HARIAN.NEWS, MAKASSAR — Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kenaikan ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, menjelaskan bahwa kenaikan dilakukan secara bertahap agar dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi dapat diminimalisir.
“PPN atas berbagai transaksi digital, termasuk uang elektronik dan dompet digital, selama ini telah diberlakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022,” ungkapnya dalam siaran tertulis yang dikutip, Selasa (12/24/2024).
Baca Juga : Soal Tarif, Prabowo Diyakini Bisa Manfaatkan Jeda 90 Hari dengan Negosiasi Trump
Ia menegaskan bahwa jasa layanan ini bukan merupakan objek pajak baru, melainkan sudah diatur sebelumnya. Sebagai ilustrasi, biaya top-up uang elektronik senilai Rp1.500 saat ini dikenai PPN sebesar 11%, yaitu Rp165.\
Dengan tarif PPN baru 12%, jumlah PPN menjadi Rp180. “Kenaikan hanya Rp15 untuk biaya layanan ini,” jelas Dwi, menekankan bahwa nilai top-up tidak memengaruhi jumlah PPN yang dikenakan, karena pajak dihitung dari biaya jasa, bukan nominal transaksi.
Hal serupa berlaku pada transaksi melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). “Jasa sistem pembayaran melalui QRIS tidak dikenai pajak baru,” tambahnya.
Baca Juga : Lapor SPT Sebelum 31 Maret, Wali Kota Makassar Minta ASN Jadi Teladan Pajak
PPN atas transaksi ini didasarkan pada Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut penyelenggara jasa dari pemilik merchant.
Misalnya, pembelian TV seharga Rp5 juta akan tetap dikenakan PPN Rp550 ribu, baik menggunakan QRIS maupun metode pembayaran lain.
“Total pembayaran konsumen tidak berubah meski menggunakan QRIS,” ujar Dwi.
Baca Juga : PHRI Sulsel Curhat ke Wali Kota: Okupansi Hotel Anjlok, Pajak Hiburan Mencekik
Dwi juga menyoroti langganan platform digital seperti Netflix, Spotify, dan YouTube Premium. Menurut PMK 60/PMK.03/2022, biaya langganan ini dikenai PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), namun bukan merupakan objek pajak baru.
“Platform digital telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE, dan hal ini sudah berjalan dengan baik,” paparnya.
Sementara itu, penjualan pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucher juga telah dikenai PPN sesuai PMK 6/PMK.03/2021.
Baca Juga : Penerimaan Pajak Ekonomi Digital Tembus Rp32,32 Triliun
“Masyarakat tidak perlu khawatir karena tidak ada pengenaan pajak baru atas transaksi ini,” ungkapnya.
Dwi menggarisbawahi bahwa kenaikan tarif PPN bertujuan untuk memperkuat basis penerimaan negara tanpa memberikan beban tambahan yang signifikan kepada masyarakat.
“Kami berkomitmen memberikan pemahaman yang jelas agar masyarakat memahami bahwa ini adalah penyesuaian, bukan pengenaan pajak baru,” ujarnya.
Pemerintah juga memastikan bahwa kebutuhan pokok tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau tarif 0%. Barang seperti beras, gabah, jagung, dan jasa pelayanan kesehatan, pendidikan, serta angkutan umum, tetap bebas PPN.
Untuk barang digital lainnya, seperti buku elektronik dan perangkat lunak tertentu, aturan PPN sudah diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada.
“Kita memastikan regulasi yang diterapkan tetap adil dan transparan,” tegas Dwi.
Dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12%, pemerintah memproyeksikan penerimaan pajak yang lebih optimal untuk mendukung pembangunan nasional.
“Kami terus berupaya menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan daya beli masyarakat,” tutup Dwi.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News