“Kampungku dibendung. Tanah dirampas. Kami terpaksa pergi. Semua harapan kami hilang termasuk mata pencaharian,” ucap Nurhidayah, perempuan petani yang tergusur oleh pembangunan Bendungan Karalloe, salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).
Penulis: Gita Oktaviola
HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Di tengah lanskap pedesaan yang subur, Nurhidayah, seorang perempuan petani yang tinggal di Desa Garing, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa, mengingat kembali masa-masa tenangnya sebagai petani jagung sebelum proyek Bendungan Karalloe mengubah hidupannya.
Baca Juga : Pilgub Sulsel: Menilik Angka Kemiskinan dan Suara Pesisir yang Terpinggirkan
Di atas rumah kayu yang ukurannya kira-kira 6×7 meter, Nurhidayah bercerita kejadian dua dekade lalu saat ia bergantung pada ladang dan kebun yang memberinya kehidupan, tempat ia menanam jagung dan panen 20-30 ton setiap musim.
Namun, tanah yang ia rawat dengan penuh cinta itu kini tak lagi miliknya, direnggut demi Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Karalloe. Disebut-sebut membawa kemajuan, meski bagi Nurhidayah dan puluhan keluarga lainnya, kemajuan itu terasa pahit.
Nurhidayah bercerita dengan getir kalau awalnya, ia tidak diberitahu soal pembangunan bendungan. “Baru waktu mau pembayaran, kami dipanggil satu per satu.”
Baca Juga : Deng Ical Kampanyekan DIA di Bontonompo Kampung SYL
Tanpa penjelasan panjang, aparat datang bersama petugas dan mematok tanahnya, tak pernah menyebutkan harga per meter. Yang ia tahu, lebih dari satu hektar tanah miliknya dihargai Rp110 juta, sementara rumahnya Rp90 juta.
“Kampungku dibendung. Tanah dirampas. Kami terpaksa pergi. Semua harapan kami hilang termasuk mata pencaharian,” katanya. “Lebih dari 70 kepala keluarga terpaksa pergi.”
Saat aparat keamanan datang, menurut Nurhidayah, lebih dari seratus polisi dan Brimob mengepung, mengusir dengan ancaman. Ia melihat mereka masuk ke setiap rumah, mengusir penghuninya, dan memberikan tenggat waktu sepuluh hari untuk pindah.
Baca Juga : Kelompok Perempuan Dominasi Pengguna Maxride di Makassar, Ini Alasan Mereka Betah!
“Mereka masuk, suruh kami keluar. Setelah itu, alat berat mulai menghancurkan rumah-rumah kami,” kenangnya, Minggu (28/09/2024). Ketakutan meresap di antara warga yang tak bisa menolak atau melawan.
Nurhidayah hanya bisa menyerah, mengambil uang ganti rugi yang ia anggap tak cukup untuk menata hidup di tempat baru.
Baca Juga : Legislator Nilai Kebijakan Rencana Peraturan Menkes Tak Berpihak kepada Petani Tembakau
Desa yang ia tinggalkan hancur, dan puluhan keluarga tercerai-berai, berpindah ke tempat-tempat yang tidak mereka kenal sebelumnya. Ada yang tinggal di Desa Garing, Taring, dan Ta’lembo, tempat yang asing dan terpisah-pisah dari kehidupan sosial mereka yang semula erat.
Ia menceritakan bagaimana harga rumah dan tanah baru di tempat pengungsian melambung jauh lebih mahal. “Saya harus bayar 60 juta untuk beli tanah dan bangun rumah lagi, padahal dulu rumah saya dihargai cuma 12 juta,” ujarnya dengan nada kesal.
Sekarang, Nurhidayah hanya bisa menatap jauh bekas kampung yang ia tinggali dulu. Kebetulan, rumah Nurhidayah tak jauh dari Bendungan Karalloe. Rumah terakhir sebelum masuk kawasan bendungan.
Lanjut cerita, Nurhidayah mengatakan jika, saat itu, proses pemindahan tidak berjalan mulus. Ada yang dipukul, ada yang ditangkap dan dipenjara. Nurhidayah menyebutkan bahwa saat beberapa warga membawa pisau untuk bekerja di kebun, mereka ditangkap dan dicurigai. Sekitar lima orang dijebloskan ke penjara, katanya, hanya karena membawa alat pertanian yang mereka butuhkan untuk bekerja.
