Oleh : Muh. Khalifah P.HW
(Sekretaris Umum DPD IMM Sulsel)
HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Hari Buruh Internasional, yang diperingati setiap 1 Mei, sejatinya bukan sekadar ritual seremonial untuk mengenang perjuangan masa lalu. Pringatan hari buruh sedunia adalah momentum panggilan moral yang terus bergema.
Mempringati hari buruh merupakan bagian dari menagih konsistensi seluruh elemen masyarakat, termasuk gerakan mahasiswa, untuk berpihak pada agenda keadilan sosial.
Baca Juga : Dewan Perwakilan Daerah: Surplus Legitimasi, Defisit Wewenang
Buruh, sebagai tulang punggung peradaban, hari ini masih menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan semisal persoalan- persoalan klasik yang meliputi upah murah, ketiakjelasan jaminan sosial serta pemberlakukan beban jam kerja sering dialami oleh pihak buruh.
Mahasiswa sebagi agent of change (agend perubahan) sangat dibutuhkan peranannya terhadap segudang permasalahan dan penderitaan buruh, untuk membersamai para buruh membangun solidaritas yang kokoh dalam rangka mengentaskan masalah malah yang selama ini menjadi penderitaan bagi para buruh khususnya di negeri yang kita cintai.
Tradisi gerakan sosial di Indonesia, yangmana mahasiswa telah lama memposisikan diri sebagai kekuatan moral dan agen of change. Namun refleksi kritis perlu dilakukan yakni sejauhmana gerakan mahasiswa hari ini tetap setia pada komitmen membela kaum pekerja? Di tengah pragmatisme politik dan komodifikasi gerakan, tantangan besar menghadang.
Baca Juga : Tongkat Pejabat Public yang Terbuang
Mahasiswa perlu kembali kepada akar filosofis perjuangannya: bahwa membela buruh berarti membela martabat manusia itu sendiri. Mengutip filsafat keadilan sosial, setiap bentuk kerja yang tidak memuliakan manusia adalah bentuk dehumanisasi yang harus dilawan.
Secara akademis, mahasiswa sebagai agen intelektual memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya mengadvokasi perubahan, tetapi juga menawarkan kerangka alternatif. Dunia kerja yang adil harus dibangun di atas prinsip perlindungan hak, partisipasi demokratis, dan distribusi kesejahteraan yang merata. Dalam narasi pembangunan nasional, buruh tidak boleh terus-menerus ditempatkan hanya sebagai roda produksi, melainkan sebagai subjek pembangunan yang memiliki hak bermimpi dan hidup sejahtera.
Hari Buruh seharusnya menjadi momentum bagi gerakan mahasiswa untuk memperluas spektrum perjuangannya: tidak hanya berbicara soal demokrasi prosedural, tetapi juga soal demokrasi ekonomi dan keadilan sosial. Karena tanpa keberpihakan pada hak-hak pekerja, demokrasi yang diperjuangkan hanya akan menjadi proyek elitis yang menjauh dari realitas rakyat.
Baca Juga : Mutasi Letjen TNI Kunto Dibatalkan Loyalitas TNI Dipertanyakan
Keadilan sosial—sebagaimana dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945—harus menjadi roh dalam setiap langkah perjuangan mahasiswa.
Akhirnya, refleksi Hari Buruh bukan hanya tentang memperingati, tetapi tentang berikrar: bahwa gerakan mahasiswa tidak akan pernah berhenti berdiri di sisi mereka yang tertindas, memperjuangkan kerja yang manusiawi, dan membangun Indonesia yang adil bagi semua.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News