HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Indonesia dikenal sebagai salah satu penghasil udang terbesar di dunia. Namun, di balik pencapaian tersebut, sebagian besar tambak di Indonesia masih dijalankan secara tradisional.
Sekitar 82 persen tambak udang masih menggunakan metode ekstensif yang tidak efisien dan rentan merusak lingkungan.
Melihat kondisi itu, Aquarev, sebuah perusahaan sosial berbasis teknologi, hadir menjembatani tantangan para petambak kecil.
Baca Juga : Limbah KIMA Diduga Cemari Sungai Tallo, Petani Lakkang Minta Diusut
Melalui pendekatan komunitas dan teknologi, Aquarev membantu petambak beralih ke sistem budidaya yang lebih modern, inklusif, dan berkelanjutan.
“Kami ingin membangun ekosistem akuakultur yang tidak hanya produktif, tapi juga adil dan bertanggung jawab terhadap lingkungan,” ujar Retno Nuraini, Head of Partnerships Aquarev, dikutip Senin (21/07/2025).
Lewat kemitraan dengan Koltiva, perusahaan agritech, Aquarev mengembangkan sistem monitoring digital yang memungkinkan pelacakan hasil panen secara transparan.
Mereka juga melakukan renovasi tambak dan pendampingan teknis langsung kepada kelompok petambak.
Di sisi lingkungan lanjut Retno, Aquarev aktif melestarikan kawasan pesisir dengan menanam mangrove dan memberikan edukasi mengenai pentingnya ekosistem pesisir.
“Proyek ini telah berjalan di berbagai wilayah strategis seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi,” bebernya.
Salah satu cerita sukses datang dari Pasangkayu, Sulawesi Barat, di mana petambak H. Siala dan anaknya, Muchtar, bergabung dalam program Aquarev.
Muchtar yang sebelumnya tak memiliki pengalaman, kini mampu menjalankan tambak dengan produktivitas tinggi—mencapai rata-rata 38,5 ton per hektare sejak April 2025.
“Panen kami diproyeksikan mencapai lebih dari 43 ton hingga akhir Juli,” jelasnya.
Lebih dari sekadar produktivitas, para petambak kini tak lagi kesulitan menjual hasil panen. Dengan kualitas udang yang terjaga dan sistem yang terhubung langsung dengan pembeli, harga yang diterima pun lebih menguntungkan.
Tak berhenti di situ, Aquarev mendorong sertifikasi Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk memastikan praktik budidaya yang bertanggung jawab.
Inisiatif lain yang tengah digarap adalah Blue Carbon, menggabungkan konservasi mangrove dengan budidaya, serta studi pemanfaatan energi surya untuk menekan emisi karbon di tambak.
“Keberhasilan tambak bukan sekadar soal panen. Tapi juga soal kemandirian petambak, keberlanjutan lingkungan, dan ketahanan ekonomi masyarakat pesisir,” tutup Retno.
Penulis: Gita Oktaviola
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
