, tetapi sebagai kekuatan rakyat bersenjata yang berjuang demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.

Salah satu nilai dasar yang menjadi semboyan kehormatan TNI adalah “Setia sampai akhir hayat kepada Negara, Pimpinan yang sah, dan Rakyat”.

Motto ini lahir dari nilai historis bahwa tentara bukan alat kekuasaan, melainkan alat negara yang lahir dari rahim rakyat, dan karena itu kesetiaannya harus tetap berpijak pada konstitusi serta aspirasi rakyat.

Kesetiaan TNI kepada pemimpin bukan berarti membabi buta, melainkan kesetiaan yang cerdas berlandaskan hukum, etika, dan komitmen pada demokrasi. Sebab sejarah telah menunjukkan, ketika tentara tunduk pada ambisi kekuasaan, maka yang lahir bukan stabilitas, melainkan ancaman dan roneongan bagi kedaulatan negara dan rakyat.

Kini, di tengah kondisi politik nasional yang kurang stabil, saatnya TNI kembali ke-barak mempertegas jati dirinya sebagai tentara rakyat yang berani, setia pada Pancasila dan UUD 1945.

Oleh karena itu TNI sepantasnya menjaga integritas dan nasionalisme
nya, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik terhadap eksistensinya. TNI tidak pantas menggadaikan integritas dan nasionalismenya, kepada siapapun kecuali oleh kebenaran dan kehendak konstitusi.

Dikutip dari tribunnews.com – Co-Founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) Dwi Sasongko pembatalan mutasi terhadap 7 perwira tinggi TNI termasuk di dalamnya putra mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Letjen Kunto Arief Wibowo berdampak negatif terhadap moral para perwira dan prajurit TNI.

Dwi Sasongko pembatalan mutasi terhadap 7 perwira tinggi TNI tersebut tidak hanya mencerminkan ketidaksiapan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat tertinggi TNI, tetapi juga mengindikasikan potensi masalah sistemik dalam tata kelola di tubuh TNI.

Seharusnya, kata dia, mutasi merupakan hasil dari proses yang matang, berdasarkan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja, kebutuhan organisasi, dan pertimbangan strategis jangka panjang.

Makassar, 5 Mei 2025

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Halaman

Penulis : Achmad Ramli Karim (Pemerhati Politik & Pendidikan)