Logo Harian.news

P2G Beri Catatan Kritis pada Visi Misi Capres: Belum ada yang Beri Solusi

Editor : Rasdianah Senin, 27 November 2023 21:54
Ilustrasi guru. Foro: ist
Ilustrasi guru. Foro: ist

HARIAN.NEWS, JAKARTA – Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberikan catatan kritis terhadap visi misi para Capres di bidang pendidikan dan guru. Visi misi para capres dinilai belum mampu memberi solusi komprehensif terhadap ragam persoalan pendidikan dan guru di tanah air.

“Isi misi dan program para Capres masih bersifat populis dan belum menyentuh akar masalah pendidikan dan guru”, ujar Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G, Senin (27/11/2023).

P2G mencatat 10 persoalan pokok pendidikan dan guru selama ini:

Baca Juga : Ketua Umum Projo Budi Arie Merapat ke Gerindra

Pertama, visi misi Capres-Cawapres belum menyentuh lima (5) persoalan dan isu fundamental guru Indonesia, yang meliputi aspek: 1) Kesejehateraan guru yang sangat rendah, 2) Kompetensi Guru yang masih rendah, 3) Rekrutmen dan distribusi guru yang masih amburadul, 4) Perlindungan guru yang minim, dan 5) Buruknya pengembangan karir guru.

P2G mencatat, paslon nomor urut satu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, ingin menuntaskan rekruitmen guru ASN, niat yang perlu diapresiasi, tapi P2G sangat menyayangkan, solusi yang ditawarkan paslon masih mengambang. P2G ingin kepastian agar pasangan AMIN berkomitmen membuka kembali rekruitmen Guru PNS bukan PPPK saja. Tagline “perubahan” yang diusung pasangan ini justru tidak menawarkan perubahan sama sekali dalam hal rekrutmen guru, kesejahteraan, peningkatan kompetensi, maupun rekrutmen dan distribusi. Pasangan AMIN patut diapresiasi karena paling banyak menggunakan idiom Pendidikan 110 kali dan Guru 45 kali dalam visi misinya.

Paslon nomor urut 2: Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, berjanji menambah tunjangan guru sebesar 2 juta perbulan. Jika dikalkulasikan akan menyedot APBN sebesar 79,2 triliyun pertahun. Pasangan ini juga berjanji akan menetapkan Upah Minimum Guru Non-ASN secara nasional. P2G mengapresiasi komitmen pasangan Prabowo-Gibran untuk menetapkan upah minimum guru non ASN. Namun, Prabowo-Gibran tidak memberikan solusi secara komprehensif terkait 5 isu fundamental terkait guru. Pasangan Prabowo-Gibran patut diapresiasi karena banyak menggunakan idiom Pendidikan sebanyak 14 kali dan Guru 38 kali dalam visi misinya.

Baca Juga : Nama Anies dan Amran Mencuat, PPP Terbuka Sosok Eksternal Jadi Ketum

Paslon nomor urut 3: Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, P2G mengapresiasi rencana mereka menetapkan gaji guru sebesar sekitar 20 juta per bulan. Namun, dalam kalkulasi riil P2G, wacana ini tidak realistis, karena 20 juta rupiah dikali 3,3 juta guru = 66 triliyun per bulan. Alhasil negara harus menyiapkan anggaran jumbo sebesar 792 triliun (belum ditambah gaji ke-13 dan THR per tahun) khusus untuk gaji guru. Angka ini justru melampaui alokasi 20% APBN untuk fungsi pendidikan. Dalam APBN Tahun 2023 saja, anggaran pendidikan menyedot sekitar 612 triliun dana APBN yang tidak semua dikelola Kemdikbudristek dan Kemenag.

“Tidak mungkin rasanya, anggaran untuk sekadar gaji guru melebihi 20% APBN untuk pendidikan,” kata Satriwan.

Menurutnya, pasangan Ganjar-Mahfud paling sedikit menggunakan idiom pendidikan sebanyak 10 kali dan guru sebanyak 5 kali.

