HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Andi, bukan nama sebenarnya, mengingat kembali rasa waswas yang terus menghantuinya setiap kali memikirkan ijazah miliknya. Salah satu dokumen penting dulu pernah menjadi alat kontrol perusahaan saat Ia bekerja.
Selama tiga tahun, Ia mengabdikan diri sebagai staf di sebuah unit Bank BUMN di Malino, Kabupaten Gowa. Sejak itu pula, ijazahnya tak pernah ada di genggamannya. Bukan karena hilang atau rusak, tapi ditahan oleh perusahaan tempat Ia mengabdi.
“Saya kerja di BRI Unit Malino Cabang Sungguminasa selama tiga tahun. Selama itu, ijazah saya tetap dipegang perusahaan. Katanya, baru bisa diambil kalau saya sudah resign atau diberhentikan,” ungkap Andi melalui pesan WhatsApp, Senin (19/05/2025).
Baca Juga : Update Kasus Suap di Kemenaker, KPK Dalami soal Aliran Dana Agen TKA
Bagi Andi, itu bukan sekadar prosedur administrasi. Penahanan ijazah dirasanya lebih sebagai alat kontrol, semacam rantai tak kasat mata yang membatasi gerak bebas seorang pekerja.
“Kalau kita buat kesalahan besar seperti fraud, ijazah itu jadi semacam jaminan. Bisa disita sampai urusan hukum selesai. Kadang itu dijadikan alat tekan supaya kita tidak macam-macam,” lanjutnya.
Tak pelak, Andi menilai kebijakan semacam itu tidak rasional.
Baca Juga : Korupsi Kemenaker, KPK Kembali Geledah 2 Lokasi
“Ijazah itu hak pribadi. Kenapa harus ditahan? Hanya karena kami bekerja? Seolah-olah kami ini milik perusahaan sepenuhnya,” katanya, menahan emosi.
Ia merasa dirinya seperti “terikat paksa”. Untuk keluar dari pekerjaan, bukan hanya harus menyiapkan mental dan pengganti penghasilan, tapi juga harus berhadapan dengan perusahaan yang menggenggam dokumen pendidikannya.
“Bayangkan, kamu mau resign, tapi tidak bisa semudah itu karena ijazahmu bukan di tanganmu sendiri. Mau tidak mau, tunggu masa kontrak selesai. Itu sangat tidak adil,” ujarnya lirih.
Baca Juga : Sanksi Hukum, Kemenaker Resmi Terbitkan SE Larangan Perusahaan Tahan Ijazah Pekerja
Cerita berbeda datang dari Awal, juga bukan nama sebenarnya, seorang karyawan yang saat bekerja di perusahaan pembiayaan Bussan Auto Finance (BAF) sejak tahun 2022. Ia pun mengalami hal serupa: ijazah ditahan oleh perusahaan.
Namun bagi Awal, situasinya tak seberat yang dialami Andi.
“Ijazahku memang disimpan di kantor, tapi Saya bisa ambil kapan saja. Tidak pernah ada tekanan,” ungkapnya.
Baca Juga : KPK Geledah Kantor Kemenaker RI
Ia menambahkan, kini perusahaan tempatnya bekerja tidak lagi menahan ijazah karyawan baru.
“Sekarang sudah tidak seperti dulu. Mungkin karena ada tekanan dari pemerintah atau perusahaan sadar bahwa itu bukan praktik yang etis,” katanya.
Meski pengalamannya lebih ringan, Awal tetap merasa bahwa penahanan dokumen pendidikan bukanlah langkah bijak.
“Apapun alasannya, menahan ijazah itu tidak benar. Itu bukan milik perusahaan,” ujarnya singkat.
Isu penahanan ijazah ini bukan hal baru dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Banyak perusahaan, terutama di sektor swasta, menjadikannya semacam ‘jaminan’ agar karyawan tak kabur sebelum masa kontrak selesai.
Namun kini, praktik tersebut mendapat perhatian serius dari pemerintah. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan, menyatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan Surat Edaran (SE) yang akan menindak tegas perusahaan yang masih menahan ijazah karyawan.
“Ini bentuk pemerasan dan penggelapan. Ada pasal KUHP-nya. Ini peringatan keras bagi pelaku usaha,” tegasnya seperti dikutip dari Antara, Senin.
Ia menambahkan, langkah awal berupa surat edaran bisa saja ditingkatkan menjadi regulasi resmi seperti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker). Tujuannya jelas: melindungi hak-hak dasar pekerja.
Negara pun tak segan untuk bertindak keras.
“Pertama, kita segel tempat usahanya. Kedua, kita minta aparat hukum bertindak. Ketiga, kita geledah. Ini bentuk sikap tegas negara terhadap pelanggaran hak pekerja,” tegas Wamenaker.
Cerita Andi dan Awal adalah potret kecil dari kenyataan yang dihadapi banyak pekerja di Indonesia. Di balik layar pekerjaan formal dan seragam rapi, tersimpan kegelisahan yang tidak selalu tampak—tentang akses atas hak paling dasar: dokumen pendidikan mereka sendiri.
Namun, secara hukum, praktik tersebut dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak pekerja.
Pemerintah pun kini bergerak cepat. Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan, menyatakan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan akan menerbitkan Surat Edaran (SE) yang melarang dan memberi sanksi tegas terhadap perusahaan yang menahan ijazah pekerjanya.
“Besok (Selasa, 20/5), kemungkinan besar kita akan langsung mengeluarkan surat edaran. Nanti Pak Menteri Ketenagakerjaan yang akan menyampaikan langsung,” ujar Wamenaker.
Noel, sapaan akrab Wamenaker, mengatakan praktik seperti itu dapat dikategorikan sebagai pemerasan atau penggelapan yang memiliki landasan hukum pidana.
“Praktik penahanan ijazah adalah bentuk pemerasan. Ini bisa dijerat pasal KUHP,” tegasnya.
Lebih lanjut, SE tersebut diharapkan akan segera diikuti dengan peraturan setingkat Permenaker.
“SE adalah langkah cepat. Tapi nanti akan kita tingkatkan ke Permenaker agar punya kekuatan hukum lebih kuat,” tambahnya.
Ia juga memperingatkan perusahaan agar menghentikan praktik ini. Jika tidak, ada konsekuensi tegas.
“Kita bisa segel tempat usaha, tindak secara hukum, bahkan lakukan penggeledahan. Negara akan hadir,” pungkasnya.
PENULIS: GITA OKTAVIOLA
Baca berita lainnya Harian.news di Google News