Kini, sudah hampir delapan tahun sejak kejadian itu, tetapi Nurhidayah masih merasa getir dan tidak bisa melupakan kampung halamannya. Perasaan saat pindah, katanya, begitu pedih..
“Berbeda dengan kampung halaman,” ia menghela napas, “dulu segala keperluan bisa diambil dari kebun sendiri. Sekarang, apa-apa harus beli dengan uang.”
Bagi Nurhidayah, pemindahan ini mengubah segalanya, termasuk kebiasaan hidup dan makan. Dulu, ia cukup pergi ke kebun pagi hari dan pulang sore dengan hasil panen seperti sayur mayur dan umbi-umbian yang cukup untuk makan sehari-hari.
Kini, ia harus menyeberangi bendungan, pergi lebih jauh dan bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan makan pun tidak lagi teratur, karena harus pulang sore dengan tenaga yang terkuras.
Ia tak bisa melupakan trauma yang mengiringi pengusiran paksa itu. Beberapa kali ia mengalami serangan kecemasan, bahkan sempat dirawat di rumah sakit.
“Kalau ingat, biar sudah makan kenyang, tetap saja jadi sedih,” katanya.
Ancaman Brimob dan ketidakpastian hidup membuatnya merasa terpojok. Suaminya yang juga petani jagung pun kini harus merangkak dari nol, kehilangan ladang yang dulu jadi sumber nafkah mereka.
Kehidupan baru yang dijanjikan pemerintah tidak datang sesuai harapan. Hingga saat ini, Nurhidayah dan warga lain yang terpaksa pindah ke tempat baru dan terus berjuang untuk bisa bertahan.
Ia berharap tanah yang telah hilang itu bisa digantikan dengan kehidupan yang layak, meski dalam hati kecilnya, ia masih menginginkan bisa kembali ke kampung halaman yang telah terkubur di bawah bendungan besar itu.
Kampung Lenyap
Seorang perempuan paruh baya bernama Daeng Ngai mengisahkan kenangan hidupnya yang berubah karena pembangunan proyek bendungan. Di usianya yang hampir mencapai tujuh puluh, ia memandang sisa-sisa tanah pertaniannya dengan penuh kerinduan.
Ia mengenang masa lalu saat kampungnya masih utuh, sebelum seluruh lahan diambil untuk pembangunan Bendungan Karalloe yang memaksa puluhan keluarga hengkang dari tanah leluhur.
Sejak tahun 1974, Deng Ngai telah menggantungkan hidup dari bertani. Pada usia lima belas tahun, ia menikah dan membantu suaminya menanam berbagai tanaman. Tanah yang ia miliki luas, meski ia sendiri tak pernah tahu pasti berapa hektar luasnya karena tak pernah diukur.
“Tanah ku cuma dilihat dari pembatas dan dipetak-petak. Tidak pernah diukur. Dulu, hasil panen lebih banyak. Sekarang sudah jauh untuk tutupi kehidupan sehari-hari,” katanya.
Pada musim panen yang baik, ia bisa mengumpulkan lebih dari sepuluh ton jagung. Kini, setelah lahannya hanya tersisa sebagian kecil, hasil panen itu menyusut drastis menjadi tak lebih dari satu ton.
Suatu hari di tengah musim panen, ia dan keluarganya didatangi segerombolan Brimob. Mulanya hanya seratus polisi yang datang, namun seminggu kemudian jumlah aparat meningkat menjadi lebih dari seribu, termasuk polisi dan tentara.
Mereka datang dengan wajah tegas, tanpa peduli bahwa warga kampung sedang dalam suasana panen. “Walau kami tidak rela tanah diambil, tetap saja kami dipaksa,” ungkap Deng Ngai.
Dalam kegundahan, warga mencoba bertahan. Mereka melakukan aksi protes, berdemo untuk mempertahankan tanah mereka. Namun protes dan jeritan mereka seakan tak berarti di hadapan kekuatan aparat.