Baca Juga : Prabowo Dapat Medali Kehormatan Tertinggi dari Presiden Prancis

“P2G menilai janji ketiga pasangan Capres-Cawapres masih solusi yang parsial dan bersifat populis semata. Belum memandang dan menawarkan solusi komprehensif sebagai satu sistem pendidikan nasional,” lanjutnya

Kedua, kusutnya tata kelola sistem pendidikan nasional. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3, disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Namun kenyataannya, sistem tata kelola sekolah dan madrasah di Indonesia terpisah-pisah dan terbagi. Madrasah (MI, MTs, dan MA) dikelola oleh Kemenag; SMA, SMK, SLB sederajat dikelola pemda provinsi; dan SD, SMP dikelola pemda kabupaten/kota. Lebih aneh lagi di Papua, sekolah-sekolah jenjang SD, SMP, SMA, SMK, SLB justru semuanya dikelola oleh pemerintah kota/kabupaten.

“P2G menyayangkan tak ada satupun Capres yang memberi solusi atas runyamnya tata kelola sekolah di Indonesia. Hal tersebut berdampak langsung terhadap tata kelola sekolah, kesejahteraan, kompetensi, karir dan rekrutmen serta distribusi guru,” lanjut Satriwan.

Baca Juga : Besok, Macron akan Teken Perjanjian Persahabatan Bersama Prabowo di Borobudur

Ketiga, tidak ada satupun Capres yang memaparkan strategi untuk menyiapkan guru yang kompeten sesuai perintah UU Guru dan Dosen. Bahkan para Capres tidak menyinggung tata kelola dan revitalisasi LPTK. Padahal LPTK adalah rahim yang akan melahirkan guru-guru.

“Visi-misi Capres terlalu klise, kami tidak menemukan adanya penyiapan “Grand Design” peningkatan kompetensi guru. Tanpa menyentuh kompetensi dalam menyiapkan guru-guru andal, mustahil pendidikan yang berkualitas akan tercapai,” kata Satriwan.

P2G sangat menyayangkan, sebanyak 1,6 juta guru sampai akhir 2023 ini belum disertifikasi. Padahal sertifikat pendidik adalah syarat wajib bagi guru profesional dan kompeten, sebagaimana perintah UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jadi dapat dibilang, secara formal 1,6 juta guru belum kompeten dan profesional.

P2G mendesak komitmen para Capres menuntaskan 1,6 juta guru yang belum memiliki sertifikat pendidik, agar dituntaskan dan diberi afirmasi untuk mengakselerasi proses sertifikasi. Khususnya guru yang sudah sudah mengajar sejak sebelum tahun 2015 sesuai perintah UU Guru dan Dosen pasal 82.

“1,6 juta guru yang belum memiliki sertifikat pendidik menjadi bukti kegagalan pemerintah selama 18 tahun melaksanakan perintah UU,” sesal Satriwan.

Keempat, menurut Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G,
tidak ada satu pun Capres yang memaparkan strategi untuk meningkatkan kompetensi guru. Revitalisasi LPTK sebagai lembaga harus menyiapkan guru profesional.

Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebaiknya melalui pola “concurent teacher education”, yaitu pendidikan profesi guru yang menyatu dengan kuliah reguler. Agar efektif waktu serta anggaran. Sehingga para guru sudah dipersiapkan sejak masa LPTK dan bagi mereka yang benar-benar ingin menjadi guru. Bukan seperti sekarang, pola pendidikan profesi guru yang terpisah dari pendidikan sarjana strata satu.

Kelima, kacaunya tata kelola rekruitmen dan distribusi guru. Mendikbudristek Nadiem Makarim pada 2020 berjanji akan mengangkat 1 juta guru honorer menjadi ASN. Sampai akhir 2023 ini rekrutmen guru honorer jadi ASN baru 560 ribu, itu pun ASN PPPK bukan PNS.

Pelaksanaan rekrutmen guru PPPK selama 4 tahun terakhir amburadul. Sebanyak 62 ribu guru yang lolos nilai “passing grade” dan lulus tes, namun tidak mendapatkan formasi dari Pemda. Sampai sekarang, Pusat dan pemda tidak memiliki kesepahaman yang sama. Rekrutmen guru PPPK tidak sampai 50 persen dari kebutuhan riil.

