HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Transportasi online kini telah menjadi bagian dari sebuah ekosistem besar yang saling terhubung. Tidak hanya menyangkut hubungan antara perusahaan dan mitra pengemudi (ojol), tapi juga melibatkan konsumen serta jutaan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menggantungkan operasional mereka pada layanan digital tersebut.
Hal ini menjadi sorotan dalam diskusi publik yang digelar di Aroem Resto & Cafe, Jakarta, Senin (19/5/2025). Acara tersebut dihadiri Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi, perwakilan aplikator transportasi online, dan insan media. Diskusi ini muncul sebagai respons atas tuntutan driver ojol yang meminta agar potongan komisi diturunkan dari 20 persen menjadi 10 persen.
Dalam forum tersebut, Dudy menyampaikan bahwa secara prinsip dirinya bisa saja menyetujui tuntutan penurunan komisi. Namun, sebagai regulator, ia merasa perlu mendengar dan menyeimbangkan berbagai kepentingan dalam ekosistem transportasi online.
Baca Juga : Mudik di Sulsel Meningkat Tajam: 4,5 Juta Berangkat, 5,1 Juta Datang
“Bisa saja saya turunkan. Tapi apakah itu bijak? Kalau semua belum didengar, saya rasa belum tepat,” ujar Dudy.
Ia menambahkan bahwa sebagian besar perusahaan aplikasi menggunakan komisi 20 persen sebagai bagian dari operasional bisnis dan investasi pengembangan teknologi. Komisi ini pun sudah mengacu pada regulasi resmi yakni Kepmenhub No. KP 1001 Tahun 2022 tentang pedoman biaya jasa transportasi online roda dua.
Menurut Dudy, menjaga keseimbangan dalam ekosistem sangat penting. Ia menekankan perlunya semua pihak tetap terlibat dan mendapatkan manfaat secara adil.
Baca Juga : 146,48 Juta Orang Diprediksi Melakukan Perjalanan saat Lebaran 2025
“Pengemudi harus tetap loyal, konsumen tetap puas, dan bisnis tetap berjalan. Ini yang harus dijaga,” ujarnya.
Komisi 20 persen yang selama ini berlaku disebut sebagai elemen vital dalam menunjang kelangsungan hidup platform digital. Pendapatan ini digunakan untuk membiayai teknologi, infrastruktur, layanan pelanggan, hingga insentif promosi baik kepada pengguna maupun mitra pengemudi.
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM mencatat ada lebih dari 65 juta UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Digitalisasi, termasuk layanan transportasi online dan pengantaran, telah membuka akses pasar yang luas bagi para pelaku UMKM, yang sebelumnya terbatas oleh kendala geografis dan biaya.
Baca Juga : Menhub Pastikan Proyek Kereta Api Sulsel Berlanjut, Swasta Dilibatkan
Jika komisi benar-benar diturunkan secara paksa ke 10 persen, dampaknya bisa cukup luas. Platform digital bisa saja memangkas subsidi pengiriman dan insentif lainnya. Akibatnya, harga naik, konsumen berkurang, penghasilan pengemudi turun, dan omzet UMKM pun tertekan.
Dalam diskusi tersebut, para perwakilan aplikator juga menegaskan bahwa mereka tidak mengambil komisi lebih dari 20 persen. Tirza R. Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, menekankan bahwa Grab mengikuti aturan yang berlaku dan potongan hanya dikenakan pada tarif dasar perjalanan, bukan keseluruhan biaya perjalanan.
Tirza menjelaskan bahwa sumber pendapatan Grab terbagi menjadi dua, yakni komisi dari mitra pengemudi serta biaya aplikasi dari pengguna. Hal ini menciptakan model bisnis dua sisi yang kompleks dan harus dikelola dengan hati-hati untuk menjaga keseimbangan.
Baca Juga : Pegawai Lion Air Terlibat Narkoba, GRANAT Desak Menhub dan Polisi Tindak Tegas
Presiden Gojek, Catherine Hindra Sutjahyo, menyampaikan bahwa Gojek menerapkan komisi 15 persen ditambah 5 persen sesuai regulasi. Sebagian besar potongan tersebut digunakan untuk program promosi pelanggan, sehingga keuntungan bisa dirasakan semua pihak dalam ekosistem.
Catherine juga mengingatkan bahwa penurunan komisi secara langsung tidak serta merta menguntungkan pengemudi.
“Kalau potongan turun jadi 10 persen, memang bagi hasil ke mitra naik. Tapi kalau jumlah orderan berkurang karena harga naik, tetap saja pendapatan mereka bisa lebih rendah,” jelasnya.
Platform seperti GoTo, lanjut Catherine, masih mencatat margin operasional yang sangat kecil, hanya sekitar 3-5 persen. Ini terjadi karena tingginya biaya teknologi dan subsidi yang harus terus digelontorkan agar layanan tetap kompetitif di mata pengguna.
Sejumlah ekonom turut menyampaikan pandangannya. Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, berpendapat bahwa potongan komisi sebaiknya diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah cukup mengatur koridornya, sementara aplikator dan mitra bersaing menawarkan skema terbaik.
Sementara itu, Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyatakan bahwa potongan komisi adalah bentuk sewa digital atas infrastruktur yang disediakan aplikator. Ia menilai bahwa perlu dicari titik tengah agar keadilan dan keberlanjutan bisa sama-sama terjaga di antara mitra dan aplikator.
Awalil menambahkan bahwa platform digital memiliki beban biaya besar seperti server, pengembangan sistem, dan customer service. Di sisi lain, mitra pengemudi menanggung bahan bakar, cicilan kendaraan, dan risiko kerja harian. Maka, potongan wajar tetap diperlukan agar ekosistem ini tetap hidup dan berkelanjutan.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