Deng Ngai mengingat bahwa awalnya pemerintah hanya akan mengambil sepotong tanah, sekadar lahan kecil untuk keperluan proyek.
Tetapi kenyataan yang terjadi jauh berbeda. Seluruh kampung direnggut, tak tersisa tanah bagi warga yang telah bergantung pada alam selama bertahun-tahun.
Bagi Daeng Ngai, kehidupan sebelum proyek bendungan terasa begitu indah. Setiap pagi, ia bangun dengan semangat, menyiapkan diri untuk ke kebun, menikmati alam yang membentang di depan rumahnya.
Kampungnya adalah sumber hidup, tempat ia menanam dan memanen dengan tangan sendiri. Hasil dari kebun cukup untuk menghidupi keluarga besar, bahkan memberi mereka kelebihan pangan yang bisa disimpan untuk waktu yang sulit.
Di kebun, selain jagung untuk dijual, Daeng Ngai menanam sayur dan umbi-umbian untuk dimakan oleh keluarga.
Namun, semua berubah setelah proyek ini datang. Tanah yang dulunya luas, subur, dan produktif kini telah menjadi bagian dari wilayah bendungan.
Lahan yang tersisa untuknya sekarang begitu sempit, sisa dibandingkan dulu. “Dulu, lebih banyak yang bisa didapat dari sekarang,” ucapnya lirih, matanya menatap jauh seakan melihat bayangan masa lalu yang perlahan menghilang.
Meski waktu terus berjalan, luka di hati Deng Ngai tak kunjung sembuh. Ia masih mengingat bagaimana ia harus merelakan kampungnya hilang, melihat tanahnya dipatok tanpa penjelasan. Tak pernah ada perincian luas atau harga tanah per meter yang disampaikan kepadanya. Semua terjadi begitu saja, dengan desakkan dan paksaan.
Kini, di sisa usianya, Deng Ngai merasa hidupnya telah terampas. Kampung yang dulu penuh cerita kini lenyap, berganti menjadi bendungan yang menyimpan kisah duka bagi para petani sepertinya.
Meskipun tanah tak lagi sepenuhnya menjadi miliknya, kenangan tentang kampung halaman terus bersemayam di hatinya, seakan tanah itu tetap memanggilnya pulang. Bagi Deng Ngai, kampung itu bukan sekadar tanah, tapi nyawa yang telah menyatu dengan setiap langkah hidupnya.
Nyanyian Tanah yang Hilang
Di sudut tenang Desa Garing, Kecamatan Tompobulu, Dg. Nunni, seorang perempuan petani menggambarkan potret kehidupan petani yang kini berubah lamat-lamat. Dulu, suara cangkul yang beradu dengan tanah menjadi simfoni sehari-hari.
Kini, suasana itu berganti sunyi, menyisakan cerita pahit tentang konflik peralihan fungsi lahan menjadi bendungan yang menghapus kehidupan mereka dari akar yang menghidupkan.
Dg. Nunni yang pernah menjadi penopang keluarganya dari hasil bumi, menceritakan luka yang tersisa. “Sekarang kami kehilangan tanah, tidak tahu harus bekerja apa. Tinggal ayam-ayam yang setiap hari saya beri makan. Dulu, di musim seperti ini, hasil panen jagung kuning sudah dinanti, atau setidaknya ada hasil dari tanaman-tanaman lainnya,” tuturnya
Masa lalu mereka penuh harapan, hidup selaras dengan tanah yang subur. Namun, kini tanah itu telah beralih tangan, membawa serta kehidupan dan mimpi yang melekat di dalamnya. Tidak hanya ekonomi yang porak-poranda, tetapi juga semangat yang kian pudar.
Tanpa lahan, mereka kehilangan hak atas penghidupan yang layak, menggantungkan nasib pada waktu yang tak pernah berhenti berputar.
Namun, di tengah duka, terselip secercah asa. Masyarakat Desa Garing berharap pada uluran tangan, mungkin dari pemerintah atau siapa saja yang peduli.
Mereka mendamba solusi, entah berupa lahan pengganti, pekerjaan alternatif, atau pelatihan keterampilan yang dapat menghidupkan kembali api semangat yang nyaris padam.
