Logo Harian.news

Skema Mega Skandal Korupsi Pertamina: Permainan Tata Kelola Minyak hingga Impor

Editor : Rasdianah Rabu, 05 Maret 2025 10:26
Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya ditetapkan sebagai salah satu tersangka korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding. Foto: dok kompas
Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya ditetapkan sebagai salah satu tersangka korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding. Foto: dok kompas

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Akhir-akhir ini kasus korupsi di tubuh Pertamina menjadi viral dan perbicangan luas. Hal ini buntut ditangkapnya Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Rivan Siahaan, dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), ‘pertamax’ trending di media sosial khususnya di media X.

Bagaimana skema korupsi ini berjalan sehingga disinyalir merugikan keuangan negara mencapai Rp 1 kuadriliun?

Berdasarkan keterangan Kejagung, kasus ini bermula pada 2018-2023.

Baca Juga : Massa Petani Pasangkayu Kepung Astra Agro dan Kejagung, Teriakkan Isu Kriminalisasi dan Korupsi

“Penyidikan perkara ini dilakukan dalam tempus waktu 2018 sampai 2023. Artinya ini sudah dua tahun yang lalu,” ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, pada Rabu (26/2/2025) lalu.

Masa itu, untuk pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan dalam negeri. Pertamina harus mencari dari kontraktor dalam negeri sebelum membuka opsi impor.

Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.

Baca Juga : Fakta Dugaan Kasus Korupsi Kredit Sritex

Namun, Kejagung menemukan adanya pengkondisian untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi kilang dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. Kondisi tersebut membuat kekurangan kebutuhan minyak mentah. Berujung dilakukannya impor.

Kemudian, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri juga oleh kontraktor kontrak kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masuk HPS. Selain itu, penolakan juga dinilai karena produksi KKKS tidak sesuai kualitas, padahal faktanya dapat diolah.

Dengan penolakan itu, maka minyak mentah dari KKKS tak terserap. Kemudian malah diekspor ke luar negeri. Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah, impor pun dilakukan.

Baca Juga : Rudi Margono Minta Penanganan Perkara Fokus Pada Pemulihan Kerugian dan PNBP

Dalam proses impor ini diduga terjadi pemufakatan jahat, yakni terdapat kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan dapat keuntungan dengan melawan hukum. Hal ini disamarkan seolah-olah sesuai ketentuan. Pemenang broker pun telah diatur.

Ditambah lagi, dalam proses pengadaan produk kilang, PT PPN melakukan pembelian RON 92, padahal sebenarnya yang dibeli yakni RON 90. Kemudian itu, menurut Kejagung, di-blending untuk jadi RON 92 dan dijual dengan harga tersebut.

Selain itu, pada saat dilakukan impor minyak mentah, ada proses mark up kontrak pengiriman. Sehingga pihak BUMN mengeluarkan fee 13-15 persen dan menguntungkan salah satu tersangka dan perusahaannya, Muhammad Kerry Andrianto Riza.

Baca Juga : Kejagung Geledah Rumah 3 Tersangka Korupsi Sritex: Salah Satunya di Makassar

Atas perbuatan para tersangka ini, menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN.

Dari hasil penghitungan sementara, kerugian negara yang ditimbulkan dalam perkara korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun. Jumlah tersebut diduga hanya kerugian pada 2023, sementara 2018-2022 masih dihitung.

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Redaksi Harian.news menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected]

Follow Social Media Kami

KomentarAnda