HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Perlakuan terhadap anak-anak tahanan imigrasi di Depot Tahanan Imigrasi (DTI) Sandakan, Sabah, Malaysia menjadi sorotan tajam setelah laporan mengejutkan muncul dari pemantauan yang dilakukan oleh Tim Koalisi Buruh Migran Berdaulat.
Dalam Konferensi Pers dan Peluncuran Laporan Pemantauan Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) yang berlangsung via zoom, Rabu (18/12/2024), Rara, salah satu perwakilan tim tersebut, mengungkapkan kisah empat anak deportan yang dihukum secara tidak manusiawi di depot tersebut pada September 2024.
Anak-anak itu berusia di bawah 11 tahun, dipaksa menjalani hukuman fisik seperti berjemur di bawah terik matahari dengan kepala mendongak selama satu jam, mencabut rumput di depan blok tahanan, hingga dipukuli dengan penggaris besi.
Baca Juga : Tourism Malaysia Gencarkan Promosi Showcase B2B di Makassar
“Kesalahan mereka? Hanya karena dianggap berisik,” ungkap Rara dengan nada geram.
Ironisnya, satu tahun sebelumnya, pemerintah Malaysia meluncurkan program Baitul Mahabbah untuk memberikan perlakuan lebih layak bagi anak-anak tahanan di Semenanjung.
Program ini mulai diterapkan di Sabah pada November 2023 dengan pembangunan blok khusus di DTI Papar. Namun, satu tahun berlalu, bentuk kekerasan dan penghukuman terhadap anak-anak tak kunjung hilang.
Baca Juga : Inovasi Kesehatan Indonesia-Malaysia, Tsamarat Imyunster Miliki Manfaat Besar Bagi Kesehatan
Pada Mei 2024, Departemen Imigrasi Sabah menerima alokasi dana sebesar 50 juta Ringgit Malaysia atau sekitar Rp175 miliar untuk meningkatkan fasilitas di empat DTI, termasuk memperbaiki pagar dan lantai istirahat.
“Ironisnya, ketika dana besar dialokasikan untuk infrastruktur, deportan masih menghadapi kondisi hidup yang memprihatinkan: toilet kotor, makanan busuk, kekurangan air bersih, dan skabies yang menjalar di tubuh mereka,” ujar Rara.
Laporan ini berdasarkan pemantauan kondisi di empat DTI selama periode Oktober 2023 hingga September 2024. Dalam periode tersebut, sebanyak 1.941 penduduk tanpa dokumen telah dideportasi ke Nunukan, Kalimantan Utara. Di antaranya, terdapat 218 anak-anak di bawah usia 18 tahun, termasuk 117 anak yang masih berusia di bawah 13 tahun.
Baca Juga : Kasus Korupsi Libatkan Ayah dan Anak
“Jumlah deportan anak terus meningkat, dari 165 menjadi 218 anak, meskipun jumlah total deportan sebenarnya menurun,” jelas Rara.
Data menunjukkan 47% dari deportan anak berasal dari DTI Papar, depot yang memiliki blok Baitul Mahabbah. Namun, depot ini menjadi yang paling banyak menangkap dan mendeportasi anak-anak tanpa dokumen.
Selain kekerasan fisik, anak-anak di DTI juga menghadapi kondisi hidup yang tidak manusiawi. Mereka tidur di lantai kasar tanpa sinar matahari selama berbulan-bulan.
Baca Juga : Kolaborasi Makassar–Selangor, Hadirkan Paket Lengkap Berobat Sambil Liburan
Kekurangan makanan bergizi serta fasilitas sanitasi yang layak menjadi ancaman serius bagi kesehatan mereka.
Rara menambahkan bahwa perlakuan ini tidak hanya melanggar hak anak tetapi juga menunjukkan kontradiksi dalam kebijakan pemerintah.
“Pembangunan blok khusus seperti Baitul Mahabbah seharusnya menjadi langkah perlindungan, bukan sekadar nama tanpa esensi.”
Koalisi Buruh Migran Berdaulat mendesak pemerintah Malaysia untuk segera mengakhiri praktik kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi di DTI.
“Anak-anak ini bukan penjahat. Mereka adalah korban dari sistem yang gagal melindungi mereka,” tegas Rara.
Laporan ini menjadi pengingat bahwa perlakuan terhadap anak-anak imigran harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan kemanusiaan. Hingga kini, perjuangan untuk memperbaiki nasib anak-anak deportan terus berlanjut.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