Tak sampai di situ, Dg. Suri yang dulunya juga berprofesi sebagai perempuan petani sebelum datangnya bendungan Karaloe menceritakan kondisinya pascabendungan itu berdiri kokoh di pelosok desa. Dg.Suri bilang banyak dari mereka terpaksa menjadi buruh tani, bekerja di lahan milik orang lain untuk sekadar bertahan hidup.
“Kami kehilangan tanah dan tidak tahu lagi harus bekerja apa. Tinggal ayam-ayam yang saya beri makan setiap hari,” lirih seorang warga, Dg. Nunni, mengenang masa lalu yang lebih baik.
Namun, tak semua mampu beralih menjadi buruh tani yang menggarap lahan orang lain . Mereka yang telah berumur hanya bisa pasrah, menghabiskan hari-hari di rumah bersama ternak yang tersisa.
Di sudut desa, suara ayam berkokok atau kambing mengembik menggantikan hiruk pikuk aktivitas sawah yang dulu mendominasi. Kehidupan seolah bergerak lambat, menunggu sesuatu yang mungkin tak pernah kembali.
Pendapatan pun ikut terseret ke jurang ketidakpastian. Dg. Suri, salah satu warga yang masih memiliki sedikit lahan, merasakan penurunan yang tajam.
“Walaupun masih ada tanah untuk bekerja, penghasilannya jauh berkurang. Anak saya masih kuliah, tapi hasilnya tidak cukup seperti dulu,” keluhnya dengan nada getir.
Di Desa Garing, waktu seakan berhenti di tengah gelombang perubahan. Bendungan Karalloe kini berdiri megah, namun bagi warga desa, ia menjadi saksi bisu atas kehidupan yang direnggut.
Kenangan akan masa lalu terus hidup di hati mereka, menjadi pengingat bahwa tanah yang hilang tak hanya membawa genangan, tetapi juga cerita tentang kehilangan, harapan, dan perjuangan untuk tetap bertahan.
Pembangunan Bendungan Karalloe tidak hanya merombak bentang alam tetapi juga memisahkan keluarga-keluarga yang telah lama hidup berdampingan. Interaksi yang dulunya hangat berubah menjadi sunyi, menyisakan rindu di tengah perjuangan mencari tempat berpijak yang baru.
Dg. Siba, salah seorang warga Desa Garing, bercerita dengan nada penuh kesedihan tentang perpisahan yang ia alami.
“Saat pindah ke sini (lokasi lain tempatnya membangun rumah baru setelah bendungan di bangun), kami tidak lagi bisa bersama keluarga. Semua mencari tempat untuk membangun rumah masing-masing, dan akhirnya terpisah. Saya pun harus mencari kerja di tempat lain, bahkan sampai ke Makassar, untuk mencukupi kehidupan sehari-hari,” ungkapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Perpindahan itu tak hanya memisahkan tubuh, tetapi juga hati. Kekerabatan yang dulu erat perlahan berubah menjadi kenangan. Desa yang dahulu dipenuhi canda tawa di setiap sudut kini terasa asing, dengan warganya yang tersebar dan sibuk berjuang di tempat yang berbeda.
Selain itu, Dg. Ati bercerita tentang gambaran nyata beratnya memulai kehidupan dari nol di tempat yang serba baru.
“Yang tinggal di Pa’lupiang dan pindah ke sini sangat susah,” ujar Dg. Ati dengan lirih. Ia menceritakan bagaimana keluarganya harus berpisah akibat perubahan ini. “Adikku sudah pindah ke Tonrorita. Jadi, kita ini yang pindah serba baru, tempat tinggal baru, lahan baru, dan lingkungan yang baru.”
Perubahan ini bukan hanya soal lokasi, tetapi juga soal jiwa yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang serba asing.
Dg. Ati, yang sebelumnya menggantungkan hidup pada lahan garapan, kini kehilangan semua itu. “Saya juga harus cari pekerjaan baru karena sudah tidak ada lahan yang tersisa untuk digarap,” lanjutnya.
Kehilangan lahan tidak hanya memutus mata pencaharian, tetapi juga mengguncang stabilitas sosial dan emosional banyak warga seperti dirinya.