Yang lebih miris guru PPPK di Kab. Serang pernah tak digaji selama 6 bulan, di Kota Bandar Lampung pernah tak digaji sampai 9 bulan. Bahkan di Papua tak digaji selama 1 tahun.

“Tata kelola guru PPPK ini benar-benar amburadul, mulai rekrutmen sampai distribusinya,” ungkap Iman.

Manajemen guru PPPK yang tidak profesional dan jauh dari kata berkeadilan ini terjadi hampir di seluruh daerah. Sementara sektor pendidikan dan guru tidak menjadi prioritas kebijakan APBD oleh pemda. Sehingga guru tidak menjadi fokus kebijakan pemda. P2G juga mendapatkan laporan guru-guru honorer di sekolah negeri yang justru tidak berhasil direkrut dalam skema PPPK.

“Kini mereka dipaksa mencari sekolah swasta. Padahal sudah mengabdi bertahun-tahun di sekolah negeri. P2G juga melihat pemerintah gagal memberikan layanan pendidikan dan guru berkualitas bagi daerah 3T,” lanjut Iman.

Indonesia memiliki guru sekitar 3,3 juta orang yang mengajar hampir 50 juta murid di semua jenjang. Rasio guru mengajar 1: 15 siswa. Artinya secara nasional kita tidak kekurangan guru. Namun distribusi guru sangat timpang dan tidak merata. Sebab guru-guru ini terkonsentrasi di kota-kota besar dan daerah 3T masih kekurangan guru. Seharusnya guru ASN dapat ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia, jangan hanya mau di kota saja.

“Sayangnya para capres tidak satu pun menyentuh dan memberi solusi buruknya distribusi guru nasional ini,” lanjut Iman.

Keenam, isu kesejahteraan guru selalu menjadi isu utama. Menurut OJK, 42% masyarakat Indonesia yan terjerat “pinjaman online, berprofesi sebagai guru. Hal ini menjadi ukuran bahwa profesi guru merupakan pekerjaan yang sangat rentan secara finansial. Para guru honorer nasih banyak diberi upah 300 ribu – 500 ribu perbulan, itu dibayar rapel pertiga bulan. Sangat jauh dari kata layak dan manusiawi. Solusi pinjam online salah satu jalan keluar untuk memenuhi. Ini jelas melanggar pasal 14 ayat 1 UU Guru dan Dosen, bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.

Tiap daerah membuat kebijakan guru yang berbeda. Pemda mempersulit guru mendapatkan NUPTK dan Kemdikbudristek mempersulit guru mengikuti PPG. Tak jaminan juga guru PNS sejahtera. Guru PNS di Kabupaten Lebak, Banten justru tidak mendapat tunjangan dari Pemda sebagaimana kabupaten/kota lain padahal masih seprovinsi. Kontrak guru PPPK juga beragam ada yang 5 tahun, 3 tahun, bahkan hanya 1 tahun. Alhasil, menjadi ASN guru PPPK tidak menjamin kepastian kesejahteraan mereka.

Padahal pemerintah diwajibkan secara konstitusional menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Lagi-lagi para Capres tak menyinggung persoalan pokok sistem pendidikan nasional tersebut.

Ketujuh, wujud digitalisasi pendidikan berupa lahirnya Platform Merdeka Mengajar (PMM) di era Nadiem Makarim sekarang justru menjadi momok dan beban aplikasi bagi guru. Digitalisasi pendidikan justru membuka jurang kesenjangan yang makin lebar antara wilayah urban dengan rural.

PMM adalah platform tunggal pelatihan guru secara online dalam Implementasi Kurikulum Merdeka. Platform ini menjadi beban guru secara administrasi melalui aplikasi tungga. Bahkan Dinas Pendidikan daerah mengancam guru tidak akan diberikan tunjangan profesi jika belum menuntaskan aktivitas pembelajaran mandiri melalui Platform PMM tersebut.

