HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Vivi, seorang perempuan Tionghoa dan psikolog klinis, berbagi kisah pilunya tentang ketimpangan gender yang ia alami sendiri dalam keluarga. Ia bercerita tentang luka yang lahir dari budaya patriarki.
“Bagi banyak keluarga Tionghoa, anak laki-laki adalah penerus marga, pemegang kekuasaan, dan prioritas utama,” ujar Vivi, Kamis (10/07/2025).
Sistem kekerabatan patrilineal dan patriokal yang masih kuat membuat anak perempuan seringkali dipinggirkan. Vivi salah satu yang mengalami ketidakadilan tersebut.
Baca Juga : Usaha Sat Set, Pesanan Melesat: Perempuan Pesisir dan Difabel Bangkit Bersama Rappo-JNE
Sejak remaja, Vivi membantu ibunya membesarkan bisnis keluarga, Hermin Salon. Ia bekerja keras hingga banyak aset keluarga diperolehnya dari hasil jerih payah. Namun, ketika bicara soal warisan, adik laki-lakinya, JH, justru menerima porsi besar tanpa pernah terlibat dalam bisnis tersebut.
“Saya yang kerja, saya yang capek. Tapi dia yang dipuja dan dianggap lebih berhak,” ucapnya..
Vivi menceritakan bagaimana dia berkali-kali disudutkan, bahkan dipaksa menandatangani surat-surat yang merugikan haknya. Ketika dia tengah berjuang melawan penyakit mata dan butuh dana operasi, justru di situlah ia melihat wajah paling buruk dari keluarga sendiri.
Baca Juga : Kementan dan Kemen PPPA Sinergi Gerakkan Pekarangan Pangan Bergizi
“Saya yang cari pembeli tanah warisan, tapi saya yang dipermainkan. Ketika saya butuh uang operasi, mereka justru memanfaatkan kondisi saya,” ungkapnya.
Menurut Vivi, budaya yang memuliakan anak laki-laki dalam keluarga patriarki bisa melahirkan ketimpangan parah dan merusak hubungan keluarga.
“Ini bukan hanya soal saya dan adik saya. Ini cermin dari budaya yang sudah usang. Ketika anak laki-laki dimanjakan, dia tumbuh jadi pribadi serakah, egois, bahkan bisa jatuh ke karakter Narcissistic Personality Disorder (NPD),” jelasnya.
Baca Juga : Astra Motor Sulsel Ajak Perempuan Muda Peduli Keselamatan Berkendara
Vivi menyesalkan bahwa apa yang dulu dia pikir sebagai kasih sayang keluarga, kini berubah menjadi medan konflik, bahkan berujung ke polisi. Ia berharap pengalaman pahitnya bisa menjadi pelajaran agar masyarakat berani mengubah pola asuh yang timpang.
“Budaya patriarki yang menomorsatukan anak laki-laki dan menindas anak perempuan harus dihentikan. Begitu juga pembagian warisan. Jangan bermegah di atas keringat orang lain,” jelas Vivi.
Perempuan dalam Cengkeraman Budaya Patriarki
Baca Juga : PIS Perkenalkan Inisiatif Pemberdayaan Perempuan di Industri Maritim
Budaya patriarki masih mencengkeram kuat cara pandang masyarakat terhadap peran dan posisi perempuan, baik dalam keluarga maupun di masyarakat. Rahma Amin, seorang akademisi yang fokus pada isu gender, menyoroti bahwa akar ketimpangan ini sudah mengakar sejak awal peradaban manusia.
“Budaya patriarki lahir bersamaan dengan perubahan alat produksi manusia dari berburu ke bercocok tanam. Dari sanalah muncul sistem kekerabatan yang menempatkan laki-laki sebagai patron, posisi dominan yang kemudian merembes ke berbagai lini kehidupan,” ujar Rahma Amin.
Ketimpangan tersebut diperkuat oleh tafsir agama yang misoginis, menjadikan perempuan sebagai kelas kedua. Kekuasaan atas tubuh perempuan pun dipertahankan melalui wacana sosial yang terus direproduksi.
“Kekuasaan bekerja lewat wacana, seperti dikatakan Foucault. Norma tentang tubuh perempuan, pakaian, dan peran gender adalah cara kekuasaan mengontrol dan melanggengkan dominasi laki-laki,” tambahnya.
Dalam masyarakat patriarki, norma sosial dan adat istiadat memperkokoh posisi subordinat perempuan. Meski ada kemajuan, seperti mulai ditinggalkannya praktik sunat perempuan dan perkawinan anak, Rahma mengingatkan bahwa perjalanan menuju keadilan gender masih panjang.
Perempuan kerap memikul beban ganda: berperan di ranah publik sekaligus memikul tanggung jawab domestik. Hal ini tak lepas dari Undang-Undang Perkawinan yang masih bias gender dan tafsir agama yang memposisikan perempuan sebatas pengasuh rumah tangga.
“Pendidikan keluarga kita masih penuh bias. Ayah dan ibu tanpa sadar mendidik anak dengan pola asuh yang menempatkan perempuan di posisi bawah,” kata Rahma.
Rahma juga menyoroti lemahnya perlindungan hukum terhadap perempuan. Bias patriarki masih mendominasi lembaga legislatif, eksekutif, hingga yudikatif, yang mayoritas diisi oleh laki-laki tanpa perspektif kesetaraan gender.
Peran media dan budaya populer turut memperkuat patriarki. Media menciptakan mitos kecantikan, mengeksploitasi perempuan sebagai objek seksual, dan menyebarkan norma-norma maskulin yang membatasi ruang gerak perempuan.
“Media memiliki kekuatan luar biasa membentuk wacana. Kita harus lebih kritis pada pesan-pesan yang disebarkan agar tidak terus mereproduksi ketidakadilan gender,” tegasnya.
Lantas bagaimana membongkar akar patriarki? Rahma menekankan pentingnya pendidikan gender yang aplikatif, bukan sekadar teori. Masyarakat harus menciptakan budaya baru yang lebih adil gender di keluarga, sekolah, tempat ibadah, hingga dalam produk hukum.
“Perubahan dimulai dari kesadaran. Bias gender harus disadari agar tidak dinormalisasi. Perlahan tapi pasti, pola asuh yang adil akan membentuk generasi yang lebih setara,” jelasnya.
Rahma juga menyinggung pola asuh dalam keluarga yang kerap meninggikan status anak laki-laki. Pola ini sulit dihapus karena sudah mengakar sejak ribuan tahun lalu.
“Orang tua bahkan yang paham gender sering masih bias dalam memperlakukan anak. Tapi kesadaran bahwa ini bias adalah langkah maju,” tuturnya.
Ia berharap masyarakat mulai membiasakan diri untuk memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara setara, membongkar konstruksi patriarki yang merugikan perempuan, dan menciptakan ruang aman bagi perempuan di semua lini kehidupan.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News