Di desa baru, setiap langkah adalah perjuangan. Lahan baru harus ditemukan, pekerjaan baru harus digeluti, dan lingkungan baru harus dikenali.
Tidak ada yang mudah, tetapi hidup terus berjalan, dan warga seperti Dg. Ati tak punya pilihan selain beradaptasi.
Kisah ini mencerminkan dampak pembangunan yang melampaui batas fisik, menyentuh sisi kemanusiaan yang paling mendalam.
Di balik janji perubahan dan kemajuan, ada hati yang terpaksa melepaskan akar mereka dan belajar bertahan di tanah yang asing.
Perempuan Alami Beban Berlapis
Proyek-proyek strategis nasional (PSN), seperti pembangunan Bendungan Karalloe di Sulawesi Selatan, telah membawa dampak besar pada masyarakat sekitar, khususnya perempuan petani.
Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Suryani, menegaskan bahwa perempuan petani tidak hanya kehilangan tanah dan sumber kehidupan mereka, tetapi juga identitas sebagai petani yang melekat pada mereka.
Menurut Suryani, ketimpangan ekonomi dan sosial sejak lama jadi persoalan yang dihadapi perempuan, dan kedatangan PSN membuatnya kian parah
“Perempuan petani sering kali tidak memiliki akses langsung terhadap aset atau tanah. Dalam keluarga, kepemilikan aset biasanya diberikan kepada laki-laki, seperti ayah atau suami. Hal ini semakin memperparah kondisi mereka ketika proyek besar datang dan menggusur lahan-lahan pertanian,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Ia menuturkan, proyek-proyek strategis nasional sering kali tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Misalnya proyek Makassar New Port (MNP). Selama proses pembangunannya, pemerintah tidak melibatkan perempuan. Alhasil, ruang mata pencaharian perempuan pesisir terampas. Lalu proyek PSN lainnya seperti proyek pembangunan kereta api Makassar-Pare-Pare dan beberapa bendungan salah satunya Bendungan Karalloe di Gowa semuanya sama-sama merenggut ekonomi perempuan.
“Pendapat perempuan jarang dimintai, baik dalam konsultasi proyek maupun tahapan lainnya. Padahal, tanah bagi perempuan petani adalah harga diri dan sumber utama penghidupan mereka,” ungkap Suryani.
Suryani juga menjelaskan bahwa kondisi ini menciptakan beban berlapis bagi perempuan. Tidak hanya kehilangan lahan, mereka juga kehilangan kesempatan untuk tetap berkontribusi secara ekonomi.
“Proyek-proyek ini menggeser perempuan dari ruang-ruang pengambilan keputusan dan mengabaikan hak mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri,” katanya.
Selain itu, Suryani menyoroti bahwa dampak dari proyek besar ini tidak dapat diatasi hanya dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) atau pemberdayaan ekonomi sementara.
“Ini adalah bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan solusi sistemik dan kebijakan yang adil gender,” tegasnya.
Kemiskinan ekstrem yang sering disebut oleh pemerintah, lanjut Suryani, sebenarnya banyak dialami oleh perempuan. Rumah tangga miskin di wilayah proyek strategis seringkali dikepalai oleh perempuan, yang terpaksa bertahan hidup tanpa dukungan yang memadai.
“Mereka yang paling terdampak, tetapi suara mereka tidak pernah didengar dalam proses pembangunan,” jelasnya.
“Penting untuk melihat perempuan bukan hanya sebagai objek pemberdayaan, tetapi juga sebagai aktor penting dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka,” tutup Suryani.
Selain itu, Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sulawesi Selatan, menyoroti bahwa pembangunan bendungan-bendungan hasil dari PSN, termasuk Bendungan Karalloe, telah mengubah lanskap sosial dan ekonomi petani menjadi lebih rentan.
Bendungan Karalloe adalah satu dari beberapa proyek bendungan di Sulawesi Selatan, setelah Bilibili, Pamukkulu, dan Pasalore. Bendungan ini, yang sudah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo, dirancang untuk irigasi tetapi juga berfungsi sebagai penyedia energi untuk kawasan industri di Takalar, dengan investasi besar dari Tiongkok.
“Proyek ini mengorbankan lahan-lahan petani yang selama puluhan tahun menjadi sumber kehidupan utama,” ujar Rizki.
