HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Literasi merupakan fondasi pembangunan manusia. Negara-negara dengan indeks literasi tinggi biasanya memiliki indeks pembangunan manusia yang lebih baik, ekonomi lebih kompetitif, dan masyarakat lebih partisipatif dalam demokrasi.
Namun, realitas Indonesia masih memprihatinkan. Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia menempati peringkat ke-70 dari 80 negara dalam literasi membaca, dengan skor 359 poin—turun dari 371 pada 2018.
Ironisnya, meskipun peringkat meningkat beberapa posisi, hal itu bukan karena kemampuan kita melonjak, melainkan karena negara lain mengalami penurunan lebih besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa berbagai program literasi pemerintah belum menghasilkan perubahan signifikan? Apakah sekadar menjadi proyek tahunan tanpa dampak substantif?
Baca Juga : Cicilan Huruf: Sebuah Proyek Baru di Rumah Buku
Sejak 2016, pemerintah meluncurkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang mencakup literasi baca-tulis, numerasi, sains, digital, finansial, hingga kewargaan. Di sekolah, ada Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dengan kebiasaan membaca 15 menit sebelum pelajaran.
Selain itu, program distribusi buku bermutu digencarkan. Misalnya, Merdeka Belajar Episode 23 (2022) mendistribusikan lebih dari 15 juta buku ke PAUD dan SD di daerah tertinggal. Perpustakaan Nasional juga menargetkan 10.000 perpustakaan desa/Taman Baca Masyarakat (TBM) sebagai pusat literasi masyarakat.
Kurikulum Merdeka menempatkan literasi sebagai kompetensi inti, sementara ujian nasional diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk mengukur literasi membaca dan numerasi.
Melihat program yang sangat masif, sebagaimana pelaksanaan program literasi tersebut di atas, implementasinya sering menghadapi kendala serius, diantaranya :
Baca Juga : Malam Bercerita: Gerakan Literasi Era Digital
1. Orientasi output, bukan outcome. Keberhasilan program lebih banyak diukur dari jumlah buku yang dicetak atau perpustakaan yang dibangun, bukan dari apakah anak-anak betul-betul membaca, memahami, dan menikmati bacaan.
2. Budaya membaca belum tumbuh. Program seperti membaca 15 menit sebelum pelajaran sering menjadi rutinitas administratif. Anak membaca karena diwajibkan, bukan karena minat. Hal ini memperkuat kesan “gugur kewajiban” tanpa penginternalisasian nilai literasi.
3. Kesenjangan akses dan kualitas. Buku bermutu memang didistribusikan, tetapi tidak jarang berhenti di gudang sekolah atau tidak relevan dengan konteks lokal. Sementara itu, perpustakaan desa kerap minim pengelola dan jarang buka.
Baca Juga : OJK: Literasi dan Inklusi Keuangan Masih Timpang Berdasarkan Wilayah, Usia, Pendidikan dan Jenis Pekerjaan
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
