HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Di tanah Kajang, tradisi menenun tetap hidup dari waktu ke waktu. Tenun Tope Le’leng bukan sekadar kain, melainkan usaha sarung hitam warisan leluhur yang terjaga hingga kini.
Dengan tangan-tangan terampil dari warga lokal, para penenun menciptakan karya yang sarat makna, menggambarkan kejujuran dan nilai budaya masyarakat Kajang atau yang akrab disebut Tanah Toa.
Benang yang digunakan untuk membuat kain hitam berasal dari benang putih atau kapas alami, yang diproses dengan pewarna tradisional dari ‘tarung’, tanaman khas yang diwariskan turun-temurun.
Proses pembuatan kain ini membutuhkan waktu hingga tiga bulan, dari pemintalan benang hingga menjadi sarung siap pakai. Kesabaran dan ketelitian menjadi kunci utama dalam menghasilkan kain berkualitas tinggi.
“Motifnya harus tegak lurus, melambangkan kejujuran yang dijunjung tinggi di tanah Kajang,” ujar Ramlah, Owner Tope Le’leng saat menjajakan jualannya di kegiatan Tudang Sipulung BKP KM Bulukumba di Hotel Swiss-Bellin Panakkukang, Rabu (29/01/2025).
Warna kain disesuaikan dengan permintaan, namun bagi lelaki Kajang, biru dan putih tetap menjadi pilihan utama sebagai simbol kebanggaan.
Sejak lima tahun terakhir, Tenun Tope Le’leng tidak hanya dikenal di daerah sendiri, tetapi telah merambah pasar internasional seperti Malaysia dan Jepang.
Wisatawan yang datang ke Kajang sering membawa pulang kain ini sebagai suvenir khas yang penuh filosofi.
Menurut Jajak Ramlah, perkembangan ini tidak lepas dari upaya pemasaran yang lebih modern.
“Kami mulai memanfaatkan media sosial dan mengikuti berbagai pameran untuk memperkenalkan tenun khas Kajang ke masyarakat luas,” ungkapnya.
Produk tenun kini tidak hanya dalam bentuk sarung, tetapi juga dikembangkan menjadi tas, selempang, hingga aksesori lainnya agar lebih terjangkau oleh berbagai kalangan.
Harga produk bervariasi, mulai dari Rp 40.000 untuk tas kecil, hingga Rp 1.500.000 untuk sarung bermotif istimewa yang telah diberi pelicin.
Saat ini, sekitar dua puluh penenun masih mempertahankan tradisi ini di rumah masing-masing. Ke depan, sebuah sentra produksi akan dibangun untuk mengumpulkan para penenun dalam satu tempat, agar produksi lebih terorganisir dan warisan ini semakin berkembang.
Pendanaan usaha ini sebagian besar berasal dari pemerintah daerah, melalui bantuan alat dan bahan baku. Dukungan ini semakin memperkuat eksistensi kain khas Kajang, yang kini semakin dikenal dan digunakan oleh masyarakat, terutama saat perayaan hari jadi daerah.
Jajak Ramlah berharap generasi muda tertarik untuk melestarikan tradisi ini. “Kami ingin memastikan bahwa tenun Tope Le’leng tetap bertahan dan semakin berkembang, bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat Kajang,” tutupnya.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News