Logo Harian.news

Program MBG Dinilai Berpotensi Memicu Konflik Agraria Baru

Editor : Redaksi II Jumat, 31 Januari 2025 23:12
Program MBG Dinilai Berpotensi Memicu Konflik Agraria Baru

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Konflik agraria di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan signifikan sepanjang tahun 2024. Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, menyebut bahwa eskalasi konflik terus meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.

“Tahun 2023 terjadi 2.041 konflik, sementara pada 2024 meningkat menjadi 2.095 kasus,” ungkap Rizki.

Menurut Rizki, Sulawesi Selatan menjadi provinsi dengan letusan konflik tertinggi di Indonesia. Sebanyak 37 kasus konflik agraria tercatat di wilayah ini, salah satunya berkaitan dengan program makan bergizi gratis yang dinilai berkontribusi terhadap ketimpangan akses tanah dan pangan.

Baca Juga : Dorong Reforma Agraria, Gerbang Tani Sambut Pansus Konflik Agraria DPR

Dalam sepuluh tahun terakhir, proyek-proyek pangan di Indonesia didominasi oleh perusahaan besar melalui skema food estate.

“Di era Jokowi, proyek pangan diserahkan ke korporasi dengan skema food estate. Hal ini masih menjadi andalan pemerintahan baru Prabowo-Gibran,” kata Rizki.

Namun, ia menilai bahwa skema ini justru berpotensi memicu konflik baru. Food estate, menurutnya, sering kali mengambil alih lahan produktif masyarakat dan hutan adat.

Baca Juga : Anggota DPRD Provinsi Diduga Menjadi ‘Ketua Kelas’ Proyek di Sinjai

“Kita bisa lihat di Papua dan daerah lainnya, lahan yang tadinya produktif dialihkan untuk food estate, padahal sejarah menunjukkan kegagalan skema ini sejak era SBY,” tambahnya.

Di Sulawesi, termasuk Sulawesi Barat, beberapa proyek food estate justru mempercepat konversi hutan rakyat menjadi lahan pertanian skala besar.

“Ironisnya, ini terjadi di tengah situasi iklim yang semakin tidak menentu,” ujarnya.

Baca Juga : Luka Tanah yang Dirampas: Perjuangan Panjang Petani Lutim Melawan PTPN

Selain itu, Rizki menyoroti ketimpangan kepemilikan lahan yang semakin tajam. Data sensus pertanian Badan Pusat Statistik (BPS)Sulsel menunjukkan bahwa 1% kelompok menguasai 68% lahan produktif, meninggalkan petani kecil dalam kondisi semakin terjepit.

“Seharusnya pemerintah menjalankan reforma agraria dengan redistribusi tanah untuk petani, nelayan, dan masyarakat adat. Tapi, yang terjadi justru pangan kita diberikan ke korporasi, membuat petani kehilangan lahan dan kesejahteraan,” ujar Rizki.

Situasi ini semakin diperparah dengan bencana ekologis akibat alih fungsi lahan. Rizki mengungkapkan bahwa proyek tambang di Luwu telah menyebabkan longsor dan banjir bandang.

Baca Juga : Makassar Dominasi Pelaporan di Ombudsman Sulsel, Terbanyak Masalah Agraria

“Kami menemukan bahwa izin tambang di zona bencana malah terus diperluas,” katanya.

Rizki juga menyoroti proyek iklim yang justru menjadi ladang keuntungan bagi kelompok elit.

“Banyak proyek iklim yang seharusnya melindungi hutan, tapi malah menjadi bancakan pengusaha dan korporasi. Hutan ditebang, kayunya diambil, lalu dikelola atas nama perhutanan sosial,” pungkasnya.

 

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Redaksi Harian.news menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected]

Follow Social Media Kami

KomentarAnda