Menurut Rizki, proyek seperti ini sering kali tidak memberikan jaminan keberlanjutan bagi petani yang tergusur.
“Petani kehilangan tanah yang sudah digarap selama puluhan tahun. Mereka harus memulai dari awal di tempat baru tanpa dukungan cukup untuk masa transisi, sementara negara tidak hadir untuk mengisi kekosongan ini,” jelasnya.
Rizki juga menyoroti bagaimana regulasi agraria yang ada tidak berjalan efektif. Ia menyebut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai contoh regulasi yang sering diabaikan.
“Konversi lahan pertanian ke proyek infrastruktur harusnya diganti dengan lahan dua kali lipat luasnya, tetapi kenyataannya aturan ini tidak dijalankan. Akibatnya, banyak petani kehilangan mata pencaharian tanpa kompensasi memadai,” katanya.
Selain itu, kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan, yang dimulai sejak era Presiden Megawati dan dilanjutkan hingga kini, semakin mempermudah perampasan lahan. Rizki mengungkapkan bahwa petani sering kali dipaksa menerima ganti rugi yang dihitung sepihak, tanpa ada jaminan bagi masa depan mereka.
“Negara tidak memberikan hak veto kepada rakyat untuk menolak proyek yang merugikan mereka,” tambahnya.
Krisis agraria di era Presiden Joko Widodo disebut Rizki sebagai yang paling tinggi dibandingkan rezim sebelumnya. Jumlah konflik agraria dan kriminalisasi terhadap petani meningkat tajam, terutama dalam proyek-proyek berskala nasional.
Sepanjang tahun 2023, KPA mencatat sedikitnya terjadi 241 letusan konflik agraria. Letusan konflik tersebut terjadi di atas tanah seluas setengah juta hektar, yakni 638.188 ha, tersebar di 346 desa dengan korban terdampak sebanyak 135.608 Kepala Keluarga. Melalui perhitungan sederhana, jika dalam satu keluarga rata-rata terdiri dari empat jiwa, maka lebih dari ½ (setengah) juta orang juga menjadi korban dari letusan konflik agraria pada tahun 2023.
Letusan konflik sepanjang tahun 2023 tersebut mayoritas berkaitan dengan perkebunan-agribinis, bisnis properti, tambang dan proyek infrastruktur. Tercatat 108 letusan konflik agraria diakibatkan oleh perusahaan perkebunan, atau 44 % dari total letusan konflik yang terjadi sepanjang tahun.
Posisi kedua ditempati oleh sektor properti dengan jumlah letusan konflik sebanyak 44 letusan konflik atau 18 % dari total konflik. Sektor pertambangan menyebabkan 32 letusan konflik (13 %). Selanjutnya proyek infrastruktur dengan 30 (12 %) letusan konflik, sektor kehutanan sebanyak 17 (7 %) letusan, pesisir pulau-pulau kecil sebanyak 5 (3 %). Dan fasilitas militer sama-sama menyumbangkan 5 (3 %).
Khusus di proyek infrastruktur, investasi dan proses-proses pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur menyebabkan sedikitnya 30 letusan konflik agraria di berbagai wilayah. Letusan konflik tersebut terjadi di atas tanah seluas 243.755 hektar dengan korban terdampak sebanyak 4.346 kepala keluarga yang berada di 37 desa.
Selain investasi dan pembebasan tanah baru, letusan konflik tersebut juga disebabkan konflik-konflik lama yang belum berhasil memulihkan hak-hak korban terdampak sehingga kembali menyebabkan letusan konflik agraria.
Beberapa proyek pembangunan yang menyebabkan letusan konflik tahun ini diantaranya Tol dan jalan umum sebanyak enam letusan konflik, pembangkit listrik (5), pembangunan IKN beserta infrastruktur penunjangnya (4), fasilitas umum (3), Daerah Aliran Sungai (DAS) sebanyak dua letusan konflik.
Sementara pelabuhan, bendungan, bandara dan kereta api sama-sama menyebabkan satu letusan konflik agraria. Percepatan pembangunan proyek-proyek PSN menjadi penyebab terbesar letusan konflik agraria yang terjadi di sektor infrastruktur tahun ini. Dari total 30 kejadian konflik, 21 (70%) diantaranya disebabkan oleh PSN.
