Oleh: Dr. Sakka Patu, S.H, M.H.,
(Ketua Klinik Hukum FH Unhas)
TAWURAN bukan lagi menjadi hal yang baru di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Sebagai salah satu kota metropolitan, kota yang sibuk dan penuh kepentingan, Makassar menjadi salah satu kota yang isu tawurannya juga semakin sering terjadi, baik itu tawuran antar pelajar maupun tawuran antar kelompok warga.
Tawuran adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri diartikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, menyerang, membunuh atau menghukum orang lain, dengan kata lain agresi secara singkat didefinisikan sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.
Baca Juga : Prof Amran Razak Nakhodai IKA SKK Identitas Unhas Periode 2024-2028
Secara umum tawuran ini dipengaruhi oleh faktor internal yang biasanya timbul akibat seseorang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang kompleks. Kompleks disini adanya perbedaan pandangan, budaya, tingkat ekonomi,dan kebiasaan-kebiasaan pada lingkungan tersebut, dan faktor eksternal berupa faktor keluarga dan faktor lingkungan.
Dari semua faktor yang disebutkan, faktor lingkunganlah yang memiliki pengaruh paling besar dan komplek bagi maraknya fenomena tawuran yang sering kali terjadi, misalnya kepadatan penduduk, jurang yang kaya dan miskin begitu besar, lalu lintas yang padat hingga akhirnya menyulut agresivitas massa dan menjadi mudah disulut kemarahannya.
Selain itu, terdapat tiga faktor eksternal yang paling sering memicu terjadinya tawuran yaitu aktor karena memang diadu, faktor kepentingan, dan dendam lama.
Baca Juga : Membingkai Masa Depan LeDHaK Unhas Melalui Parleme Pusat sebagai Wadah Evaluasi dan Transformasi
Faktor-faktor sebagaimana disebutkan di atas pada dasarnya diketahui sejak lama, bahkan berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut yang paling banyak memicu tawuran. Namun ibarat tangan tak besambut, penyebab telah ditemukan namun solusi belum mampu berjalan efektif. Bahkan hukum tidak lagi dapat memberikan efek jera bagi pelaku tawuran.
Salah satu alasan mendasar bahwa tawuran dan pemenjaraan pelaku tawuran hanya dianggap sebagai bagian kenalanan remaja yang masih sering mendapatkan “pemakluman” dari masyarakat. Padahal tanpa disadari, fenomena tawuran ini tidak hanya mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, akan tetapi juga mengancam massa depan bangsa dan negara.
Zaman sudah sangat berubah, sehingga “pemakluman” terhadap tawuran ini tidak dapat lagi dibenarkan. Pada zaman dahulu, warga terlibat tawuran karena mempertahankan kepentingan bersama, tapi zaman sekarang tawuran terkadang hanya dipicu alasan sepele yang kemudian berkembang menjadi tawuran antar kelompok. Inilah yang menbedakan dan menjadi alasan kenapa fenomena tawuran ini tidak boleh lagi diberikan “pemakluman” sebagai bagian dari kenalan remaja yang katanya akan sadar pada waktunya ketika sudah lebih dewasa.
Baca Juga : Pentingnya Kemampuan Debat Dalam Dunia Hukum
Ketika hukum tidak lagi dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tawuran, maka norma sosial dan norma agama harus mampu menopang norma hukum agar dapat menghapus segala bentuk tawuran yang terjadi.
Norma hukum akan dijalankan oleh para penegak hukum yaitu institusi kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan. Norma agama dapat dijalankan oleh lembaga pendidikan dengan memupuk dan mengembangkan karaktek religius bagi peserta didik, seperti karakter sabar, disiplin dan bertanggung jawab. Serta Norma sosial dijalankan oleh lingkungan masyarakat, yang mana aksi tawuran ini tidak lagi mendapatkan “pemakluman” melainkan harus dikecam dalam masyarakat.
Masyarakat harus sadar bahwa tawuran dampaknya sangat besar dalam jangka panjang terhadap masa depan anak bangsa. Tawuran merupakan tindakan kriminal, dan apabila tindakan kriminal diberikan pemakluman maka akan sangat berpotensi di masa depan tawuran menjadi budaya yang dianggap sebagai bagiandari karakter bangsa Indonesia itu sendiri.
Baca Juga : BKGN 2024, Unilever dan Pepsodent Hadirkan Pemeriksaan Gratis di RSGMP UNHAS Makassar
Oleh sebab itu, keprihatinan ini harus ditindaklanjuti, agar pelajar sebagai kelompok remaja calon generasi penerus bangsa dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Artinya, remaja sebagai pelajar harusnya belajar bukan menampilkan perilaku premanisme yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan berbagai pihak, termasuk dirinya sendiri. Oleh sebab itu, perlu mencari bentuk intervensi yang tepat sebagai solusi allternatif agar fenomena ini minimal dapat dikurangi prevalensinya. **
Baca berita lainnya Harian.news di Google News