“Kebijakan ini kontraproduktif dengan semangat kemerdekaan guru, sebab kenyataannya PMM justru memenjarakan guru melalui aplikasi tunggal atau Digital Panopticon,” ujar Feriyansyah, Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G.

Kedelapan, tidak jelasnya tata kelola karir guru. Jenjang karir guru era Nadiem Makarim hanya melalui skema “Guru Penggerak” yang terasa diskriminatif yang kemudian diglorifikasi secara ekslusif. Karir guru menjadi Kepala Sekolah dan Pengawas justru dihambat oleh skema Guru Penggerak. Hanya guru pemilik sertifikat Guru Pengggeraklah yang dapat menjadi Kepsek atau Pengawas.

Banyak juga laporan keluhan ke P2G bahwa para Guru Penggerak sering tak masuk kelas. P2G mendorong agar semua guru tanpa embel-embel eksklusif memiliki kesempatan terbuka dan kompetirif untuk meningnatkan jenjang karir yang sama.

“Jangan sampai Guru Penggerak menyuntik mati karir para guru. Kebijakan guru penggerak sangat diskriminatif, makin membuka disparitas antara guru biasa dengan guru penggerak. Kebijakan yang menghambat jenjang karir guru”, lanjut Fery.

Kesembilan, berdasarkan hasil ANBK dari Kemdikbudristek terungkap fakta menunjukan 1 dari 2 anak Indonesia belum mampu mencapai minimum literasi dan 3 dari 4 anak Indonesia belum mencapai kompetensi minimum numerasi. Hasil ANBK tersebut mengkonfirmasi hasil tes internasional PISA yang menunjukkan kemampuan literasi, numerasi anak-anak Indonesia sangat rendah. Para capres belum menawarkan upaya sistematis meningkatkan kualitas pembelajaran siswa serta mengejar ketertinggalan pembelajaran (learning loss) akibat pandemi.

Kesepuluh, P2G mengingatkan bahwa sekarang adalah tahun politik menjelang Pemilu 2024. P2G mengimbau guru dan organisasi guru tidak terlibat politik praktis apalagi sampai membawa peserta didik, warga sekolah, madrasah hingga satuan pendidikan dalam kampanye politik.

“Satuan pendidikan harus netral dan bersih dari politik elektoral seperti kampanye. Organisasi guru dan guru pada khususnya harus bersikap cerdas dan bijak dalam menghadapi tahun Pemilu,” lanjut pengajar Pendidikan Kewarganegaraan ini.

P2G menghimbau agar para siswa berani melaporkan guru ke pihak berwenang jika ada guru yang memobilisasi murid untuk kampanye pemilu dalam memilih capres dan caleg tertentu.

Konteks sedang terjadinya kisruh dualisme dalam organisasi profesi PB PGRI, membuat organisasi-organisasi profesi guru khawatir, sebab hal serupa bisa berdampak terhadap eksistensi dan solidaritas tiap-tiap organisasi guru. Karena ada dugaan kuat intervensi dari pejabat Kemdikbudristek.

“PGRI saja dapat digoyang, apalagi organisasi guru lainnya. Kekhawatiran
ini sangat beralasan mengingat kita sedang menginjak tahun politik,” pungkasnya.

Kemudian isu perlindungan guru juga sangat urgen dan relevan. P2G berharap kepada pemerintahan baru nanti agar dibentuk Komisi Nasional Guru Indonesia. Salah satu persoalannya guru acapkali menjadi kelompok rentan mengalami diskriminasi, kekerasan, persoalan hukum, dan politisasi selama menjalankan profesinya. Seperti guru dibacok di Demak, diketapel di Bengkulu, dan guru-guru dipecat tanpa memiliki kekuatan hukum (perdata, industrial dan ketenagakerjaan) dan seringkali tanpa pesangon. Perlindungan ini perlu dilembagakan. Sebab status guru melekat selama 24 jam.

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Redaksi Harian.news menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected]

Follow Social Media Kami

KomentarAnda