Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah tongkat. Mereka yang berada di bawah, yang bersuara di balik kertas suara, adalah tumpuan bagi seorang calon pemimpin untuk melangkah menuju tampuk kekuasaan.
Ketika seorang calon kepala daerah atau wakil rakyat sedang “buta”—belum berkuasa, belum punya akses, belum dikenal luas—ia bersandar penuh pada rakyat, mengetuk pintu rumah warga, mencium tangan ibu-ibu pasar, berfoto bersama tukang becak, atau duduk lesehan di musalah pinggir jalan.
Namun, metafora “orang buta apabila sudah melihat, maka yang pertama dibuang adalah tongkatnya” menjadi sindiran yang sangat getir dalam politik elektoral. Setelah terpilih, ketika “melihat”—yakni telah mendapatkan jabatan, fasilitas, dan kekuasaan—rakyat sebagai “tongkat” itu kerap ditinggalkan.
Baca Juga : Semangat Sumpah Pemuda di Era Validasi
Kebutuhan dan suara mereka tak lagi didengar, bahkan dianggap beban yang mengganggu agenda kekuasaan. Pejabat publik yang demikian telah jatuh pada pengkhianatan moral.
Ia melupakan bahwa kekuasaannya bukan berasal dari kehebatan pribadinya, melainkan dari legitimasi rakyat. Kondisi Ini adalah bentuk amnesia politik, di mana pemimpin melupakan asal-usul kekuatannya, lupa jalan berdebu yang dulu ia lalui bersama rakyat kecil.
Dalam perspektif filsafat kekuasaan, kekuasaan yang tidak berakar pada ingatan kolektif dan rasa syukur pada rakyat akan kehilangan legitimasi etis.
Baca Juga : Mutasi Bukan Sekadar Pindah Jabatan: Refleksi Akademik atas Dinamika Pemerintahan yang Sehat di Takalar
Sementara dalam kerangka sosiologi demokrasi, ini menunjukkan kegagalan transformatif dalam relasi antara pemilih dan yang dipilih—di mana rakyat hanya dijadikan alat sekali pakai dalam lima tahunan yang disebut demokrasi prosedural. Tongkat sejatinya tidak dibuang,
Seorang pemimpin sejati akan tetap menyimpannya, bukan karena ia masih butuh dipapah, tapi karena ia tahu siapa yang pernah menuntunnya di masa gelap.
Dalam kekuasaan, itu berarti menjaga nurani, mendengar suara rakyat, dan menjadikan masa kampanye bukan sekadar sandiwara, melainkan janji yang hidup.
Baca Juga : Menanggapi Orang Bodoh: Antara Imam Syafi’i & Stoikisme
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
