4. Keterbatasan kapasitas guru. Banyak guru masih mengajar dengan pola hafalan, sehingga literasi kritis sulit tumbuh. Tanpa guru yang melek literasi, buku dan fasilitas hanyalah benda mati.
Naiknya peringkat Indonesia dalam PISA 2022 lebih disebabkan “faktor eksternal”—negara lain turun lebih jauh—daripada peningkatan substantif. Dengan skor literasi 359 (jauh di bawah rata-rata OECD 476), kita masih berada di papan bawah dunia.
Artinya, meski ada gerakan dan klaim peningkatan indeks literasi, Indonesia belum meninggalkan zona krisis literasi. Jika negara lain bergerak lebih cepat, maka kita hanya akan terus “jalan di tempat”.
Baca Juga : Cicilan Huruf: Sebuah Proyek Baru di Rumah Buku
Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi kebijakan literasi selama ini, seperti uraian tersebut diatas, agar literasi tidak hanya berhenti sebagai proyek seremonial, ada beberapa rekomendasi:
1. Fokus pada outcome, bukan sekadar output. Ukur dampak program dari peningkatan keterampilan membaca kritis, minat baca, dan partisipasi literasi digital.
2. Relevansi lokal. Buku yang didistribusikan harus sesuai dengan konteks budaya dan bahasa daerah agar anak merasa dekat dengan bacaan.
Baca Juga : Malam Bercerita: Gerakan Literasi Era Digital
3. Pemberdayaan guru dan keluarga. Guru perlu pelatihan literasi, sementara keluarga harus dilibatkan dalam membangun kebiasaan membaca anak.
4. Integrasi literasi digital.m Di era media sosial, literasi harus mencakup kemampuan memilah informasi, bukan hanya membaca teks cetak.
5. Keberlanjutan lintas rezim. Program literasi tidak boleh bergantung pada periode satu menteri. Harus ada konsensus nasional bahwa literasi adalah agenda pembangunan jangka panjang.
Baca Juga : OJK: Literasi dan Inklusi Keuangan Masih Timpang Berdasarkan Wilayah, Usia, Pendidikan dan Jenis Pekerjaan
Indonesia sudah memiliki berbagai gerakan literasi, tetapi implementasi masih terjebak dalam logika proyek. Literasi akhirnya hadir dalam laporan tahunan, bukan dalam keseharian warga. Jika pola ini berlanjut, peringkat kita akan stagnan sementara negara lain melesat.
Meningkatkan literasi berarti mengubah budaya, bukan sekadar membagikan buku. Literasi bukan proyek, melainkan fondasi peradaban.
Wallahu a’lam bishshawab
Sungguminasa, 29 Agustus 2025
Baca Juga : Promo Internet IM3 Mudahkan Mahasiswa Kampanye Literasi di Taman Kampus UINAM
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