“Proyek PSN dijadikan alasan untuk melanggar hak masyarakat lokal. Bahkan, Undang-Undang Cipta Kerja memperburuk situasi dengan aturan yang semakin berpihak pada investasi besar,” katanya.
Rizki mendesak pemerintah untuk segera memperbaiki kebijakan agraria yang saat ini lebih mengutamakan investasi dibandingkan perlindungan rakyat.
“Kebijakan agraria tidak boleh mengorbankan petani dan ruang hidup mereka. Negara harus hadir untuk memastikan keberlanjutan bagi masyarakat agraris yang menjadi tulang punggung pangan nasional,” tutupnya.
Pemda Harap Warga Kreatif
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten Gowa terus berupaya memastikan pengarusutamaan gender dalam berbagai program pembangunan, termasuk di sektor pertanian dan proyek strategis seperti Bendungan Karalloe.
Kepala Dinas PPPA Kabupaten Gowa, Kawaidah Alham menekankan pentingnya menciptakan keseimbangan dan kesetaraan gender dalam program-program yang menyentuh masyarakat.
“Sebagai Dinas PPPA, kami memantau program di sektor pertanian untuk memastikan tidak ada diskriminasi antara perempuan petani dan laki-laki. Penting bagi program ini memiliki anggaran yang responsif gender, sehingga perempuan petani tidak ditinggalkan,” ujarnya.
Saat ini, perempuan petani telah dilatih untuk membuat proposal dan perencanaan, serta diberdayakan agar lebih mandiri dalam mengelola hasil tani mereka.
Bagi perempuan yang lahannya terenggut akibat pembangunan Bendungan Karalloe, Dinas PPPA telah memberikan pendampingan untuk beralih ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Kami mengajarkan mereka untuk menjadi pengusaha kecil. Mereka membentuk kelompok UMKM sehingga bisa menciptakan lapangan kerja baru dan mendapatkan penghasilan tambahan,” tambahnya.
Program ini lanjutnya bekerjasama dengan Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Gowa. Kata Kawaidah, terakhir, pihaknya menggelar pendidikan dan pelatihan (Diklat) kapasitas, kompetensi SDM serta kewirausahaan pada 02 Juli 2024. Tujuannya untuk memberikan bekal kepada para perempuan yang belum memiliki perkerjaan untuk beralih membangun usaha sendiri dalam bentuk produk UMKM.
Kegiatan ini berlangsung di Resto dan Fishing Dewi Sri, Kelurahan Tamarunang, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa.
Saat dikonfirmasi, Hasna seorang perempuan yang baru memulai bisnis UMKMnya merasa terbantu dengan adanya pelatihan dan bimbingan ini.
“Setelah saya ikut pelatihan, alhamdulillah saya sudah bikin produk UMKM. Saya mengolah singkong untuk dijadikan keripik lalu dijual secara online. Walaupun usaha saya belum banyak terjual, tapi saya sudah punya bekal dari pelatihan yang saya ikuti waktu itu,” terangnya, Kamis (28/11/2024).
Tak sampai di situ, Kadis PPPA Giwa juga menuturkan bahwa, hilangnya lahan pertanian akibat proyek bendungan, seperti di Desa Garing, telah dikaji secara khusus. Pembangunan Bendungan Karalloe, selain untuk irigasi, juga bertujuan menyelamatkan warga dari risiko banjir.
“Seharusnya, setelah menerima ganti untung, warga bisa lebih kreatif memanfaatkan peluang yang ada. Kami melihat potensi Karalloe untuk dikembangkan menjadi kawasan pariwisata,” jelasnya.
Dinas PPPA mengacu pada keberhasilan masyarakat di sekitar Bendungan Bili-Bili yang beralih dari sektor pertanian ke usaha lesehan dan kuliner.
“Masyarakat di Karalloe bisa mengadopsi pendekatan serupa. Kawasan di sekitar bendungan ini sangat indah dan dapat dimanfaatkan untuk menarik wisatawan, misalnya dengan membangun gazebo atau lesehan,” katanya.
