HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Di balik gemuruh mesin industri dan asap pabrik yang terus mengepul di kawasan industri Bantaeng, ada suara-suara lirih yang sedang memperjuangkan hak dan keadilan mereka.
Tepat 30 April lalu, suara itu kembali menggema dalam ruang perundingan bipartit antara Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) dan pihak manajemen Huadi Group.
Dalam perundingan itu, tak sekadar angka yang dibahas. Ada kisah tentang tujuh buruh yang masih berharap bisa kembali bekerja setelah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca Juga : Unjuk Rasa di Disnaker Sulsel, Massa Tuntut Keadilan untuk Buruh KIBA
Mereka dulunya bekerja di unit PT. Wuzhou dan PT. Yatai, bagian dari Huadi Group. Harapan itu belum padam, meski HRD perusahaan menyebut saat ini mereka masih dalam tahap pemulihan.
“Kalau nanti perusahaan sudah membaik, kami akan merekrut kembali buruh yang di-PHK, asalkan tidak ada pelanggaran dan kinerja mereka baik,” ujar Andi Adriani Latippa, perwakilan HRD Huadi.
Namun, persoalan tak berhenti di PHK. Ada hal yang lebih mendesak—keringat yang belum dibayar. Ratusan jam kerja lembur yang belum diakui dan dihitung sebagaimana mestinya. Para buruh yang bekerja dalam sistem shift 12 jam per hari merasa upah lembur mereka tidak dibayar sesuai aturan.
Baca Juga : Ketua DPRD Makassar Supratman: “Semua Pekerja Layak Dihargai”
“Dalam aturan, batas jam kerja hanya 8 jam sehari. Selebihnya itu lembur, dan ada ketentuan hitungan upah lembur pertama dan kedua. Setelah kami bandingkan dengan rekening koran dan jadwal kerja mereka, ada selisih yang signifikan,” kata Abdul Habir, Sekretaris Jenderal SBIPE.
Bagi para buruh, lembur bukanlah pilihan, melainkan tuntutan pekerjaan. Dan di situlah keadilan mereka diuji.
Perusahaan, menyadari hal ini, menyebut tengah melakukan pembenahan. Kini jam kerja dipangkas menjadi maksimal 150 jam per bulan, dengan upah tetap mengikuti Upah Minimum Provinsi (UMP). Tapi bagi para buruh, pengakuan atas jam lembur yang telah lalu tetap harus diselesaikan.
Baca Juga : Buruh Pelabuhan Makassar Protes Kebijakan PT Pelni, Blokir Jalan dan Bakar Ban
Pendamping hukum dari YLBHI-LBH Makassar, Hasbi Assidiq, menegaskan pentingnya keadilan atas upah tersebut.
“Buruh telah bekerja melampaui waktu normal. Tidak membayar lembur adalah pelanggaran hukum. Ini bukan sekadar kelalaian administrasi—ini pelanggaran pidana,” tegas Hasbi, yang juga menjabat sebagai Koordinator Bidang Hak Ekosob.
Perundingan belum tuntas. SBIPE telah menyerahkan data perhitungan kekurangan upah lembur kepada perusahaan. Disepakati, dalam waktu tujuh hari ke depan akan digelar pertemuan lanjutan untuk mencocokkan data jam kerja dengan absensi perusahaan.
Baca Juga : KIBA & Huali Park, Industri Strategis Baru di Sulsel
Di tengah proses hukum dan perundingan ini, satu hal yang pasti: para buruh tidak hanya menuntut uang mereka—mereka menuntut agar kerja keras mereka dihargai, dan hak mereka sebagai manusia dipenuhi.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
