HARIAN.NEWS, JAYAPURA – Persatuan Kontraktor Listrik Se-Tanah Papua (PKLSP) resmi melayangkan somasi kedua sekaligus terakhir kepada PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Distribusi Papua dan Papua Barat serta perusahaan swasta PT Serambi Gayo Sentosa (SGS). Somasi ini terkait proyek pengadaan material Non-MDU senilai Rp45 miliar yang dinilai bermasalah.
Koordinator kuasa hukum PKLSP, Ghorga Donny Manurung, S.H., M.H., menegaskan somasi kedua ini merupakan peringatan hukum final setelah somasi pertama pada 19 Agustus 2025 tidak ditindaklanjuti dengan baik.
“Jika kembali diabaikan, kami akan menempuh jalur hukum hingga ke pengadilan dan lembaga negara terkait. Negara tidak boleh dirugikan, dan pengusaha lokal Papua harus diberdayakan sebagaimana amanat Otsus,” ujarnya dalam siaran tertulis diterima harian.news.
Baca Juga : Produk Daur Ulang Rappo Indonesia Curi Perhatian Dunia di Osaka Expo 2025
Dugaan Markup dan Monopoli
PKLSP menyoroti kontrak pengadaan material Non-MDU antara PLN dan PT SGS yang ditandatangani pada 4 November 2024. Kontrak itu disebut bermasalah karena harga material jauh lebih tinggi dibandingkan harga yang ditawarkan vendor lokal.
Beberapa perbandingan harga yang ditemukan antara lain:
Baca Juga : Jelang HUT ke-80 RI, PLN Tawarkan Diskon Tambah Daya 50%: Berlaku hingga 23 Agustus
Dudukan Trafo Portal Lengkap: vendor lokal Rp4 juta, kontrak PT SGS Rp25 juta.
Dudukan Trafo Cantol Lengkap: vendor lokal Rp2,5 juta, kontrak PT SGS Rp14,3 juta.
Travers UNP 100.50.5 (2 mtr): vendor lokal Rp750 ribu, kontrak PT SGS Rp1,27 juta.
Baca Juga : Dukung Transisi Energi, PLN dan Kejati se-Sulselrabar Sepakati Kerjasama Penguatan GCG
Selain dugaan markup, PKLSP juga menemukan indikasi bahwa PT SGS tidak memenuhi syarat tender, seperti tidak memiliki izin lengkap, tidak memiliki gudang dan infrastruktur di Papua, serta dugaan penggunaan material imitasi (Ground Rod).
Kerugian Negara dan Dampak Ekonomi Papua
PKLSP menilai, penunjukan langsung PT SGS sebagai pemenang kontrak mencederai amanat Otonomi Khusus Papua. Dana yang seharusnya memberdayakan pengusaha lokal justru dialihkan ke perusahaan berkantor pusat di Jakarta.
Baca Juga : Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Tambang Nikel, dan Raja Ampat
Indikasi Pelanggaran Hukum
PKLSP menilai tindakan PLN dan PT SGS berpotensi melanggar sejumlah regulasi, antara lain:
UU No. 5/1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Perpres No. 12/2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Permen BUMN No. Per-08/MBU/12/2019 tentang Pedoman Pengadaan BUMN.
UU Tipikor terkait dugaan markup dan kolusi.
UU Otsus Papua (UU No. 21/2001 jo UU No. 2/2021) yang memprioritaskan pengusaha lokal.
Delapan Tuntutan PKLSP
Dalam somasi kedua, PKLSP menyampaikan delapan tuntutan utama, di antaranya:
1. Membatalkan kebijakan PLN terkait pengambilalihan pekerjaan MDU dan Non-MDU di Papua.
2. Menghentikan seluruh kontrak Non-MDU yang dinilai cacat hukum.
3. Membatalkan kontrak pengadaan material dengan PT SGS senilai Rp45 miliar.
4. Mengembalikan mekanisme kerja sama dengan vendor lokal secara transparan.
5. Memprioritaskan UMKM lokal sesuai amanat Otsus Papua.
6. Membatalkan seluruh penunjukan langsung tanpa tender terbuka.
7. Mengevaluasi pejabat pengadaan PLN Papua yang diduga melakukan gratifikasi.
8. Melakukan audit menyeluruh atas dugaan markup dan kolusi dalam kontrak PLN–SGS.
Batas Waktu 7 Hari
PKLSP memberikan tenggat 7 hari kerja sejak somasi kedua dilayangkan. Jika tidak ada tindak lanjut, pihaknya akan menempuh jalur hukum, termasuk melaporkan dugaan markup ke KPK, monopoli ke KPPU, mengajukan gugatan ke PTUN dan Pengadilan Niaga, hingga menyampaikan pengaduan ke Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM.
Selain itu, PKLSP juga berencana menggelar rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI untuk membahas persoalan ini.
Terkait press release yang diterima, redaksi masih berusaha mencari kontak PLN setempat untuk dimintai konfirmasi.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News