Oleh : Mashud Azikin
(Anggota Dewan Lingkungan Hidup Kota Makassar)
HARIAN.NEWS – Dalam dua tahun terakhir, Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar menggerakkan sebuah program yang jarang dilakukan kota-kota lain di Indonesia: Jelajah Sampah. Program ini bukan sekadar inspeksi atau kampanye sesaat.
Baca Juga : Firman Klaim Reduksi 88,8 Kg Sampah dalam Rangkaian HPSN 2025 di Makassar
Ia adalah perjalanan panjang, dari satu kecamatan ke kecamatan lain, lima belas kecamatan secara berturut-turut, untuk melihat, mendengar, dan memetakan langsung denyut persoalan sampah di tingkat paling dekat dengan warga.
Dalam koneksinya dengan target besar “Makassar Bebas Sampah 2029”, Jelajah Sampah menjadi lebih dari sekadar agenda kerja. Ia adalah upaya membangun kesadaran ekologis yang berakar pada pengalaman nyata warga.
Sebab persoalan sampah bukan hanya masalah teknis pengangkutan, tetapi bagian dari budaya, perilaku, dan cara masyarakat memaknai tempat tinggalnya.
Baca Juga : Sambut HUT ke-3, IDSurvey Makassar Gelar Workshop Daur Ulang Sampah
Perjumpaan dengan Realitas: Dari Sungai ke Gang-Gang Kecil
Setiap Jelajah Sampah selalu membawa satu pesan penting: apa yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil dari persoalan. Di beberapa kecamatan, tumpukan sampah liar di pinggir kanal menjadi tanda bahwa kebiasaan “buang cepat, lepas tangan” masih kuat. Di kecamatan lain, TPS3R belum berfungsi optimal, atau bank sampah unit masih terbatas.
Namun di balik itu, ada pula kecamatan yang mulai menunjukkan perubahan menggembirakan. Warga mulai memilah sampah dari rumah, kader lingkungan aktif melakukan edukasi dari pintu ke pintu, dan komunitas lokal membangun gerakan kompos, ecoenzym, hingga daur ulang sederhana.
Baca Juga : Program ‘Sampah Jadi Pulsa’ Indosat: Solusi Cerdas untuk Krisis Limbah Plastik
Jelajah Sampah membuat semua itu terlihat secara jelas dan jujur, tanpa basa-basi. Itulah kekuatan utamanya.
Membangun Budaya, Bukan Sekadar Penertiban
Dalam perspektif humaniora ekologis, Jelajah Sampah sesungguhnya adalah perjalanan membentuk budaya baru: budaya sadar sampah.
Baca Juga : Generali Indonesia Ajak Masyarakat Bijak Kelola Sampah
Budaya ini tidak lahir dari instruksi, tetapi dari pengulangan, keteladanan, dan ruang dialog. Ketika DLH hadir langsung di lapangan, warga merasakan bahwa pemerintah tidak bekerja dari balik meja, melainkan mengunjungi lorong, bantaran sungai, pasar, dan rumah mereka.
Budaya sadar sampah tercipta dari kesadaran bahwa sampah tidak berhenti ketika dibuang. Ia terus bergerak: menyumbat drainase, mencemari air hujan, menciptakan bau, mengganggu kesehatan, hingga akhirnya kembali ke kehidupan manusia dalam bentuk mikroplastik.
Perubahan cara pandang ini adalah fondasi utama untuk mencapai Makassar Bebas Sampah 2029.
Kecamatan sebagai Garda Terdepan
Target 2029 tidak akan dicapai hanya dengan teknologi atau truk tambahan. Yang paling menentukan adalah perubahan perilaku massa, dan itu terjadi di tingkat kecamatan serta kelurahan.
Melalui Jelajah Sampah, beberapa indikator keberhasilan mulai disusun dan dipantau:
persentase rumah tangga yang memilah sampah, berkurangnya titik sampah liar, meningkatnya aktivitas bank sampah, pengurangan sampah menuju TPA, berjalannya inovasi lokal seperti ecoenzym, biopori, sekolah sungai, dan kampanye zero burning.
Indikator-indikator ini dibangun bukan untuk menilai siapa yang terbaik, tetapi untuk memetakan siapa yang perlu didampingi lebih kuat.
Setiap kecamatan memiliki medan dan tantangan yang berbeda, namun semuanya berada dalam lintasan yang sama: mengurangi sampah dari sumbernya.
Mengikat Kolaborasi, Menggerakkan Kepedulian
Jelajah Sampah membuktikan satu hal: pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Warga, komunitas, RT/RW, sekolah, gereja, masjid, PKK, dan pemuda adalah tiang utama yang menentukan keberhasilan perubahan.
Di beberapa kecamatan, gerakan warga bahkan muncul lebih cepat daripada regulasi. Ada warga yang membuat komposter mandiri, ibu-ibu yang konsisten menabung di bank sampah, hingga kelompok pemuda yang mengumpulkan plastik dari kanal lalu menjualnya untuk kegiatan sosial.
Inilah wajah baru Makassar: kota yang tumbuh dari partisipasi, bukan dari instruksi.
Menuju 2029: Peradaban Baru yang Kita Bangun Bersama
Target Makassar Bebas Sampah 2029 bukan sekadar angka atau slogan. Ia adalah visi tentang kualitas hidup. Kota yang bersih bukan hanya terlihat indah, tetapi juga menjadi ruang hidup yang sehat, manusiawi, dan berperadaban.
Jelajah Sampah menjadi pengingat bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil: memilah sampah di rumah, tidak membuang sembarangan, berhenti membakar, mengolah organik, menabung di bank sampah, dan menjaga kanal tetap bersih.
Ketika lima belas kecamatan telah dijelajahi dan ketika warga mulai menyadari bahwa sampah adalah tanggung jawab bersama, maka sebenarnya Makassar sudah berada di jalur yang benar.
Yang tersisa adalah konsistensi.
Selebihnya, sejarah akan mencatat bahwa Makassar memilih menjadi kota yang merawat masa depannya sejak hari ini.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