Ke depan, masyarakat di sekitar Bendungan Karalloe diharapkan memiliki respons yang cepat terhadap peluang ini. Dinas PPPA juga akan terus berkolaborasi dengan dinas lain untuk memastikan program pemberdayaan berjalan optimal.
“Kami ingin memastikan bahwa masyarakat, khususnya perempuan, mendapatkan manfaat langsung dari proyek ini, baik melalui pelatihan, pendampingan, maupun pengembangan usaha berbasis lokal,” ungkapnya.
Melalui pendekatan ini, Pemerintah Kabupaten Gowa berharap keberadaan Bendungan Karalloe tidak hanya menjadi infrastruktur pengendali banjir, tetapi juga menjadi sumber penghidupan baru bagi masyarakat sekitar.
“Kita semua berharap masyarakat dapat melihat bendungan ini sebagai peluang untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik,” terangnya.
Selanjutnya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Gowa, Rusdi Alimuddin, enggan memberikan komentar terkait dampak sosial yang dialami perempuan petani di sekitar Bendungan Karalloe.
Menurutnya, proyek pembangunan bendungan tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Rusdi menegaskan bahwa dirinya tidak menjabat sebagai Kepala Dinas PUPR saat proyek tersebut dikerjakan.
“Proyek Bendungan Karalloe itu merupakan kegiatan Kementerian, dan ketika proyek itu dilaksanakan, saya belum menjabat sebagai Kepala Dinas. Oleh karena itu, saya tidak ingin memberikan komentar,” ujarnya singkat saat dimintai keterangan.
Meski Bendungan Karalloe kini menjadi salah satu infrastruktur strategis di Gowa, dampak sosial dari pembangunannya, terutama terhadap perempuan petani yang kehilangan lahan, menjadi sorotan berbagai pihak. Beberapa masyarakat terdampak mengaku belum mendapatkan solusi jangka panjang yang berkelanjutan pasca-pembangunan.
Hingga berita ini diterbitkan, Dinas PUPR Kabupaten Gowa belum memberikan penjelasan resmi terkait langkah-langkah yang diambil untuk menangani persoalan ini.
Sementara itu, masyarakat berharap ada upaya sinergi antara pemerintah daerah dan pusat untuk mencari solusi yang dapat memberdayakan warga terdampak.
“Kami meminta kesempatan untuk hidup layak setelah kehilangan sumber hidup di kebun. Lahan kami direnggut, mata pencaharian dihancurkan, dan kini kami butuh pekerjaan baru. Pemerintah kami tidak butuh janji. Kami butuh solusi. Setidaknya, sediakan pekerjaan yang layak untuk menjaga dapur kami tetap berasap dan anak-anak tetap bersekolah,” ucap Nurhidayah.
Pembangunan Bendungan Karalloe di Desa Garring, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa, telah menjadi salah satu proyek besar yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Balai Pompengan Wilayah Jeneberang sebagai pelaksana utama dalam proses pengambilalihan lahan pertanian warga. Proyek ini membawa harapan akan manfaat ekonomi dan ekologis, namun menyisakan keresahan mendalam bagi warga yang terdampak langsung.
Upaya untuk mendapatkan konfirmasi dari pihak Balai Pompengan Wilayah Jeneberang terkait proses ganti rugi lahan dan solusi bagi warga yang kehilangan mata pencaharian hingga kini belum membuahkan hasil. Harian.news telah mencoba berbagai pendekatan, mulai dari menghubungi nomor WhatsApp pimpinan balai hingga mengirimkan surat resmi ke kantornya yang berlokasi di Jalan Sekolah Guru Perawat Nomor 3, Makassar. Namun, hingga berita ini diterbitkan, tidak ada respons dari pihak yang berwenang.
Ketiadaan komunikasi dari pihak Balai Pompengan Wilayah Jeneberang menambah ketidakpastian yang dirasakan warga. Proyek besar seperti Bendungan Karalloe memang menjanjikan manfaat jangka panjang, namun pemerintah dan stakeholder diharapkan tidak mengabaikan dampak sosial yang dialami masyarakat setempat. Warga membutuhkan kebijakan yang tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga keberlanjutan kehidupan mereka yang terdampak.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News