HARIAN.NEWS, GOWA – Mitologi Bumi Sulawesi (MBS) bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset Dan Teknologi (Kemendikbudristek) menggelar diskusi budaya Islam, dengan tema “Menelisik Budaya Islam Gowa Abad Ke-17”, di Jl Usman Salengke Sungguminasa, Gowa.
Sebanyak Empat Panelis dihadirkan, masing-masing DR Zyamzan syukur (Sejarawan/ Guru Besar), Prof DR H Bahaking Rama (Guru Besar UINAM), Iwal Achmady (Direktur MBS) yang dipandu oleh Muh Isra DS (Kepala Biro MBS).
Kegiatan Diskografi dan Dialog Budaya ini diibuka oleh Iwal Achmady selaku Direktur MBS.
Baca Juga : UMI Ditunjuk Kemendikbudristek Gelar Opening dan Kick Off Wirausaha Merdeka 2024
Syamzam Syukur yang tampil sebagai pembicara pertama, menjelaskan sejarah masuknya islam pertama di Gowa berdasarkan referensi sejarah tepatnya pada tahun 1605 Masehi. Tahun itu dicatat dalam sejarah sebagai tonggak penyebaran ajaran Islam di Gowa.
Sekali pun Syamzam tak menampik jika sebelum masa itu, Islam telah masuk di Gowa tetapi belum memberikan pengaruh yang besar terhadap tatanan kehidupan dan sosial kultural pada masyarakat saat itu.
Tampil sebagai pembicara kedua, Prof Dr H Bahaking Rama memaparkan bahwa budaya dan islam itu dua hal yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan.
Baca Juga : Ratusan Warga Hadiri Makassar Mengaji di Masjid Kubah 99
“Islam itu paten, ajaran langsung dari Tuhan, sementara budaya adalah hasil pemikiran manusia yang diturunkan secara turun temurun”, jelas Guru Besar UINAM dihadapan peserta dialog.
Sehingga, lanjut Bahaking Rama, Islam tidak bisa dipengaruhi oleh budaya, akan tetapi hasil pemikiran manusia dalam mengkaji islam, itulah yang menjadi budaya islam yang hingga saat ini masih tetap terlaksana dalam kehidupan bermasyarakat.
Hasan Hasyim selaku budayawan Gowa, menjelaskan jika kerajaan Gowa merupakan kerajaan yang spesifik di dunia, karena memiliki teritorial yang tidak pernah bergabung dengan daerah lain.
Baca Juga : Nadiem Batalkan Kenaikan UKT, DPR Harap Student Loan Tidak Jadi Solusi Instan
Akibatnya, lanjut Hasan, semua ada di sulawesi itu endemik. Artinya tidak ada di tempat lain, baik itu flora, fauna hingga budayanya.
Salah satu ciri khas Gowa yaitu memilki budaya tutur yang sangat kuat, sehingga nilai-nilai budaya yang sangat kental itu harus dipertahankan.
“Semua aspek dan tatanan kehidupan dengan budaya yang kuat telah diletakkan para pendalulu kita, sehigga nenek moyang kita dahulu berjaya, hanya karena kita tidak memiliharanya, sehingga hal itu lambat laun hilang ditelan masa,” jelas Hasyim.
Baca Juga : Wacana Perubahan Seragam Sekolah, Danny Minta Kemendibudristek Turun Terlebih Dahulu ke Masyarakat
Olehnya itu, kata Hasyim, sekarang ini sangat penting untuk kembali meletakkan tatanan budaya tersebut agar kejayaan itu bisa kembali diaraih.
Iwal Achmady selaku Direktur MBS dalam closing statement nya menyatakan, setelah menjajaki seluruh dataran Sulawesi Selatan dalam menggali dan mengulas sejarah masuknya islam di Sulsel, ada hal yang unik ditemukan.
Apa hal unik itu? Iwal katakan, tidak ada satupun daerah di Sulsel yang merasa dirinya yang kedua masuk Islam. Dengan landasan dan referensi masing-masing daerah yang dimiliki, seluruh daerah mengklaim dirinyalah yang pertama memeluk islam.
Sehingga, bagi Iwal, untuk menentukan kapan masuknya islam di Sulsel, sangat tergangtung kapan masyarakat itu berbudaya, karena budaya dan Islam adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan.
Dialog ini berlangsung kondusif dan dinamis, mengingat perserta yang hadir dari berbagai kalangan, mulai dari komunitas budaya, penggiat budaya dan seni, tokoh masyarakat,tokoh pemuda, aktivis, lSM, akademisi, tokoh adat hingga berbagai media turut hadir.
Sebanyak Dua sesi dibuka oleh Muh Isra MB saat memandu acara, namun dua sesi ini belum mampu menuntaskan beragam animo peserta.
“Mohon maaf bapak, ibu, sarribattangku ngaseng (saudara-saudaraku semua, red), kita close yaa sesion tanya jawab karena waktu membatasi, setelah kegiatan bisa lanjut diskusi lepas, bebas,” tutup moderator Isra.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News