Logo Harian.news

Kelompok Rentan Hadapi Beban Berlapis Akibat Krisis Iklim, CSO: Sahkan RUU Keadilan Iklim

Editor : Gita Kamis, 24 Oktober 2024 18:06
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan conferensi pers di Hotel Royal Bay Makassar. (Foto: Gita/HN)
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan conferensi pers di Hotel Royal Bay Makassar. (Foto: Gita/HN)

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Indonesia saat ini menghadapi ancaman krisis iklim yang semakin nyata dan berdampak luas. Dampak perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem dan bencana alam, paling dirasakan oleh kelompok-kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, kelompok miskin kota, kaum muda, dan perempuan.

Sayangnya, pemerintah dinilai belum menunjukkan keseriusan yang cukup dalam menangani krisis ini. Sebagai respon, berbagai organisasi masyarakat sipil (CSO), termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, WALHI Sulsel, SP-AM, AJI Makassar, YLBHI, WALHI Nasional, dan Yayasan Pikul, bersama-sama menggelar Konsultasi Rakyat guna mendorong lahirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim.

Konsultasi Rakyat ini mendapat sambutan hangat dari berbagai elemen masyarakat di Sulawesi Selatan, terutama mereka yang terdampak langsung oleh krisis iklim. Perwakilan dari kelompok disabilitas, perempuan, petani, masyarakat adat, nelayan, dan buruh berkumpul untuk membahas dampak yang mereka alami.

Baca Juga : Sulsel di Ambang Krisis: Bencana Iklim Ancam Kehidupan dan Mata Pencaharian

“Kami telah mengidentifikasi sejumlah masalah yang dihadapi warga akibat krisis iklim, seperti hilangnya pekerjaan, kerusakan lingkungan, krisis air, dan kurangnya akses bagi penyandang disabilitas dalam mitigasi bencana,” ujar Salman dari LBH Makassar di Hotel Royal Bay, Kamis (24/10/2024).

Di Sulawesi Selatan, bencana alam seperti kekeringan, banjir, dan tanah longsor telah menghancurkan mata pencaharian masyarakat. Para petani gagal panen akibat perubahan cuaca ekstrem, sementara nelayan kehilangan hasil tangkapan karena kerusakan ekosistem laut.

Ibu Hajira, perempuan pesisir dari Tallo, Makassar, mengungkapkan betapa sulitnya akses air bersih di wilayahnya. “Kami harus mengantri hingga larut malam untuk mendapatkan air bersih, dan membayar Rp 3.000 per jerigen,” keluhnya. Dampak ini semakin parah dengan adanya proyek reklamasi yang memperburuk kondisi pesisir dan menambah beban masyarakat.

Baca Juga : ICSF 2024 Kembali Digelar, Bahas Fasilitas Kelompok Rentan hingga Penyempitan Ruang Sipil di Makassar

Krisis iklim juga menambah beban kelompok disabilitas yang sering kali diabaikan dalam perencanaan bencana. “Difabel menghadapi tantangan besar dalam hal evakuasi dan akses air bersih saat bencana melanda,” ungkap Dg. Malik dari PerDIK Sulsel. Ketidaktersediaan infrastruktur yang inklusif memperburuk situasi ini, membuat mereka lebih rentan terhadap risiko cuaca ekstrem.

Selain itu, krisis iklim memberikan tekanan mental yang lebih berat bagi penyandang disabilitas mental. Ketidakpastian bencana sering kali memicu kambuhnya gejala, sementara obat-obatan yang dibutuhkan sulit diakses dan mahal. Ketidakmampuan sistem ekonomi untuk mengakomodasi kebutuhan mereka semakin memperburuk situasi, menyebabkan kelompok ini terjebak dalam kemiskinan.

Krisis ini juga memperburuk situasi agraria di Indonesia. Revisi peraturan tata ruang yang melegalkan tambang pasir dan reklamasi pesisir memicu konflik agraria dan merampas hak-hak masyarakat adat, petani, dan nelayan. “Kebijakan yang berorientasi pada akumulasi kapital semakin menempatkan rakyat dalam kerentanan berlapis,” ujar Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator KPA Sulsel.

Perempuan menjadi salah satu kelompok yang paling merasakan beban berlapis dari krisis ini. “Perempuan seringkali terpaksa bekerja lebih dari satu pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan terpaksa meninggalkan kampung halaman untuk mencari nafkah,” ungkap Suryani, Ketua BEK SP-AM.

Dalam menghadapi krisis iklim, media juga memegang peran penting. Agus Mawan dari AJI Makassar menegaskan bahwa media harus kritis dan memastikan bahwa publik mendapatkan informasi yang benar mengenai solusi iklim yang ditawarkan pemerintah. “Jurnalisme harus kembali pada esensinya, yaitu memantau kekuasaan dan mengangkat suara rakyat yang terdampak.”

Aliansi Rakyat untuk RUU Keadilan Iklim (ARUKI) mendorong agar pemerintah segera menghadirkan kebijakan yang komprehensif dan inklusif untuk menangani krisis ini. Konsultasi Rakyat yang digelar di Sulawesi Selatan merupakan bagian dari rangkaian konsultasi yang diharapkan dapat menjadi pijakan dalam penyusunan RUU Keadilan Iklim.

“Hasil konsultasi ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang lahir nanti mampu melindungi hak asasi manusia dan menjaga keberlanjutan lingkungan hidup,” tutup Satrio Manggala dari WALHI.

KPU
KPU

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Redaksi Harian.news menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi@harian.news atau Whatsapp 081243114943

Follow Social Media Kami

KomentarAnda